Fotonya beredar di media sosial memakai masker dan topi. Selain dipidana 15 tahun, dalam putusan April 2018, Setya Novanto juga diminta membayar denda Rp 500 juta, mengembalikan uang negara Rp 66 miliar, dan dicabut hak politiknya lima tahun setelah masa pidana.
Masih jelas dalam memori publik, hampir 10 tahun lalu kejadian yang mirip pernah terjadi. Gayus Tambunan, seorang narapidana korupsi, diketahui sedang menonton tenis di Bali pada 2010. Dia narapidana 30 tahun atas kasus rekening gendut di bagian perpajakan. Dulu dia aparatur sipil yang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak dengan golongan IIIA dan memiliki harta miliaran rupiah.
Peristiwa itu tidak hanya sekali terjadi. Terungkap bahwa sebelumnya dia juga sempat jalan-jalan ke luar negeri. Perasaan publik terluka dengan peristiwa ini. Ketika narapidana lain harus meringkuk di dalam tahanan tanpa fasilitas yang memadai, petugas lapas memperlakukan tahanan lain dengan sangat istimewa.
Publik berharap setelah Gayus, kasus serupa tidak terulang kembali. Faktanya, kasus jalan-jalan Setya Novanto itu memberikan gambaran bahwa perilaku aparat hukum tidak banyak berubah. Apa sebab mendasar sehingga hal itu tahun demi tahun terus terulang dengan pelaku yang berbeda? Apa yang perlu dibenahi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia?
Trilema hukum
Amanat bagi penyelenggara negara, sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945, negara berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan semata. Dalam menjalankan amanat itu, nyatanya perlakuan negara terhadap manusia Indonesia dalam banyak hal tidak pernah sama. Dalam bidang hukum, misalnya, perlakuan aparat terhadap manusia Indonesia yang terlibat kejahatan sangat tergantung dari jumlah uang yang dimiliki. Di bidang politik, politikus yang memiliki banyak uang memiliki kemungkinan lebih besar dalam jabatan politik ketimbang politikus dengan minim kekayaan.
Hukum tidak mengenal dilema, tetapi bisa saja terjebak trilema. Dalam dilema ada dua pilihan sulit, sedangkan dalam trilema ada tiga pilihan sulit. Dalam dilema terdapat istilah "buah simalakama", sedangkan dalam trilema dikenal dengan "lingkaran setan".
Jika dilema antara hukum dan kekuasaan bisa dipecahkan (dengan cara keutamaan hukum), maka dalam trilema antara hukum, kekuasaan, dan kepentingan tidak semata-mata mampu mengutamakan hukum. Faktanya adalah kepentingan individu atau kelompok sering bisa memanfaatkan hukum dan kekuasaan.
Teori kontrak sosial, sebagaimana dikembangkan oleh Rousseau, menempatkan hukum sebagai perangkat utama yang mengatur lalu lintas kepentingan masyarakat. Hukum menundukkan hasrat manusia yang paling hakiki dalam bentuk the will to power (niat berkuasa). Hukumlah yang semestinya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan umum. Bukan sebaliknya; kekuasaan memanfaatkan hukum sebagai media untuk memenuhi kepentingan sesaat.
Lingkaran setan
Di Indonesia, lingkaran setan dalam penegakan hukum terjadi karena fakta berikut ini:
Pertama, kemajuan demokratisasi di Indonesia sangat signifikan, tetapi di bidang penegakan hukum kurang begitu menggembirakan. Aparat hukum masih tergiur dengan uang sehingga narapidana bisa selalu mencari celah, apalagi sejumlah pihak turut mendukung kejahatan ini. Pragmatisme dalam hidup telah menjadi paham dan kemewahan yang menjadi gaya hidup.
Ketiga, birokrasi yang diharapkan menghasilkan efektivitas fungsi kinerja ternyata membawa pada penyalahgunaan kekuasaan. Kewenangan yang melekat pada seseorang karena prestasi, masa kerja, serta kesempatan tidak dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas kebangsaan. Hal itu malah menjadi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya di dalam lingkungan pribadi dan kelompoknya.
Keempat, aparat negara tidak berhasil memecahkan persoalan-persoalan penegakan hukum di dalam dirinya. Hal tersebut karena kasus-kasus lain yang mirip telah terjadi berulang kali. Modusnya, narapidana memiliki banyak uang dan menyogok petugas lapas agar bisa keluar penjara untuk mencari kesenangan.
Selain Setya Novanto dan Gayus, untuk menyebut beberapa kasus yang menonjol, terpidana kasus korupsi Tubagus Chaeri Wardana pernah ditemukan sedang menyewa kamar hotel berbintang di Bandung, Desember 2018. Terpidana diduga telah keluar lapas berkali-kali sampai kemudian tertangkap.
Permainan dalam hukum
Fakta tersebut menunjukkan, sampai sejauh ini tidak ada pemahaman bahwa tugas negara lebih penting daripada apa pun. Mereka berpikir tentang apa yang bisa diambil, dikeruk, dikuras, ketimbang bagaimana mengerjakan tugas yang telah dibebankan kepada individu. Hukum dijadikan sebagai perangkat permainan untuk kepentingan beragam kepentingan pribadi dan kelompok. Praktik penegakan hukum menjadi bagian dari permainan kata-kata.
Dalam penelusuran lebih lanjut, hal itu sekurang-kurangnya terlihat dalam pengakuan petugas lapas yang memberikan "izin berobat" kepada narapidana Setya Novanto. Berdasarkan kronologi, Jumat (14/6/2019) pukul 13.45 , Setya Novanto meminta izin berobat ke rumah sakit. Menurut petugas lapas, begitu selesai diperiksa, dokter kemudian memperkenankan pulang.
Sementara petugas masih menunggu di lantai 8 tempat pemeriksaan, Setya Novanto pergi ke kasir di lantai 1. Petugas kemudian mengikuti ke kasir di lantai 1, tetapi baru pada pukul 17.45 Setya Novanto ditemukan di lantai 1. Pengakuan itu memberikan gambaran tentang surat izin berobat sebagai kesempatan untuk keluar dan pengawalan hanya sebagai prosedur formal untuk niat lain.
Hal tersebut sangat berbeda ketika memperlakukan seorang warga negara yang diduga melanggar hukum dalam kasus perusakan hutan. Hermanto bin Nusirwan (43), warga Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, diganjar pidana penjara selama satu tahun dan denda Rp 1,5 miliar subsider enam bulan kurungan, Jumat (14/6/2019).
Selain kesalahan bahwa dia telah membuat warung di samping pos polisi untuk berjualan, dia juga terbukti merusak papan peringatan yang telah lama terkubur di dalam tanah. Dalam dissenting opinion, Hermanto dinyatakan tidak terbukti menebang dan merusak hutan sebagaimana tuduhan jaksa.
Kasus di atas merupakan mosaik perkembangan terakhir penegakan hukum di republik ini. Kita sampai pada jalan buntu ketika perilaku aparat negara masih melihat kasus berdasarkan "berat" dan "ringan", siapa yang terlibat, hingga keuntungan yang bisa diperoleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar