Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 memperlihatkan prevalensi merokok pada usia 10-18 tahun sebesar 7,2 persen. Prevalensi perokok mula itu meningkat menjadi 9,1 persen berdasarkan data Riskesdas 2018.
Data Riskesdas itu sejalan dengan data Rumah Sakit Umum Persahabatan Jakarta. Rata-rata usia penderita kanker paru di rumah sakit tersebut pada 10 tahun lalu adalah 60 tahun. Kini, banyak pasien berusia 30-40 tahun.
Sudah banyak bukti empiris menjelaskan kerugian merokok tembakau pada kesehatan. Rokok adalah faktor risiko utama lima penyakit tak menular, yaitu jantung, stroke, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis.
Selain mengancam perokok aktif, perokok pasif juga terkena dampak merugikan ketika mengisap asap rokok yang terjadi, bahkan sejak janin dalam kandungan. Rata-rata berat badan bayi baru lahir (BBBL) dari ibu perokok adalah 2,263 kilogram (kg), sementara BBBL dari ibu perokok pasif 2,663 kg. Sedangkan rata-rata BBBL dari ibu bukan perokok dan anggota keluarganya juga tidak merokok adalah 3,295 kg.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan epidemi tembakau sebagai masalah kesehatan masyarakat terbesar dengan lebih dari 8 juta orang meninggal di seluruh dunia. Tujuh juta kematian di antaranya adalah akibat pemakaian langsung, sementara 1,2 juta kematian adalah perokok pasif.
Dengan bertambahnya jumlah perokok pemula di Indonesia, risiko kesakitan dan kematian pada usia muda ikut meningkat. Akibatnya adalah meningkatnya beban biaya kesehatan yang akan ditanggung BPJS Kesehatan dan keluarga, keluarga juga kehilangan pendapatan ekonomi akibat meninggalnya anggota keluarga, dan secara nasional akan memengaruhi kemampuan meningkatkan ekonomi.
Keadaan ini tak sejalan dengan rencana pemerintah meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai basis daya saing menghadapi kompetisi global yang semakin tajam.
Ada usulan menaikkan secara mencolok cukai rokok untuk mencegah anak dan remaja membeli rokok. Namun, upaya ini harus diikuti dengan mencegah munculnya usaha rokok ilegal yang dapat menawarkan rokok dengan harga lebih murah.
Pemerintah masih berada dalam dilema antara mendapatkan pemasukan dari cukai rokok serta penciptaan lapangan kerja dan biaya kesehatan akibat tembakau. Menurut Litbang Kementerian Kesehatan, pada tahun 2013 biaya kesehatan akibat merokok 3,7 kali dari penerimaan cukai rokok.
Kita menginginkan pemerintah segera berbuat lebih nyata mencegah bertambahnya perokok pemula. Selain menaikkan cukai rokok, pemerintah juga perlu mewajibkan perusahaan rokok menjelaskan bahaya merokok di sampul kemasan rokok dan lebih intensif menyosialisasikan dampak negatif merokok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar