Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 01 Agustus 2019

EPILOG: Fenomena Koma (PUTU FAJAR ARCANA)

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas.

Teater Koma, sebuah fenomena unik dalam seni pertunjukan Indonesia. Pasangan Nano dan Ratna Riantiarno tidak hanya menyuguhkan ketangguhan sebuah tontonan melawan zaman, tetapi lebih-lebih mengikat penonton sampai tiga generasi.

Penonton lakon Goro-goro: Mahabharata 2, yang dipentaskan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 25 Juli-4 Agustus 2019, terdiri dari kakek, anak, dan cucu.

Tak tanggung-tanggung, penonton kelompok teater yang berdiri tahun 1977 ini bisa terbang dari sejumlah kota. Mereka ke Jakarta khusus untuk menonton pementasan Koma. Sesuatu yang amat epik, bukan?

Kredo bahwa teater membutuhkan penonton sudah digemakan Nano sejak awal Koma berdiri. Ia merasa perkembangan teater pada awal 1970-an mengarah pada apa yang dia sebut—dengan memohon maaf—"masturbasi".

Artinya, teater asyik-asyik sendiri, ada atau tidak ada penonton bukan persoalan benar, yang penting pentas dan puas. Bahkan, tidak jarang, catat Nano, pementasan teater tidak dimengerti oleh pelakonnya sendiri.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Ratna dan Nano Riantiarno. Pasangan suami istri pemain teater, pendiri Teater Koma. Foto diambil pada 29 Desember 2012.

Apa yang terjadi di panggung sehingga niat penonton untuk datang ke gedung pertunjukan begitu meletup-letup? Bayangkan, Koma pernah mementaskan lakon Sie Jin Kwie di Negeri Sihir (2012) selama 27 hari! Ini bukan hanya pemecahan rekor durasi hari berpentas, melainkan selama hampir sebulan itu penonton tetap berduyun-duyun mendatangi gedung pertunjukan.

Kunci yang menggembok penonton untuk selalu menyimak pentas-pentas Koma tak hanya terletak pada kemampuan manajemen pertunjukan yang dikendalikan Ratna, tetapi lebih-lebih pilihan bentuk pertunjukan.

Ini bukan hanya pemecahan rekor durasi hari berpentas, melainkan selama hampir sebulan itu penonton tetap berduyun-duyun mendatangi gedung pertunjukan.

Pasca-"berguru" kepada Teguh Karya di Teater Populer dan Teater Kecil (Arifin C Noor), pasangan Nano dan Ratna Riantiarno seolah menyadari bahwa pilihan lakon-lakon tragedi Sophocles atau Shakespeare terlalu "idealistis" untuk sebuah pertunjukan.

Kisah-kisah tragedi yang pada akhirnya mengajak penonton mengalami katarsis (penyucian batin), bukan lagi pilihan yang tepat untuk masyarakat yang bertumbuh dengan landas pikir rasionalitas.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Awak Teater Koma mementaskan lakon Ibu pada geladi bersih di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta, Kamis, (31/10/2013). Produksi ke-131 Teater Koma ini mengangkat naskah yang disadur dari karya Berthold Brecht berjudul Mother Courage and Her Children yang menceritakan tentang sosok Ibu Brani yang mencium peluang bisnis di tengah perang yang melanda negaranya. Pentas berlagsung hingga 17 November.

Oleh karena itu, Nano meninggalkan bentuk teater dramatik Aristoteles yang telah diikuti berabad-berabad oleh para penggelut dunia teater. Di sini termasuk Bengkel Teater Rendra. Nano memilih mendekat kepada teori teater epik yang digagas oleh Berthold Brecht.

Ia tidak ingin menjadikan teater sebagai wahana upacara bersama di mana katarsis penonton menjadi tujuan utamanya. Ia justru ingin "memisahkan" panggung dengan penonton, bahwa apa yang terjadi di panggung "hanyalah" sandiwara dan penonton tidak perlu berempati kepada seorang tokoh, misalnya.

Pikiran dasar ini menjadi sangat beralasan ketika Koma memilih bentuk pertunjukan yang mirip-mirip opera Beijing (China). Tidak saja make-updan kostum yang asing dari pakaian sehari-hari, tetapi juga membangunsetting peristiwa yang senantiasa tampak "aneh".

Realitas panggung ini dalam teori Brecht disebut sebagai verfremdung effect, sering disingkat sebagai V-Effect atau efek alienasi. Penonton secara sengaja digiring untuk mencapai efek keterasingan sehingga berjarak dengan peristiwa panggung.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Teater Koma mementaskan naskah berjudul Republik Cangik di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (12/11/2014) malam. Produksi ke-136 Teater Koma ini mengangkat kisah mengenai pergantian pemimpin di Negeri Suranesia.

Tujuannya, membangun kesadaran bersama dengan cara melakukan identifikasi terhadap berbagai persoalan sosial, politik, dan bahkan budaya yang terjadi di sekitar kita.

Sebelumnya, teater kita sangat berorientasi pada sesuatu yang ritualistik. Bahwa peristiwa pangung adalah pemicu awal untuk penyelenggaraan sebuah upacara bersama untuk satu tujuan, yaitu katarsis.

Sebelum katarsis, biasanya diawali dengan penghadiran seorang tokoh yang mengalami kemalangan bertubi-tubi sehingga perlahan akan memunculkan semacam empati dari penonton.

Pada akhir kisah, terjadi pembersihan batin ketika si tokoh akhirnya menggapai kebahagiaan. Lalu para penonton pulang dengan rasa senang. Di dunia film, kita bisa merujuk pada film-film besutan Hollywood, mungkin.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pementasan produksi Teater Koma ke-143 dengan judul Semar Gugat di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (3/3/2016). Teater Koma seringkali mementaskan lakon-lakonnya secara berulang, bahkan memilih lakon-lakon klasik China atau kisah-kisah pewayangan, yang bisa sangat mudah dirunut alur ceritanya. Nano sama sekali tidak bertendensi menghadirkan kisah-kisah itu secara baru.

Ia membiarkan saja plot cerita yang sebenarnya sudah melekat di benak penonton mengalir di atas pentas. Mengapa penonton tetap berduyun-duyun? Pentas-pentas sutradara kelahiran Cirebon itu senantiasa dinanti karena menabur harapan pada kejutan-kejutan artistik yang bisa terjadi kapan saja di atas pentas.

Dia membumi karena bentuknya yang merakyat, tetapi juga menjaga "jarak" agar tujuannya membangun alienasi tercapai.

Sebagai sebuah opera, pentas Teater Koma akan selalu diwarnai oleh nyanyian, sebagaimana awal kelompok sandiwara bernama Dardanella (1926), yang menjadi rujukan Nano dalam pengembangan bentuk teaternya. Bahkan, tak jarang, dialog para pemerannya dilontarkan dalam nyanyian, sebagaimana bentuk Arja, teater klasik Bali.

Oleh karena itu, bentuk mutakhir yang dicapai oleh Teater Koma (mungkin) kita sebut sebagai hibridisasi dari rumusan teater epik dan teater rakyat. Kita sebut saja teater hibrida.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Asmara Raja Dewa oleh Teater Koma di TIM, Jakarta, Rabu (22/11/2018). Pentas ini mengangkat kisah mengenai kehidupan para dewa dan penciptaan manusia.

Dia membumi karena bentuknya yang merakyat, tetapi juga menjaga "jarak" agar tujuannya membangun alienasi tercapai. Karena "golnya" membangun kesadaran pada aktor dan juga penonton, ada hal-hal di sekitar kita yang perlu diperhatikan dan apabila perlu disikapi secara kritis untuk mencapai perbaikan-perbaikan dalam ekosistem hidup bersama di tanah Indonesia.

Kompas, 31 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger