Dimotori Dino Patti Djalal, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, ribuan ilmuwan, pengusaha, dan profesional asal Indonesia—melalui kongres di Los Angeles, AS, Juli 2012—sepakat membentuk komunitas global Jaringan Diaspora Indonesia.
Himpunan "mutiara berserakan" yang bermukim di sejumlah negara itu menggalang kekuatan, bersinergi, merancang sejumlah agenda aksi untuk memberi sumbangsih kepada Ibu Pertiwi. Misi mulia Diaspora Indonesia itu patut diapresiasi sekaligus dikritisi agar bukan sebatas utopia.
Skeptisme—pijakan berpikir kaum profesional terpelajar— menghendaki penjelasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi setiap proyek besar. Ikhtisar berikut menelisik fakta dan kontradiksi sejarah sebagai faktor kalibrasi untuk memahami perkaitan dengan ihwal tersebut.
Manusia unggul terbuang
Terinspirasi sukses Jepang pascaperang 1945, Bung Karno mengirim puluhan ribu putra- putri terbaik bangsa ke banyak negara mulai 1956. Program Mahasiswa Ikatan Dinas itu kemudian disusul dengan nasionalisasi aset perusahaan asing dan rintisan pembangunan proyek infrastruktur dasar-strategis.
Sebutlah seperti pabrik baja Krakatau Steel (dulu disebut pabrik baja Trikora), Waduk Jatiluhur, pabrik pupuk Petrokimia Gresik dan Pusri Palembang, Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), kapal laut (PAL), kereta api (INKA), dan sejumlah proyek masa depan lainnya. Beberapa universitas pionir pun didirikan, menunjukkan kesetangkupan gerak, inward-outward looking.
Strategi penyerentakan pembangunan infra-suprastruktur masa itu, selain disemangati cita-cita proklamasi, juga dihela hasrat kuat menjadi bangsa besar, maju di tiga sokoguru utama: pendidikan, politik, dan ekonomi. Nusantara—dengan 3.000 pulau lebih—jelas membutuhkan moda transportasi andal darat, laut, dan udara.
Analisis kebutuhan prioritas bangsa yang disusun sejak Kabinet Hatta II (1949) sampai Kabinet Djuanda, seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1959, menyajikan cetak biru komprehensif, terjadwal, apa dan bagaimana meraih cita-cita bangsa. Hulu dari semua itu adalah kebutuhan menyiapkan manusia unggul di semua lini untuk mengolah sumber daya alam dan modal berharga: kedaulatan politik dan ekonomi.
Peristiwa politik 1965 membuyarkan semuanya. Liberalisasi ekonomi antara lain lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing laksana menghapus peta baru sejarah, menihilkan rancangan aksi sebelumnya. Ribuan mahasiswa Indonesia yang belajar aneka disiplin ilmu, terutama keteknikan di Eropa Timur, menjadi kaum eksil. Dibikin mati perdata oleh pemerintahnya sendiri meskipun kebanyakan tidak tahu-menahu politik. Inilah brain drain pertama dan terbesar dalam sejarah Indonesia modern.
Tragedi dengan konsekuensi serupa berulang saat Presiden Soeharto menandatangani letter of intent (LOI) IMF, 15 Januari 1998. Konsekuensinya, proyek- proyek besar dan industri strategis harus dihentikan dengan alasan tunggal: demi menyelamatkan keuangan negara.
Ribuan tenaga ahli yang sebelumnya bekerja di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), juga aneka macam proyek rekayasa industri lainnya, terpaksa kabur mencari nafkah ke luar negeri. Dalam skala masif, banyak profesional, ilmuwan, pelajar cerdas-genius dan para juara olimpiade nasional-internasional justru "dirawat" perusahaan atau perguruan tinggi asing.
Dua momen tragik tersebut memberi pelajaran penting bahwa setiap kali timbul guncangan politik-ekonomi, pembangunan kualitas manusia lantas terabaikan. Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan China, yang tergolong belakangan mengakselerasi kualitas SDM- nya, dalam satu-dua dasawarsa telah memanen hasil: rakyat sejahtera dan negara leluasa mencanangkan lompatan kemajuan terukur, new frontier.
Sekadar contoh, bandingkan pencapaian industri baja Korea yang diinisiasi Presiden Park Chung-hee, Pohang Steel (berdiri 1970), yang menjelma menjadi salah satu produsen baja terbesar di dunia dan mendorong lahirnya puluhan industri manufaktur kompetitif kelas global seperti Hyundai, Samsung, dan LG. Sebaliknya, Krakatau Steel (nota kesepakatan 1957, mulai dibangun 1962) gagal bersaing bahkan di pasar domestik. Betapa kontrasnya dukungan pemerintah masing-masing untuk proyek vital tersebut.
Lapangan ekspresi
Keprihatinan anak-anak negeri di mana pun atas situasi Indonesia hari ini, mengutip Immanuel Kant, mencerminkan empirical apperception. Perasaan getir warga bangsa melampaui apa yang dibayangkan kalangan elite. Maka, ketimbang berharap kepada negara yang berpilin dengan ragam kompleksitas, inisiatif berupa gerakan-gerakan kecil berkualitas, berdaya jangkau mondial, dapat disodorkan sebagai alternatif keluar dari perangkap kejumudan struktural.
Aksi komunitas overseas ilmuwan-profesional India, Generative Scenario Thinking dalam mengatasi ketidakberdayaan rakyat, bisa menjadi inspirasi berharga. Komunitas yang terbentuk dua dasawarsa lalu itu lebih mengedepankan skenario fireflies arising (kunang-kunang bermunculan), menggedor sukma anak bangsa yang berhasil di mancanegara agar ikut berbakti kepada negerinya. Mereka membantu kaum miskin beroleh akses pendidikan dan ekonomi, memfasilitasi inisiatif lokal, menciptakan knowledge based society, sekaligus mendorong pembelajaran bersama agar bebas dari jerat keterbelakangan.
Kaum profesional India banyak menempati posisi kunci di lembaga keuangan, teknologi informasi, konsultan manajemen, dan perusahaan-perusahaan terkemuka dunia. Kesadaran bahwa mobilisasi modal berharga itu tak "bunyi" dengan tatanan politik- kultural India membuat mereka menempuh jalan lebih tepat sasaran, menjauhi slogan mentereng, menghindari birokrasi.
Aliansi gerakan Diaspora Indonesia dengan sejawatnya di Tanah Air agaknya lebih menjanjikan pertalian batin, kohesi progresif, dan mampu mengatasi sekat-sekat psikologis-politik yang tak perlu. Persenyawaan aksi dua kekuatan moral-profesional tanpa campur tangan politik bakal membuka kesempatan persemaian lapangan ekspresi tak terbatas. Dengan demikian, sumbangsih Jaringan Diaspora Indonesia terhindar dari kemungkinan terbentur komplikasi politik dan sejenisnya.
Atas cara pandang yang sama, inovasi dan kreasi anak-anak negeri tidak perlu terjebak aneka dilema ganjil seperti fakta bahwa gaji dan tunjangan profesor riset lebih rendah daripada gaji guru SD (Kompas, 25/10/2012). Atau gundah dengan kegetiran mantan Presiden BJ Habibie menyaksikan orang-orang terbaik negeri ini justru dimanfaatkan perusahaan-perusahaan asing dan melempar produknya ke sini. Sebuah ekses dari mentalitas inferior sebagian warga dan elite bangsa yang lebih suka membayar jam kerja dan keringat orang asing.
SUWIDI TONO Koordinator Forum "Menjadi Indonesia"
(Kompas cetak, 11 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar