Sepuluh hari menjelang berakhirnya masa uji publik Kurikulum 2013, dihitung sejak 29 November menurut Kemdikbud, terlihat berbagai alternatif.
Alternatif pertama, jalan terus sesuai rencana. Alternatif kedua, jalan sesuai rencana, dengan perbaikan mencerap masukan masyarakat. Alternatif ketiga, tunda saja sebab infrastruktur belum siap.
Mana yang terbaik? Kita sepakat kurikulum harus berubah. Kapan? Secepatnya, tetapi jangan asal cepat tanpa pertimbangan matang. Dengan rambu itu, alternatif ketiga yang terbaik. Kurikulum 2013 jalan terus sesuai rencana, tetapi penuhi syarat minimal dan pokok, infrastruktur yang menopang penerapan yang tidak kebat kliwat.
Niscaya masukan masyarakat cermat didaftar. Di antaranya kesiapan guru dan ketersediaan buku. Faktor guru, jumlah dan kompetensi, selama ini hanya ditempatkan sebagai pelaksana. Padahal, merekalah ujung tombak. Kalau tidak disiapkan, guru bersikap masa bodoh. Terjadi kesenjangan kurikulum di atas kertas dan kurikulum yang dipraktikkan di lapangan.
Kita tidak pernah belajar dari kekeliruan. Ketika kurikulum diterapkan—sejak Indonesia merdeka sudah tujuh kurikulum—masalah ketersediaan buku tidak dipersiapkan. Padahal, buku pelajaran merupakan prasyarat integral kegiatan belajar-mengajar. Dengan tidak ada buku—salah satu infrastruktur—penerapannya timpang. Buku kurikulum sebelumnya, bahkan di beberapa daerah dari kurikulum jauh sebelumnya, dipakai sebagai rujukan.
Selain faktor infrastruktur guru dan buku sebagai prasyarat pertama dan kedua, tak kalah menarik masalah jumlah mata pelajaran dan jumlah jam pelajaran.
Sejak digagas tiga tahun lalu dan dipertegas pernyataan Wakil Presiden Boediono, April lalu—menyangkut kompetensi dan karakter—muncul gagasan model pembelajaran tematik integratif. "Penghilangan" jurusan IPA dan IPS, tetapi digabung dalam pelajaran Bahasa Indonesia sebagai bentuk konkretnya, memicu wacana baru.
Sebab, bukankah setiap mata pelajaran memiliki karakter sendiri? IPA dan IPS punya karakter dan logika masing-masing. Padahal, masalahnya tidak terletak di sana, tetapi pada kegagalan mengangkat kegiatan menulis menjadi menulis untuk belajar. Dari learning to write menjadi writing to learn. Itulah kasmaran berbahasa, mengutip Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB.
Diterapkan secara bertahap mulai ajaran 2013/2014 bukanlah uji coba, kebiasaan baik yang selama ini dilakukan. Dengan uji coba dimaksudkan agar sekecil mungkin memakan korban. Niscaya dengan mempersiapkan sematang mungkin kurikulum dan infrastruktur praksisnya, penerapannya jauh dari sikap anak didik sebagai kelinci percobaan. Lantas, apa saran kita? Melihat faktor ketidaksiapan infrastruktur, mengingat juga Indonesia bukan hanya Jakarta, alternatif ketiga barangkali yang terbaik. Artinya, selagi tidak serba siap, menunda penerapan Kurikulum 2013 lebih besar manfaatnya.
(Tajuk Rencana, Kompas, 19 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar