Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 02 Januari 2020

RELASI INTERNASIONAL: Mengingatkan Jepang Soal Asia Raya (SIMON SARAGIH)


HANDINING

Simon Saragih, wartawan senior Kompas

Pada awal dekade 1970-an, di bawah Perdana Menteri Kakuei Tanaka, Jepang gencar memburu persahabatan global. Ini bertujuan menampilkan sisi ramah Jepang. Tampaknya upaya ini relatif berhasil dan kebetulan Jepang tampil dengan kekuatan ekonomi yang membawa Asia pada kemakmuran.

Memudarlah perlahan simbol kejahatan perang yang ditandai dengan tangisan para jugun ianfu dan kisah Kuil Yasukuni. Pembantaian di Tianjin, China, oleh tentara Kekaisaran Jepang tampaknya juga mulai hilang dari ingatan walau masih membekas kuat.

Indonesia pun tidak luput dari sasaran kekejaman Jepang. Penjajahan Belanda 350 tahun, dipersepsikan setara dengan efek perusakan dahsyat hanya dalam 3,5 tahun penjajahan Jepang. Masih di Indonesia juga dikenal sebutan interniran. Tak pandang bulu, tentara Jepang memenjarakan para pekerja sosial asal Belanda.

Jepang memang terkenal kejam dengan sejarah masa lalunya. Ini ditambah rasa superioritas oleh sebagian warga yang berefek merusak (Introduction to Japanese Politics, 2009, karya Louis D Hayes, profesor emeritus ilmu politik, University of Montana).

Kebijakan ekonominya bertujuan mengeksploitasi, termasuk dengan pola turn key project (semua proyek di luar negeri bermodalkan pinjaman asal Jepang dikerjakan oleh konsorsium dan teknisi Jepang). Itu semua, dan sejarah perang masa lalu sempat menyebabkan aksi protes keras di Asia Tenggara pada 1970-an, termasuk di Indonesia yang terkenal dengan Peristiwa Malari.

KOMPAS

Aksi unjuk pasa pada peristiwa tanggal 15 Januari 1974 yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Malari di Jakarta. Aksi ini terjadi di depan Kedubes Jepang di Jalam Thamrin, Jakarta Pusat.

Namun sekali lagi, upaya Jepang memburu persahabatan internasional pada dekade 1970-an setelah rangkaian kejahatan masa lalu itu, relatif sukses. Jepang lewat pola "angsa terbang" (flying geese) turut membangun ekonomi Asia.

Bahkan dengan China lewat ekonomi, Jepang mengalami perkembangan relasi yang pesat, seperti dituliskan Amy King, dosen bidang strategi dan pertahanan di Australian National University, pada 2 Desember di "East Asia Forum Quarterly". Hal serupa dituliskan kantor berita Xinhua, 10 April 2007, dengan tulisan yang berjudul relasi Jepang-China menguntungkan kedua belah pihak.

Akan tetapi Jepang belum bersahabat sejati, setidaknya tidak mulus relasinya dengan China dan Korea Selatan. Di bawah Perdana Menteri Shinzo Abe, corengan pada persahabatan tetap muncul dengan kunjungan ke Kuil Yasukuni yang selalu diprotes China dan Korea Selatan.

Ketersinggungan oleh Asia atas kunjungan ke kuil ini juga terjadi pada beberapa PM Jepang sebelumnya. Kuil ini menjadi simbol untuk menghormati pasukan Jepang pada Perang Dunia II yang melakukan kekejamam di Asia.

KOMPAS/SIMON SARAGIH

Kuil Yasukuni di Tokyo didatangi segelintir pengunjung, Selasa (31/7/2007). Kunjungan ke kuil ini oleh pemimpin Jepang selalu menimbulkan protes dari China dan Korea Selatan.

Hal terbaru, PM Abe juga menghardik China dengan ucapan, sengketa wilayah Laut China Timur akan mengganjal seruan kolaborasi yang disampaikan Presiden China Xi Jinping. Kedua Negara terlibat sengketa wilayah Kepulauan Senkaku (Diaoyu dalam terminologi China).

Jepang, yang masih "didikte dan tunduk" pada AS, tampaknya harus melihat waktu dan momentum. Era Asia sedang dicoba dikacaukan Presiden AS Donald Trump lewat perang dagang, berbasiskan kebencian rasisme, lewat pandangan penasihat dagang Trump, Peter Navarro.

Sikap Trump ini mengancam eksistensi Asia. Oleh Jepang, ini harus dilihat sebagai panggilan yang kian kuat untuk mencari persahabatan, khususnya dengan China dan Korea Selatan. Sebab sejauh ini memang tidak banyak upaya politik kuat dari Jepang untuk mendalami serius persahabatan dengan China, menurut Amy King.

Oleh sebab itu, pencarian persahabatan yang dicanangkan Jepang pada dekade 1970-an tetap mutlak bahkan semakin aktual dari sisi politik dan relasi internasional di tengah perubahan kekuatan global. Dengan kata lain, Jepang wajib mengutamakan China dan Korea Selatan dalam relasi internasional ketimbang seperti selama ini, tunduk pada AS semata.

REUTERS/POOL/CHARLY TRIBALLEAU

Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berada di atas kapal Angkatan Laut Jepang, Kaga, di Yokosuka, Jepang, Selasa (28/5/2019).

Pengupayaan tujuan-tujuan ini, termasuk lewat kolaborasi ekonomi, tidak hanya menguntungkan warga Jepang dan China. "Hal itu juga akan berkontribusi pada perdamaian dan stabilitas Asia Timur Laut dan seluruh dunia," demikian harian China Daily, mengutip Xinhua.

Bersahabat atau tunduk dengan AS, tidak harus membuat Jepang bersikap antagonis atau menepis China yang komunis. Kolaborasi kekuatan Asia ini akan menjayakan Asia Raya, dengan kepemimpinan kolegial oleh kekuatan Asia itu sendiri.

Wahai Jepang! Asia Raya ini dulu juga impianmu dan tetap menjadi kewajibanmu mengejarnya lewat pola multilateralisme Asia. Jika Barat terbukti telah makmur lewat kekuatan Trans-Atlantik, kini adalah panggilan sejarah bagi Jepang dalam kolaborasi dengan China dan Korea Selatan, melakukan hal serupa untuk Asia Timur dan seluruh Asia.

Kompas, 2 Januari 2019 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger