Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 02 Maret 2020

Membuka Kotak Hitam Afghanistan (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Apakah perjanjian damai di Afghanistan—andaikan benar-benar tercapai—antara AS dan Taliban akan bisa langgeng? Harapannya, demikian. Akan tetapi, tidak mudah untuk memberikan kepastian. Mengapa demikian?

Dalam sejarah perundingan dengan kelompok-kelompok pemberontak di Afghanistan, sulit untuk menemukan, bahkan satu periode sekalipun, adanya perdamaian berkelanjutan. Pada 1980-an, jauh sebelum kemunculan Taliban sebagai entitas tersendiri yang pada akhirnya menjadi kekuatan yang mematikan, Mujahidin secara teratur mengadakan perundingan damai dengan Pemerintah Afghanistan yang didukung Uni Soviet, di bawah Kebijakan Rekonsiliasi Nasional (NRP) dari pemerintah Najibullah, yang dimulai pada tahun 1986 (Shubhangi Pandey: 2019).

Namun, dengan tidak adanya bantuan keuangan dan militer dari Uni Soviet, Najibullah gagal mempertahankan kendali atas Angkatan Bersenjata Afghanistan serta lembaga-lembaga politik nasional, yang menyebabkan runtuhnya pemerintahan. Kesepakatan Geneva 1988, yang terdiri dari tiga perjanjian bilateral yang ditandatangani antara Pemerintah Afghanistan dan Pakistan, di hadapan perwakilan dari AS dan Uni Soviet sebagai penjamin, juga gagal mengakhiri perang 15 tahun di Afghanistan.

Hal itu terjadi antara lain, pertama, Mujahidin tidak terlibat langsung dalam perundingan. Karena itu, Mujahidin merasa bahwa upaya diplomatik tersebut sebagai strategi untuk meminggirkan mereka secara sistematis. Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, kesepakatan damai gagal mengalibrasi perjanjian pembagian kekuasaan yang potensial yang akan mempertimbangkan kepentingan dan partisipasi semua pemangku kepentingan domestik yang mungkin, termasuk berbagai milisi.

Apakah perundingan damai antara AS dan Taliban akan bernasib seperti perundingan perdamaian antara Uni Soviet dan Mujahidin? Ada peribahasa di Afghanistan yang berbunyi, "Semoga Tuhan menjauhkanmu dari racun ular kobra, gigi harimau, dan balas dendam orang-orang Afghanistan". Peribahasa tersebut memberikan gambaran betapa bahayanya Afghanistan; bahaya selalu mengancam.

AFP/JAVED TANVEER

Dalam foto yang diambil pada 21 Februari 2020 ini, para pemuda dan aktivis perdamaian merayakan pengurangan kekerasan di Kandahar. Gencatan senjata parsial selama seminggu berlangsung di Afghanistan pada 22 Februari.

Dalam bahasa lain, Khaled Hosseini, novelis—penulis The Kite Runner, A Thousand Splendid Suns, dan And the Mountains Echoed—kelahiran Afghanistan yang memperoleh suaka politik di AS, mengatakan, "Di Afghanistan, Anda tidak memahami diri Anda semata-mata sebagai individu … Anda memahami diri Anda sebagai seorang putra, saudara lelaki, sepupu seseorang, seorang paman dari seseorang. Anda adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri Anda sendiri."

Kotak hitam

Apa yang disampaikan Khaled Hosseini menggambarkan betapa rumitnya memahami masyarakat Afghanistan; betapa eratnya hubungan kekerabatan di negeri itu. Maka itu, Amy Chua (2018) mengatakan, "Bagi sebagian besar orang Amerika, Afghanistan adalah kotak hitam."

Amy Chua mengingatkan kegagalan AS di Vietnam adalah karena kegagalan memahami masyarakat Vietnam. Karena itu, AS juga harus benar-benar memahami masyarakat Afghanistan, termasuk dengan siapa mereka melakukan perundingan perdamaian. Sama dengan di Vietnam, alasan utama kegagalan Amerika di Afghanistan adalah tidak menyadari identitas kelompok paling penting di wilayah ini, yang tidak sesuai dengan garis nasional, tetapi lebih berdasarkan etnis, suku, dan klan. Lagu kebangsaan Afghanistan, misalnya, menyebutkan 14 kelompok etnis, empat terbesar adalah Pashtun, Tajik, Uzbek, dan Hazara.

Ada sejarah panjang permusuhan di antara keempatnya. Selama lebih dari 200 tahun, 1747-1973, Pashtun mendominasi Afghanistan. Selama masa itu, negara-negara Eropa tidak berhasil menundukkan Afghanistan meskipun Inggris dan Rusia pernah mencobanya. Karena itu, banyak orang Pashtun mengira bahwa Afghanistan adalah "negeri mereka". Tetapi, mereka tidak hanya hidup di Afghanistan, tetapi juga di Pakistan. Bahkan, lebih banyak orang Pashtun yang hidup dan tinggal di Pakistan ketimbang di Afghanistan.

Dominasi Pashtun mulai menyusut selama Perang Dingin. Pada 1992, koalisi Tajik dan Uzbek mengambil alih kekuasaan. Pashtun kehilangan kekuasaan mereka atas Kabul, dan jatuh ke tangan Burhanuddin Rabbani, seorang Tajik. Mereka, Pasthun, tidak hanya kehilangan Kabul, mereka juga kehilangan penguasaannya atas birokrasi negara. Bahasa Pashto yang sebelumnya mendominasi kehidupan masyarakat—digunakan oleh koran-koran, radio, dan televisi milik pemerintah—harus pula kehilangan perannya.

REUTERS/OMAR SOBHANI

Warga Afghanistan menghadiri pertemuan besar konsultatif, yang dikenal sebagai Loya Jirga, di Kabul, Afghanistan, Senin (29/4/2019).

Yang juga sangat memukul mereka adalah Pashtun kehilangan tulang punggung kekuatan mereka, yakni militer Afghanistan. Karena, militer terpecah-pecah dan jenderal-jenderal yang bukan dari etnik Pashtun kemudian menguasai unit-unit militer.

Situasi kemudian berbalik setelah Uni Soviet menarik diri keluar dari Afghanistan (1989). Orang-orang dari etnik Pashtun yang membentuk gerakan Taliban—menurut Amy Chua, Taliban diambil dari bahasa Arab,talib, yang berarti siswa atau pashtodalam bahasa Pashtun yang berarti siswa—bergerak cepat dengan dukungan Pakistan. Mereka bukan sekadar gerakan agamis, melainkan juga sebuah gerakan etnik. Bahkan, Taliban adalah gerakan revolusioner (Gilles Dorronsoro, 2009).

Mayoritas anggota kelompok ini adalah etnik Pashtun. Karena, gerakan ini didirikan oleh orang Pasthun pada awal 1990-an oleh faksi Mujahidin, kelompok pejuang penentang pendudukan Uni Soviet di Afghanistan (1979-1989) dengan dukungan AS (CIA) mitranya, ISI (Inter-Services Intelligence) dinas intelijen Pakistan (Zachary Laub, 2014). Mereka dilatih di Pakistan.

Gerakan ini menarik dukungan rakyat Afghanistan pada era pasca-Soviet. Janji mereka untuk memulihkan kembali dominasi Pashtun di Afghanistan adalah bagian penting dari kebangkitan Taliban ke tampuk kekuasaan. Menurut Gilles Dorronsoro, mereka sangat pandai mengeksploitasi kelemahan pemerintahan kaum minoritas Tajik. Apalagi, etnis Pashtun adalah paling banyak, yakni, ketika itu, 40 persen dari jumlah penduduk Afghanistan.

Namun, menurut Taliban, kaum mayoritas telah dilupakan oleh pemerintah pusat (Kabul), dipimpin oleh para pemimpin non-Pashtun yang korup dan tidak adil. Ketidakhadiran pemerintah yang dirasakan rakyat dimanfaatkan oleh Taliban. Dengan kata lain, Taliban—yang mayoritas Pashtun—berusaha membangkitkan sentimen dan kebencian etnis.

AP PHOTO/ALEXANDER ZEMLIANICHENKO

Mullah Abdul Ghani Baradar (ketiga dari kiri), pemimpin Taliban, bersama dengan anggota delegasi Taliban lainnya tiba di Moskwa, Rusia, Februari 2019, untuk perundingan mengakhiri perang di negara tersebut.

Seth G Jones (2009) dalam Amy Chua menulis, "Strategi Taliban adalah sangat inovatif dan efektif. Tidak seperti Soviet, mereka memfokuskan upaya awal mereka pada upaya dari bawah di perdesaan Afghanistan, khususnya Pashtun selatan. Mereka mendekati para pemimpin suku dan komandan milisi serta para pendukung mereka, dan … mereka menawarkan untuk mengembalikan kendali Pasthun atas Kabul, yang saat itu dipimpin Rabbani (Tajik) … Para pemimpin Taliban yang mampu berbicara dengan dialek lokal melakukan perjalanan ke desa-desa Pashtun dan pusat-pusat kebupaten."

Inilah sebabnya, mereka begitu cepat dapat menguasai Afghanistan. Menurut seorang cendekiawan Pashtun yang kemudian menjadi banker di bawah Presiden Hamid Karzai, Anwar-ul Haq Ahady, bagi banyak orang Pashtun, ketakutan marjinalisasi Pashtun "lebih penting, lebih berarti dibandingkan dengan jatuhnya komunisme…. Naiknya Taliban membangkitkan optimisme di antara orang Pashtun akan kembalinya kejayaan mereka."

Pemimpin Taliban saat itu, Mullah Mohammad Omar (sekarang Haibatullah Akhundzada menggantikan Mullah Mansoor, yang tewas dalam serangan udara AS di Pakistan pada 2016), sangat memahami hal itu, politik kesukuan Afghanistan, lebih dibandingkan dengan orang lain. Pada akhir 1996, mereka merebut Kabul dan menjatuhkan pemerintahan pimpinan Presiden Burhanuddin Rabbani, yang anggap anti-Pashtun dan korup. Sejak itu, Taliban menguasai hampir seluruh Afghanistan sebelum akhirnya disingkirkan pada 2001.

Pada Desember 2001 digelar Konferensi Internasional mengenai Afghanistan di Bonn, Jerman. Dalam konferensi dibentuk pemerintahan sementara Afghanistan yang dipimpin Hamid Karzai (acting president). Konferensi dihadiri para pemimpin anti-Taliban, para pemimpin yang ikut memimpin perang melawan Uni Soviet, tahun 1980-an. Selain itu, dilibatkan juga para tokoh masyarakat yang diperkirakan dapat menghalangi proses state-building (Grant Farr, 2018).

Namun, kelompok Taliban, ketika itu, benar-benar disingkirkan, secara politik juga secara milier dengan terjadinya invasi militer oleh AS dan sekutunya yang memburu pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden, setelah tragedi 9/11. Bahkan, pada Desember 2001, Wakil Presiden AS Cheney menyatakan, "Taliban tidak dilibatkan, seterusnya."

AP PHOTO/RAHMAT GUL

Petugas keamanan bersenjata Afghanistan berada di lokasi ledakan bom truk, Selasa (15/1/2019). Pelaku bom bunuh diri Taliban meledakkan bom dalam sebuah truk di Kota Kabul, Senin malam.

Akan tetapi, Taliban tidak tinggal diam. Kelompok ini terus berusaha untuk bangkit lagi dan terus melakukan gerakan perlawanan. Awal 2005, gelombang pasang mulai berubah. Taliban, di bawah kepemimpinan Mullah Omar, dan dengan dukungan Pakistan dan negara-negara lainnya, mulai menegaskan kembali diri mereka. Pada 2006, Taliban telah membuat kemajuan yang signifikan, terutama di Afghanistan selatan dan timur, di mana suku-suku Pashtun bersimpati dengan agenda Taliban.

Sementara AS dan sekutunya yang sejak 2001 masuk Afghanistan terus melakukan operasi militer. Namun, harga yang harus dibayar pun sangat mahal. Operasi militer AS di Afghanistan yang diberi nama "Operation Enduring Freedom" mulai 7 Oktober 2001 hingga Desember 2015 telah menewaskan 2.351 tentara AS.

Secara keseluruhan hingga 2019, jumlah korban tewas mencapai sekitar 157.000 orang (2.298 personel militer AS; tentara dan polisi nasional Afghanistan sebanyak 64.124 personel; pihak Sekutu/NATO sejumlah 1.145 personel; tentara oposisi sebanyak 42.100 orang; wartawan dan pekerja media sejumlah 67 orang, dan LSM kehilangan 424 orang ); lebih dari 43.074 orang di antaranya adalah penduduk sipil (Neta C Crawford dan Catherine Lutz; 2019).

Hingga tahun 2018, Taliban menguasai lebih dari 40 persen provinsi di Afghanistan. Sementara menurut Laporan Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) yang diterbitkan pada Januari 2019, wilayah yang dikuasai pemerintah Kabul adalah dihuni oleh 63,5 persen penduduk Afghanistan. Jumlah tersebut 1,7 persen lebih rendah dari kuartal sebelumnya; sementara Taliban menguasai 10,8 persen penduduk. Dengan kata lain, pemerintah mengendalikan lebih dari setengah dari total wilayah Afghanistan, sisanya dikuasai Taliban dan masih terus diperebutkan.

Meskipun pada 2012 keretakan mendera jajaran pimpinan Taliban dan terjadi krisis kepemimpinan tahun 2015 (setelah kematian Mullah Omar, lalu kematian Mullah Mansoor), di bawah kepemimpinan Haibatullah tetap terus menjadi ancaman besar bagi rakyat dan institusi sosial-politik Afghanistan.

AFP/THOMAS WATKINS

Pasukan AS berpatroli di sebuah pos di Nerkh, Wardak, Afghanistan, 21 Agustus 2019. Perang di Afghanistan menimbulkan banyak korban, baik dari kalangan sipil Afghanistan maupun tentara AS.

Haibatullah yang pada umumnya dipandang mendera lebih sebagai seorang cendekiawan Islam ketimbang ahli siasat militer" (Shubhangi Pandey, 2019), di bawah kepemimpinannya, Taliban lebih kompak ketimbang sebelumnya dan memperoleh banyak kemajuan dalam bidang militer. Taliban sekarang memiliki sekitar 60.000 petarung.

Prospek perdamaian

Kiranya uraian di atas cukup memberikan gambaran "seperti apa" kelompok Taliban itu. Kelompok ini di mata masyarakat internasional dikenal sebagai kelompok yang tidak toleran serta tidak menghormati hak-hak asasi perempuan.

Sebelum Taliban berkuasa, perempuan di Afghanistan dilindungi oleh hukum dan mendapatkan hak-hak sipilnya. Bahkan, mereka sudah memperoleh hak pilihnya tahun 1920-an. Pada awal 1960-an, konstitusi Afghanistan menjamin adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Suasana toleransi terasa hidup ketika negara itu bergerak kearah demokrasi.

Perempuan memberikan sumbangan penting bagi pembangunan nasional. Pada 1977, sekitar 15 persen anggota legislatif adalah perempuan. Diperkirakan pada awal 1990-an, 70 persen guru sekolah, 50 persen pekerja pemerintah dan mahasiswa, serta 40 persen dokter di Kabul adalah perempuan. Para perempuan Afghanistan aktif dalam organisasi-organisasi kemanusiaan sampai Taliban memberlakukan pembatasan-pembatasan.

Menurut Zahcary Laub, setelah berkuasa, Taliban lupa pada janjinya di awal mula. Mereka lebih menekankan urusan-urusan yang berkaitan dengan agama. Mereka, antara lain, mengharuskan kaum perempuan untuk mengenakan burqa atau chadri; melarang musik dan televisi. Bahkan, kaum laki-laki yang jenggotnya dianggap terlalu pendek dipenjara.

AFP/WAKIL KOHSAR

Foto yang diambil pada Sabtu (14/4/2018) menunjukkan perempuan Afghanistan yang bekerja untuk Komisi Pemilihan Independen (IEC) menunggu warga untuk mendaftarkan diri di pusat pendaftaran pemilih untuk pemilihan parlemen dan dewan distrik di Kabul. Perempuan Afghanistan menjadi korban paling nyata peperangan di negara itu.

Biro Demorkasi, Hak-Hak Asasi Manusia dan Buruh, Kementerian Luar Negeri AS (2001) mengungkapkan, Taliban melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan, termasuk pemerkosaan, penculikan, dan pernikahan paksa. Beberapa keluarga terpaksa mengirim anak perempuan mereka ke Pakistan atau Iran untuk melindungi mereka.

Kaum perempuan Afghanistan dilarang untuk bekerja. Maka, mereka terpaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai guru, dokter, perawat, dan pekerja kantoran lainnya. Aset luar biasa itu hilang dari masyarakat. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa perempuan Afghanistan adalah yang paling kehilangan, yang paling dirugikan, yang paling menderita karena peperangan dan korban paling nyata dari pemerintahan Taliban.

Amnesty International menyatakan, pada masa Taliban berkuasa, kaum perempuan dilarang sekokah, dilarang bekerja, dilarang meninggalkan rumah tanpa pengawal, dilarang mendapatkan pelayan kesehatan apabila petugas kesehatannya laki-laki (padahal kaum perempuan dilarang bekerja. Ini berarti kaum perempuan tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan). Kaum perempuan juga dilarang terlibat dalam urusan politik dan berbicara di depan umum.

Pada akhirnya, dengan mempertimbangkan kondisi lapangan seperti tersebut di atas, keberhasilan perundingan perdamaian dengan Taliban di Doha, Qatar, akan tergantung pada keberlanjutan pengaturan pembagian kekuasaan antara pemerintah Kabul dan Taliban. Konferensi Bonn (2001) yang sama sekali menyingkirkan Taliban, tidak memberikan perdamaian sesungguhnya kepada Afghanistan.

Oleh karena itu, kesepakatan politik yang dituangkan dalam kertas perjanjian harus benar-benar bisa diwujudkan. Jika tidak, perjanjian perdamaian akan berumur pendek. Meskipun, kecil kemungkinan Taliban akan menggunakan lagi cara-cara kekerasan seperti sebelumnya karena cara itu sama sekali tidak mendapat dukungan rakyat, terutama kaum perempuan. Namun, Afghanistan akan terus mengalami instabilitas politik dan akan terus menghadapi pemberontakan.

Kompas, 29 Maret 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger