Hafid Abbas
Menarik direnungkan apa yang pernah dikemukakan oleh Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi. Bagi Malaysia, kata Badawi, pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia bukan sekadar sesuatu yang mutlak atau sangat vital, melainkan persoalan hidup matinya Malaysia.
Jika Indonesia berpandangan sama, bahwa pendidikan adalah persoalan hidup matinya bangsa ini di masa depan, maka sudah waktunya bangsa ini membenahi pendidikan secara sungguh-sungguh pada semua dimensi persoalan pendidikan. Beberapa waktu lalu (27/11/2012) harian ini melaporkan peringkat pendidikan Indonesia pada urutan terendah di dunia. Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua diraih Finlandia dan Korea Selatan.
Tiga titik rawan
Jika wajah pendidikan kita seperti itu, proses perjalanan peradaban modern bangsa ini ke masa depan akan bergerak di atas pelataran yang amat rapuh. Berikut ini titik-titik rawan itu. Pertama, pada 21 Maret 2011, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR melaporkan, 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal.
Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal, 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal, dan 10,15 persen yang memenuhi standar nasional pendidikan. Sekolah-sekolah yang dinilai mampu bersaing dengan mutu pendidikan negara-negara lain, yang disebut rintisan sekolah bertaraf internasional, hanya 0,65 persen.
Jika potret suram itu tidak segera berubah, di masa depan pendidikan kita hanya akan menghasilkan bangsa kuli yang tidak mampu bersaing dengan bangsa lain. Lebih mengkhawatirkan lagi, pada 2015 kita akan memasuki satu komunitas masyarakat tunggal ASEAN. Namun, sayang sekali, hingga kini belum terlihat adanya tanda-tanda perubahan secara signifikan pembenahan pendidikan nasional memasuki era baru itu. Dengan mutu pendidikan yang rendah, Indonesia sesungguhnya akan memasuki era kolonialisme baru dari bangsa lain yang kualitas pendidikannya lebih maju. Terdapat sekitar 2,7 juta buruh migran Indonesia bekerja di Malaysia, diperkirakan 60 persen bekerja sebagai pekerja rumah tangga, buruh perkebunan, dan buruh konstruksi.
Kerawanan kedua, saat ini tercatat sekitar 3.600 perguruan tinggi swasta dan hanya ada 92 perguruan tinggi negeri. Dari jumlah itu terdapat 6.000 program studi yang belum terakreditasi atau tak legal (Kompas, 18/5/2012), 42 persen dari semua tenaga pengajarnya masih berpendidikan S-1. Hanya 6-7 persen dari semua program studi yang berjumlah 1.7000- 18.000 yang terakreditasi A.
Gambaran ini kelihatannya jauh lebih suram jika dibandingkan dengan wajah pendidikan dasar dan menengah. Jika ditambah dengan jumlah akademi komunitas yang akan segera dikembangkan di semua provinsi yang tersebar di 300 kabupaten/kota, Indonesia akan tercatat sebagai negara dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak di dunia.
Sekadar perbandingan, China dengan penduduk mendekati 1,4 miliar atau sekitar enam kali lebih besar daripada Indonesia hanya memiliki 2.263 perguruan tinggi (Fact about China Education, 2011). Lebih menarik lagi, China menggalakkan kebijakan penggabungan perguruan tinggi yang kecil-kecil menjadi perguruan tinggi besar dengan pengelolaan yang lebih profesional. Pada 2011 terdapat sekitar 900 perguruan tinggi kecil-kecil yang dikelola dengan pendekatan seperti itu.
Moratorium pembukaan program studi dan perguruan tinggi baru yang dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bukanlah solusi, bahkan akan menciptakan masalah baru yang lebih rumit. Perguruan tinggi harus terus-menerus berubah dan berkembang seirama dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan dinamika perubahan masyarakat. Sungguh satu kekeliruan jika tuntutan itu harus dihalangi.
Kerawanan ketiga, sejak lebih dari satu dekade terakhir terdapat pergeseran kebijakan pengelolaan pendidikan secara keseluruhan—baik di pusat maupun di daerah—dari pendekatan teknis profesional ke kepentingan politik praktis. Padahal, UNESCO dan ILO (1966) telah mengeluarkan rekomendasi tentang pengembangan profesi guru dan jabatan apa saja yang terkait dengan pendidikan. Pada butir 43 rekomendasi tersebut disebutkan, posisi pengawas, kepala dinas pendidikan, inspektur jenderal, direktur jenderal, termasuk menteri pendidikan atau jabatan apa saja yang memerlukan tanggung jawab khusus yang terkait dengan urusan pendidikan, haruslah diprioritaskan pada urutan pertama kepada guru yang sudah berpengalaman.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, urusan pendidikan telah dikavling menjadi jatah politik dari Muhammadiyah dan kementerian agama jatah NU. Akibatnya, kementerian pendidikan telah didominasi oleh mereka yang didukung oleh kepentingan Muhammadiyah, mulai dari menteri hingga jabatan-jabatan lain. Latar belakangan keahlian di jajaran struktural cukup variatif, mulai dari dokter, ahli batuan, ahli rayap, hingga listrik arus lemah. Ironisnya, terabaikan adalah bidang yang disarankan UNESCO, yaitu keguruan dan ilmu pendidikan. Hal ini terus terpelihara hingga sekarang. Pengkavlingan seperti itu hasilnya ternyata adalah keadaan pendidikan Indonesia dinilai terburuk di dunia.
Demi politik pencitraan
Keadaan yang lebih rawan lagi terjadi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga ke pranata-pranata unit birokrasi pendidikan paling bawah. Dengan otonomi daerah, para bupati/wali kota terpilih dengan bebas menempatkan orang-orang dekatnya yang telah dinilai berjasa atas kemenangannya di proses pilkada untuk mengisi semua pos di dinas pendidikan daerah. Ada daerah yang mempromosikan seseorang yang mengurus urusan pasar ke urusan pendidikan, ada pula yang berasal dari urusan pemakaman ke dinas pendidikan. Pertimbangan-pertimbangan ilmiah seperti saran UNESCO sudah kering di dada elite politik negeri ini.
Elite-elite kepemimpinan pendidikan di pusat dan daerah kelihatannya baru mencari bentuk karena umumnya tidak tumbuh di ranah pendidikan dan keguruan. Mereka umumnya mementingkan pencitraan. Misalnya, jika ada 2-3 anak menang di olimpiade sains, misalnya, itulah yang dibesar-besarkan untuk memberikan kesan bahwa mereka telah berhasil luar biasa memajukan pendidikan. Mereka tidak menyadari bahwa mafia penyelenggara olimpiade seperti itu tersebar dan menjamur di berbagai belahan dunia.
Dengan kepentingan pencitraan, keputusan strategis pun sering kali diambil tanpa melalui hasil penelitian ilmiah. Ada tawuran antarsiswa, solusinya adalah perubahan kurikulum. Apa benar semua itu disebabkan oleh kurikulum? Menyalahkan kurikulum adalah modus paling aman. Sebab, kalau sang pengambil kebijakan keliru, hasilnya baru diketahui 10-20 tahun kemudian. Lagi pula, satu lembar yang berubah dalam kurikulum dapat melahirkan sekian ribu proyek baru yang dapat memberi lahan baru bagi mitra-mitra luar untuk membantu meningkatkan daya serap anggaran di kementerian pendidikan.
Semoga bangsa kita segera terbebas dari belenggu kepentingan politik pencitraan dan bangkit dari keterpurukannya dari posisi yang terendah di dunia, seperti yang dilaporkan oleh Pearson baru-baru ini.
Hafid Abbas Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta
(Kompas cetak, 28 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar