Agenda-agenda pembangunan dan kebijakan ke depan memerlukan perhatian segera. Salah satu agenda penting bagi Indonesia, meski tidak begitu mengemuka selama masa kampanye, adalah politik luar negeri. Berbagai pemikiran untuk bidang luar negeri ini masih sangat dibutuhkan.

Kita memahami bahwa pembangunan ekonomi dalam negeri merupakan kepentingan nasional utama serta menjadi fokus dan prioritas kita saat ini. Namun, proses pembangunan di dalam negeri sangat terkait dengan, serta dipengaruhi oleh, posisi dan kebijakan kita dalam konstelasi dunia internasional saat ini dan di masa mendatang.

Berbagai perkembangan di lingkungan internasional akan ikut menentukan mudah tidaknya upaya memenuhi target pembangunan dan mencapai tujuan nasional. Di bidang ekonomi, ketegangan hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, misalnya, akan berdampak buruk bagi kawasan dan tentunya Indonesia.

Menguatnya sikap proteksionisme di banyak negara, dengan dalih apa pun, akan mempersulit akses Indonesia ke pasar dunia. Dari sisi geopolitik, Indonesia dihadapkan pada, dan berada dalam, tatanan dunia yang semakin sarat dengan kompleksitas, ketidakpastian, serta penuh potensi rivalitas dan konflik.

Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berwibawa harus dipertahankan dalam dunia yang penuh tantangan demikian. Oleh karena itu, Indonesia perlu memetakan jalan internasional yang akan ditempuh selama 5-10 tahun ke depan.

Tujuh jalan internasional

Dalam menghadapi berbagai tantangan internasional yang ada, setidaknya ada tujuh jalan yang perlu dilalui dengan baik oleh Indonesia dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang.

Pertama, jalan kedaulatan. Mempertahankan kedaulatan dan menjaga keutuhan wilayah harus tetap merupakan kepentingan mendasar (core interest) Indonesia. Gangguan terhadap kedaulatan Indonesia terus terjadi, khususnya dalam bentuk pelanggaran atas hak berdaulat RI di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif karena praktik-praktik pencurian ikan.

Gangguan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah RI juga terus disuarakan oleh beberapa negara tetangga, seperti Vanuatu, dan pendukung gerakan separatis bersenjata Papua dari kalangan parlemen dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di beberapa negara, seperti Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Politik luar negeri perlu semakin tegas, fokus, koheren, dan komprehensif dalam meniti jalan kedaulatan ini, yang memerlukan sebuah narasi tunggal yang menjadi rujukan semua pemangku kepentingan di dalam negeri.

Kedua, jalan maritim. Proses untuk membangun Indonesia sebagai negara maritim, yang telah berjalan sejak 2014, memerlukan dukungan pelaksanaan kebijakan luar negeri yang lebih konkret dan terfokus yang merujuk pada gagasan Poros Maritim Dunia (PMD). Jalan maritim bagi politik luar negeri ini memiliki dua elemen dasar, yakni (a) menjalankan diplomasi untuk mengoptimalkan sumber daya laut melalui prakarsa dan kerja sama internasional, serta (b) menempatkan Indonesia sebagai kekuatan nyata di antara dua samudra strategis dunia, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.

Ketiga, jalan Indo-Pasifik. Pusat gravitasi dunia dewasa ini semakin mengerucut ke mandala Indo-Pasifik sebagai unit geoekonomi dan geopolitik tunggal. Upaya menempatkan Indonesia sebagai poros (fulcrum) dua samudra, yang menjadi inti gagasan PMD, mau tidak mau harus dilakukan di jalan Indo-Pasifik ini. Jalan Indo-Pasifik ini tidak boleh didominasi oleh kekuatan besar mana pun.

Oleh karena itu, Indonesia perlu meneruskan upaya strategis untuk mempertemukan berbagai gagasan mengenai Indo- Pasifik ke dalam sebuah cara pandang (outlook) Indo-Pasifik yang bertumpu pada sentralitas ASEAN dan mengembangkan East Asia Summit (EAS) sebagai wahana utama kerja sama di Indo-Pasifik.

Keempat, jalan ASEAN. Jalan Indo-Pasifik harus ditempuh melalui jalan ASEAN. Dalam meniti jalan ASEAN ini, Indonesia perlu (a) menjaga persatuan (unity)—dengan menjamin otonomi strategis (strategic autonomy) dan sentralitas ASEAN —di tengah rivalitas antarnegara besar, (b) memperkuat tiga pilar kerja sama ASEAN, dan (c) memprakarsai langkah penguatan ASEAN, antara lain melalui revisi Piagam ASEAN, reformasi kelembagaan, dan perubahan mekanisme pengambilan keputusan. Tanpa langkah-langkah ini, relevansi dan kemampuan adaptasi ASEAN akan memudar.

Kelima, jalan diplomasi ekonomi. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai kekuatan yang mandiri, berwibawa, dan berpengaruh, politik luar negeri harus menempuh jalan diplomasi ekonomi yang menunjang pembangunan ekonomi nasional. Diplomasi ekonomi tidak hanya diarahkan untuk mempromosikan Indonesia sebagai tujuan investasi dan mendorong perdagangan, tetapi juga menempatkan Indonesia sebagai pihak yang ikut aktif dalam membentuk aturan main ekonomi internasional.

Keenam, jalan pertahanan. Diplomasi akan terasa kurang tajam tanpa didukung oleh sistem dan kemampuan pertahanan yang andal. Dalam dunia yang sarat politik kekuatan (power politics) sekarang ini, sinergi antara diplomasi konvensional (oleh Kementerian Luar Negeri) dan diplomasi pertahanan (oleh Kementerian Pertahanan) merupakan sebuah keniscayaan. Diplomasi konvensional diarahkan untuk mencari peluang kerja sama internasional dalam membangun kemampuan pertahanan nasional dan diplomasi pertahanan ditujukan untuk menambah kewibawaan bagi pelaksanaan diplomasi konvensional.

Ketujuh, jalan kemanusiaan dan perdamaian. Sebagai anggota masyarakat internasional, Indonesia tetap perlu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal dan perdamaian dalam menjalankan politik luar negeri. Jalan ini ditempuh untuk (a) memperkuat kemampuan negara dalam melindungi dan melayani warga negara, (b) menentang perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti penjajahan (khususnya atas Palestina), diskriminasi rasial, dan kejahatan internasional lainnya, serta (c) ikut menjaga perdamaian dunia melalui keterlibatan dalam penyelesaian konflik (conflict resolution), bina perdamaian (peace-building), dan penjagaan perdamaian
(peace-keeping) di tingkat regional dan global.

Prasyarat konsolidasi

Efektif tidaknya langkah Indonesia dalam menapak ketujuh jalan internasional itu membutuhkan prasyarat konsolidasi dan penataan infrastruktur diplomasi.

Misalnya, perlu ada pembahasan mengenai langkah-langkah penataan, seperti pembentukan Dewan Keamanan Nasional, mengintegrasikan fungsi perdagangan internasional ke Kementerian Luar Negeri, mengkaji ulang keberadaan kantor perwakilan di mancanegara, melanjutkan evaluasi keanggotaan kita di ratusan organisasi internasional, penyempurnaan sistem perencanaan dan anggaran, serta perencanaan karier para diplomat.

Dalam 5-10 tahun mendatang, Indonesia akan dihadapkan pada berbagai tantangan internasional yang kian berat. Tujuh jalan internasional tersebut diharapkan dapat menjadi semacam peta jalan dalam menjawab tantangan-tantangan itu.