Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 04 Desember 2025

Resensi Buku: Mendidik dengan Iman dan Cinta secara Katolik

 

Resensi Buku - "Mendidik dengan Iman dan Cinta"

Oleh Pormadi Simbolon

Bagaimana menghadirkan pendidikan yang benar-benar memanusiakan?

Pertanyaan besar inilah yang dijawab Pormadi Simbolon melalui buku terbarunya, Mendidik dengan Iman dan Cintasebuah refleksi mendalam mengenai panggilan pendidikan dalam tradisi Katolik dan praktik pendidikan Indonesia masa kini.

Ditulis dengan bahasa yang hangat sekaligus visioner, buku ini mengajak para pendidik, orang tua, dan semua pemerhati pendidikan untuk kembali pada dua energi moral paling mendasar dalam hidup manusia: iman dan cinta.

Mengapa Buku Ini Penting?

Dalam dunia yang serba cepat, kompetitif, dan sering kali mengabaikan nilai kemanusiaan, Mendidik dengan Iman dan Cinta hadir sebagai panduan praktis sekaligus spiritual untuk membangun pendidikan yang:

  • mengedepankan martabat setiap pribadi,
  • memadukan pengetahuan dengan kebajikan,
  • melihat peserta didik sebagai subjek yang dikasihi Tuhan,
  • serta menciptakan ruang belajar yang aman, hangat, dan membebaskan.

Pormadi Simbolon, dengan pengalaman panjang dalam pembinaan masyarakat dan pengamatan tentang pendidikan Katolik, menampilkan gagasan bahwa pendidikan sejati tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga hati yang peka, iman yang kokoh, dan karakter yang teguh.

Isi Buku yang Menyentuh dan Mencerahkan

Pembaca akan menemukan pembahasan yang runtut dan inspiratif mengenai:

  1. Iman sebagai fondasi mendidik manusia seutuhnya;
  2. Cinta sebagai metode pendidikan yang memerdekakan;
  3. Tantangan pendidikan di era digital dan modernitas cair;
  4. Peran pendidik sebagai saksi kasih, bukan hanya pengajar;
  5. Strategi praktis membangun budaya sekolah yang humanis dan berkarakter

Gaya penulisan yang reflektif dan penuh empati membuat buku ini mudah dipahami, tetapi tetap memperkaya pemikiran.

Sasaran Pembaca

Buku ini sangat sesuai untuk:

  • guru dan tenaga kependidikan,
  • pastor, katekis, dan pembina umat,
  • mahasiswa pendidikan atau teologi,
  • pimpinan sekolah Katolik,
  • orang tua yang ingin mendidik anak dengan cinta dan nilai,
  • siapa pun yang rindu menghadirkan pendidikan yang bermakna.

Keunggulan Buku

  1. Menggabungkan refleksi teologis, psikologis, dan pedagogis
  2. Relevan dengan konteks pendidikan Indonesia
  3. Bahasa komunikatif dan inspiratif
  4. Cocok dipakai sebagai bahan retret, lokakarya guru, maupun pengembangan pendidikan Katolik

Mengapa Pembaca Akan Menyukai Buku Ini

Mendidik dengan Iman dan Cinta menawarkan jawaban atas kerinduan banyak orang terhadap pendidikan yang lebih manusiawi. Buku ini memberikan penguatan rohani, inspirasi praktis, dan visi baru bagi siapa pun yang menghayati pendidikan sebagai panggilan pelayanan.

Bagi lembaga pendidikan, komunitas Gereja, dan para pendidik, buku ini akan menjadi bacaan wajib untuk membangun budaya sekolah yang penuh kasih dan berorientasi pada pembentukan karakter.

Mari menjadi bagian dari gerakan menghadirkan pendidikan yang berakar pada iman dan diwujudkan dalam cinta. Buku ini bukan sekadar bacaantetapi pendamping perjalanan, bagi pendidik yang ingin memberi bukan hanya pelajaran, tetapi kehidupan itu sendiri. (*)

Informasi buku:

Judul : Mendidik dengan Iman dan Cinta

Penulis : Pormadi Simbolon

Bidang : Pendidikan – Spiritualitas – Humaniora

Penerbit : PT Pohon Cahaya, Yogyakarta

Tahun : 2025

Tebal : xviii + 94 hlm; 14,8x21 cm

ISBN : 978-602-491-635-0

E-ISBN : 978-602-491-637-4 (PDF)




#MendidikDenganImanDanCinta

#PendidikanBerbasisNilai

#PendidikanKatolik

#PendidikanHumanis

#ImanDanCinta


Selasa, 02 Desember 2025

Dua Buku, Satu Kegelisahan : Membaca Zaman - Merawat Manusia

 


Dua Buku, Satu Kegelisahan - Membaca Zaman, Merawat Manusia

Di tengah dunia yang bergerak cepat, rapuh, dan sering kehilangan arah, membaca dan menulis bukan sekadar aktivitas intelektual. Ia adalah tindakan merawat kesadaran, menjaga agar manusia tidak tercerabut dari makna, nilai, dan cinta. Dari kegelisahan itulah dua buku karya Pormadi Simbolon ini lahir: Pemikiran Zygmunt Bauman dan Mendidik dengan Iman dan Cinta.

Keduanya berbicara dari ranah yang berbeda, namun bertemu pada tujuan yang sama: menolong manusia memahami dunia dan tetap manusiawi di dalamnya.

Pemikiran Zygmunt Bauman - Membaca Dunia yang Cair dan Penuh Ketidakpastian

Zaman ini—meminjam istilah Zygmunt Bauman—adalah zaman *modernitas cair*: serba berubah, tak pasti, dan sulit digenggam. Relasi menjadi rapuh, identitas mudah goyah, dan institusi sering kalah cepat dari arus pasar dan teknologi.

Buku Pemikiran Zygmunt Bauman mengajak pembaca masuk ke jantung kegelisahan zaman itu. Dengan bahasa yang reflektif dan kontekstual, buku ini membedah gagasan-gagasan penting Bauman tentang:

* modernitas cair dan kehidupan yang tidak stabil

* krisis identitas dan rapuhnya relasi sosial

* konsumerisme, ketimpangan sosial, dan tanggung jawab moral

* posisi negara, pendidikan, dan warga di tengah dunia global


Buku ini tidak berhenti pada analisis kritis. Ia juga mengajak pembaca bertanya: bagaimana seharusnya kita hidup di dunia yang serba cair? Di sanalah refleksi etis dan kemanusiaan menjadi penopang utama.


Buku ini cocok bagi mahasiswa, dosen, pendidik, pemerhati kebijakan publik, rohaniawan, dan siapa pun yang resah membaca tanda-tanda zaman.

Mendidik dengan Iman dan Cinta

Pendidikan sebagai Tindakan Kemanusiaan

Jika buku pertama menyoroti kegelisahan zaman, maka Mendidik dengan Iman dan Cinta menawarkan jalan merawat manusia, khususnya melalui pendidikan berbasis nilai.

Di tengah pendidikan yang sering direduksi menjadi angka, peringkat, dan kompetisi, buku ini mengajak kita kembali pada pertanyaan dasar: untuk apa mendidik? Pendidikan, dalam perspektif buku ini, bukan sekadar soal kurikulum dan standar, melainkan soal **membentuk manusia seutuhnya —akal, moral, iman, dan kasih.

Buku ini menegaskan bahwa:

* iman bukan penghalang nalar, melainkan sumber makna

* cinta adalah dasar relasi pendidik dan peserta didik

* pendidikan Katolik dipanggil menjadi terang, bukan menara gading

* sekolah dan keluarga adalah ruang pembudayaan nilai kemanusiaan

Ditulis dari pengalaman reflektif dan praksis pendidikan, buku ini relevan bagi guru, pendamping iman, orang tua, pengelola sekolah, serta siapa pun yang percaya bahwa mendidik adalah panggilan moral dan spiritual.

Dua Buku, Satu Benang Merah

Pemikiran Zygmunt Bauman membantu kita memahami dunia, sementara Mendidik dengan Iman dan Cinta mengajak kita bertindak di dalam dunia itu. Yang satu membaca realitas, yang lain merawat harapan. Keduanya berpijak pada keyakinan yang sama: tanpa nilai, manusia akan mudah kehilangan arah.

Di tengah dunia yang semakin cair, pendidikan, iman, dan cinta bukan pilihan tambahan. Ia adalah fondasi bertahan hidup sebagai manusia.

Jika Anda mencari bacaan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menggetarkan nurani, dua buku ini adalah undangan untuk berhenti sejenak—merenung, dan bertumbuh. (*)

PEMESANAN kunjungi via Link ini: https://s.id/2bukubaumandanmendidik 


#MembacaZaman #ZygmuntBauman #PendidikanNilai #ImanDanCinta #LiterasiKritis

Minggu, 14 September 2025

Who is Pormadi Simbolon?


Pormadi Simbolon is an Indonesian citizen, writer, and philosopher known for his insightful articles on education, religion, social issues, and moral philosophy.

Professional Background

Pormadi Simbolon is affiliated with Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, a philosophy institute in Jakarta, indicating his academic grounding in philosophy. He has authored numerous reflective and critical articles spanning topics such as education reform, the role of religion in society, integrity, and character development in Indonesia.

Writing and Public Engagement

He actively publishes thought-provoking pieces through platforms like Muck Rack, Kumparan, and Kompasiana, addressing current socio-political and educational challenges in Indonesia. His writings often emphasize the need for moral integrity, critical thinking, and the practical role of religion in fostering societal values.

Key Themes in His Work

  • The importance of holistic education blending character, discipline, and moral values.
  • Critiques of corruption and ethical integrity issues within Indonesian society.
  • Advocacy for integrating religion as a living moral force, beyond mere symbolic practice.
  • Reflection on Indonesia's cultural and social progress vis-à-vis education and national identity.

Contribution to Indonesian Thought

Pormadi Simbolon is recognized as a public intellectual who bridges philosophy, journalism, and societal discourse. His work contributes to debates on how to cultivate a more just, moral, and intellectually engaged Indonesia through education and reflective public dialogue.
In summary, Pormadi Simbolon stands out as a prominent Indonesian thinker and writer dedicated to exploring the intersections of philosophy, religion, education, and social ethics, with an emphasis on character and national progress.


Source(s):
1. https://muckrack.com/pormadi-simbolon/articles
2. https://www.adscientificindex.com/scientist/pormadi-simbolonp-simbolon-simbolon-pormadi/4799602
3. https://kemenag.go.id/author/pormadi-simbolon
4. https://kumparan.com/pormadi-simbolon
6. https://sinta.kemdikbud.go.id/authors/scopusanalysis/6865539
7. https://www.batamtimes.co/2025/03/12/menjadikan-agama-sebagai-pondasi-moral-yang-nyata-bukan-sekadar-simbolik/

Kamis, 05 Juni 2025

Buku "Pemikiran Zygmunt Bauman: Problematika dan Prospek Kehidupan Terfragmentasi Masyarakat Posmodern

 

"Meskipun memiliki beberapa keterbatasan, buku ini tetap menjadi bacaan yang berharga bagi mereka yang tertarik pada studi sosiologi, filsafat, dan dinamika sosial kontemporer"

Catatan buku "Pemikiran Zygmunt Bauman: Problematika dan Prospek Kehidupan Terfragmentasi Masyarakat Posmodern" karya Pormadi Simbolon, yang diterbitkan oleh Kanisius pada tahun 2024.

Ringkasan Isi

Buku ini merupakan kajian mendalam terhadap pemikiran Zygmunt Bauman, seorang sosiolog dan filsuf terkemuka asal Polandia-Inggris, yang dikenal luas melalui konsep "modernitas cair" (liquid modernity). Pormadi Simbolon menyajikan analisis tentang bagaimana kehidupan masyarakat posmodern mengalami fragmentasi identitas, ketidakpastian, dan ambivalensi yang tinggi akibat dominasi pasar, globalisasi, serta melemahnya peran negara.([madurapers.com][1], [penerbitan.kanisiusmedia.co.id][2])

Dalam masyarakat posmodern, individu dihadapkan pada kebebasan yang luas namun dengan keamanan yang minim. Identitas diri menjadi beban personal, bukan lagi hasil dari struktur sosial yang stabil. Bauman menyoroti bahwa kondisi ini menuntut tanggung jawab moral dari setiap individu, yang ia sebut sebagai "etika pascamodern"—sebuah dorongan moral yang muncul dari dalam diri, bukan karena ancaman sosial atau regulasi eksternal. ([penerbitan.kanisiusmedia.co.id][2])

Kekuatan Buku

  1. Penjelasan Konsep Kompleks: Buku ini berhasil menyederhanakan konsep-konsep kompleks Bauman, seperti modernitas cair, masyarakat konsumen, dan etika pascamodern, sehingga lebih mudah dipahami oleh pembaca umum.([bengkelnarasi.com][3])
  2. Relevansi Kontekstual: Analisis yang disajikan relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi dan perubahan sosial yang cepat.
  3. Pendekatan Akademik: Sebagai hasil penelitian kepustakaan, buku ini cocok sebagai referensi akademik bagi mahasiswa dan dosen di bidang filsafat dan ilmu humaniora.([penerbitan.kanisiusmedia.co.id][2])

Kelemahan Buku

  1. Keterbatasan Studi Empiris: Buku ini lebih bersifat teoretis dan kurang menyajikan studi kasus atau data empiris yang dapat memperkuat argumen yang disampaikan.
  2. Gaya Bahasa Akademik: Meskipun berusaha menyederhanakan konsep, gaya penulisan masih cenderung akademik, yang mungkin kurang menarik bagi pembaca umum.

Kesimpulan

"Pemikiran Zygmunt Bauman" karya Pormadi Simbolon adalah kontribusi penting dalam memahami dinamika masyarakat posmodern melalui lensa Bauman. 

Buku ini menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana individu dan masyarakat dapat menavigasi kehidupan yang semakin kompleks dan terfragmentasi. 

Meskipun memiliki beberapa keterbatasan, buku ini tetap menjadi bacaan yang berharga bagi mereka yang tertarik pada studi sosiologi, filsafat, dan dinamika sosial kontemporer.([penerbitan.kanisiusmedia.co.id][2])

---

Catatan:

[1]: https://madurapers.com/zygmunt-bauman-pakar-sosiologi-yang-menginspirasi-dunia/?utm_source=chatgpt.com "Zygmunt Bauman: Pakar Sosiologi yang Menginspirasi Dunia - Madurapers"

[2]: https://penerbitan.kanisiusmedia.co.id/books/pemikiran-zygmunt-bauman-problematika-dan-prospek-kehidupan-terfragmentasi-masyarakat-posmodern/?utm_source=chatgpt.com "Pemikiran Zygmunt Bauman Problematika dan Prospek Kehidupan Terfragmentasi Masyarakat Posmodern – KanisiusMedia"

[3]: https://bengkelnarasi.com/2025/02/14/merawat-ingatan-sosiologi-modernteori-globalisasi-dan-masyarakat-dunia-globalization-and-world-society-oleh-zygmunt-bauman/?utm_source=chatgpt.com "Teori Globalisasi dan Masyarakat Dunia oleh Zygmunt Bauman. - Bengkel Narasi"

Selasa, 01 April 2025

Siklus Otoritarianisme (Mangadar Situmorang)

Siklus Otoritarianisme

Oleh Mangadar Situmorang

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sudah disetujui Sidang Paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Pengesahan itu sontak menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait prosesnya yang begitu cepat (14 hari sejak diusulkan) sehingga dinilai cacat formal. Substansinya juga ditakutkan menghidupkan kembali dwifungsi militer.

Penempatan serdadu aktif di 14 kementerian atau lembaga, serta keberadaan mantan personel militer di institusi lainnya, bersifat indikatif terhadap adanya siklus otoritarianisme dalam politik dan pemerintahan Indonesia.

Walaupun tidak persis setiap 25 tahunan atau 30 tahunan, kecenderungan siklus otoritarianisme itu layak dicermati dan menjadi pembelajaran.

Dalam pencarian bentuk politik dan pemerintahan dari negara yang baru merdeka dan di tengah revolusi mempertahankan kemerdekaan, masa 1945-1959 sering dianggap sebagai masa demokrasi. Puncaknya adalah Pemilu 1955 yang sering disebut sebagai paling liberal.

Namun, Presiden Soekarno menolak politik liberal semacam itu karena dinilai tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan selanjutnya mendeklarasikan Demokrasi Terpimpin pada 1959.

TNI saat itu menjadi penopang utama kekuasaan Soekarno, di samping Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan kemudian Partai Komunis Indonesia (PKI) walau kedua kekuatan politik tersebut berkontribusi terhadap kejatuhannya (1966).

Meski awalnya disambut antusias oleh kekuatan prodemokrasi, termasuk mahasiswa, rezim Orde Baru Soeharto bertumpu pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Bersama ABRI, birokrasi, dan Golkar, yang lalu memunculkan tiga pilar A-B-G, Soeharto menjalankan trilogi pembangunan bertajuk Demokrasi Pancasila.

Lewat dwifungsi ABRI—di mana para perwira tentara menduduki berbagai jabatan politik dan pemerintahan, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, di pusat ataupun di daerah—Soeharto mampu mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun.

Masa setelah Soeharto, yang dikenal sebagai masa Reformasi (sejak 1998), juga diawali dengan semangat demokratisasi.

Euforia demokratisasi ini menuntut dwifungsi ABRI dihapuskan. Intinya, TNI harus berada di bawah kontrol pemerintahan sipil. Wujudnya, tentara tidak boleh terlibat dalam lembaga-lembaga politik dan pemerintahan, kecuali sudah pensiun atau mengundurkan diri sebagai tentara aktif, sebelum memasuki dunia politik dan pemerintahan.

Semuanya diatur melalui Tap MPR No VI/2000 dan VII/2000 dan selanjutnya dituangkan dalam UU TNI No 34/2004. Sekitar 25 tahun kemudian, kecenderungan militer terlibat dalam kekuasaan pembuatan keputusan-keputusan politik dan pemerintahan tampaknya tak lagi terbendung.

Kelemahan pemerintahan sipil

Kecenderungan sebuah negara ke arah otoritarianisme sering disebut sebagai akibat dari kelemahan dan kegagalan pemerintahan sipil. Jika itu benar, kegagalan pemerintahan sipil tampaknya juga mengalami siklus tertentu.

Siklus kegagalan pemerintahan sipil, walau tak selalu sama dengan pemerintahan demokratis, ditandai dua hal.

Pertama, pemerintahan sipil tidak mampu menjaga soliditas yang kuat dan berkelanjutan. Keberagaman identitas, nilai, dan kepentingan memang menjadi bahan baku utama dan basis demokrasi, tetapi kemampuan mengelolanya sering kali digerogoti oleh kepentingan atas argumentasi tertentu, misalnya asas mayoritas.

Kepemimpinan sipil atas hikmat kebijaksanaan yang menekankan kepentingan bersama tidak selalu sejalan dengan hikmat perwakilan yang lebih mengindikasikan kepentingan mayoritas-minoritas.

Reformasi yang mengusung supremasi sipil dan supremasi hukum hanya berlangsung sesaat. Reformasi ini kemudian meredup dan dibunuh oleh politik pragmatisme dan transaksionalisme dalam bentuk kesepakatan-kesepakatan berbasis kepentingan jangka pendek sebagaimana ditampilkan oleh koalisi-koalisi politik yang cair dan mudah berubah.

Hal kedua adalah mudahnya unsur-unsur sipil melirik dan menarik dukungan dari unsur-unsur nonsipil, baik karena kekuatan kelembagaan, jaringan, maupun besaran massanya.

Kekuatan nonsipil ini bisa berupa militer atau kepolisian. Memasukkan militer ke dalam pemerintahan sudah dipraktikkan oleh Soekarno dan Soeharto pada zamannya. Kekuatan kepolisian sering disebut menjadi kekuatan yang dimanfaatkan oleh Joko Widodo (Jokowi), yang memunculkan fenomena partai coklat (parcok).

Pemanfaatan kekuatan di luar militer dan kepolisian juga pernah terjadi, yaitu berupa kelompok-kelompok radikal dan premanisme, yang dalam karya Verena Beittinger-Lee (2010) dikategorikan sebagai uncivil society organizations.

Otoritarianisme: bukan sebatas TNI

Siklus memudarnya daya tahan pemerintahan sipil, dengan demikian, sejalan dengan siklus masuknya militer ke dalam urusan-urusan sipil meskipun hal itu tidak dengan sendirinya melahirkan pemerintahan militeristis.

Pengesahan revisi UU TNI membuka pintu lebar-lebar ke arah otoritarianisme dengan varian yang mungkin berbeda.

Tentang varian tersebut, sejarah politik Indonesia mendokumentasikannya. Harry Benda (1966), misalnya, menyebut beambtenstaat yang mengartikan administrasi pemerintahan yang bersifat apolitik.

Harold Crouch (1979) menamai patrimonial cum military regime dan Dwight King (1982) mengajukan istilah bureaucratic authoritarian regime. Istilah-istilah tersebut menarasikan kekuasaan pemerintahan yang ditopang oleh kekuatan pemaksa, bercorak patron-client, dan terpisah dari rakyat.

Ruth McVey (1982) menyebut praktik post-colonial state, sementara Bennedict Anderson (1983) menyebut old state, new society, untuk menggambarkan nihilnya perubahan sistem pemerintahan (walau sudah merdeka) di tengah masyarakat yang berubah dan menggantikan istilah Clifford Geertz (1969) old societies, new states.

Seiring dengan masuknya kekuatan kapital, Richard Robison (1986) memunculkan konsep authoritarian-bureaucratic-capitalism dan Hal Hill (1996) mengungkapkan adanya apa yang disebut authoritarian interventionist development state.

Varian otoritarianisme di atas dengan jelas menunjukkan keberadaan dan peranan kekuatan lain selain tentara. Birokrasi atau administrasi pemerintahan menjadi mitra potensial. Kecenderungan mensterilkan birokrasi dari pengaruh (partai) politik sejatinya merupakan praktik universal di banyak negara.

Perintah Presiden Prabowo Subianto agar para menteri dan kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) mengutamakan kepentingan rakyat dapat dibaca sebagai upaya menjauhkan pimpinan pemerintahan di pusat dan daerah dari campur tangan dan kepentingan partai-partai politik (pengusung).

Para kapitalis atau pemilik modal, baik nasional maupun internasional, merupakan partner potensial kedua. Menggandeng mereka merupakan langkah strategis dalam rangka mendukung pembiayaan program-program pembangunan pemerintahan Prabowo.

Keterbatasan penerimaan pajak dan ketidakpastian perolehan nonpajak, termasuk pinjaman luar negeri di tengah ketidakpastian perekonomian global, membuat profil dan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 terbatas hanya beredar di kalangan pemerintah, termasuk untuk pembelanjaannya.

Berkolaborasi dengan lembaga legislatif sudah semakin nyata. Hal itu diawali dengan terbangunnya Koalisi Indonesia Merah Putih plus (KIM plus) yang telah mengisi jajaran kabinet dan lembaga nonkementerian. Koalisi ini tentunya berlanjut di Senayan, bahkan digadang-gadang menjadi koalisi yang permanen.

Penerimaan oleh Komisi I DPR yang dipimpin anggota DPR dari PDI Perjuangan (PDI-P) dan pengesahan oleh Ketua DPR yang juga dari PDI-P atas revisi UU TNI jelas mengikis harapan sebagian warga akan adanya kekuatan oposisi di DPR yang memiliki pandangan kritis dan mampu membendung kembalinya otoritarianisme.

Menaruh harapan pada lembaga yudikatif untuk menjaga prinsip demokrasi, setidak-tidaknya dalam hal mengawasi kekuasaan eksekutif dan legislatif, tampaknya juga akan sia-sia. Secara normatif lembaga ini adalah independen, tetapi para pejabatnya jauh dari kriteria tersebut. 

Kecenderungan ke arah otoritarianisme boleh jadi memiliki siklus tertentu atas argumentasi dan godaan menghadirkan pemerintahan yang efektif, seperti halnya dalam sistem komando yang berlaku di militer. Namun, pada saat yang sama, hal itu akan menutup ruang-ruang partisipasi politik demokratis.

Apakah itu akan dikompensasi oleh keberhasilan pemberantasan korupsi, pembangunan ekonomi, serta peningkatan kesejahteraan rakyat dan menjadi pelipur terhadap hilangnya kebebasan dan partisipasi politik? Walau layak ditunggu, itu mungkin harus dibayar dengan biaya besar yang harus ditanggung dalam lima tahun ke depan.

Mangadar Situmorang, Pengajar Politik Indonesia Universitas Parahiyangan

Sumber: Kompas.id, Selasa, 01 Apr 2025 19:10 WIB · Opin

Powered By Blogger