Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 01 Maret 2013

Bahasa Indonesia Berbasis Genre

Oleh Helena IR Agustien

Berita Kompas, Sabtu, 16 Februari lalu, halaman 12, tentang pelajaran bahasa berubah arah, menarik disimak sebab praktisi bahasa dan masyarakat sedang mempertanyakan apa yang dimaksud dengan menggabungkan mata pelajaran sains dengan bahasa Indonesia.

Berita Kompas ini sedikit memperjelas duduk perkara setelah dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam pelajaran bahasa Indonesia (BI) di sekolah dasar akan berbasis teks atau genre. Tujuannya, pengajaran BI tidak semata-mata berupa pengajaran bahasa, melainkan juga menjadi alat belajar dan berpikir. Pendekatan ini sudah digunakan dalam kurikulum bahasa Inggris sejak 2004. Gagasan ini mengandung sejumlah keuntungan.

Pertama, dengan menetapkan sejumlah genre atau jenis peristiwa komunikasi sebagai target kompetensi berbahasa, pelajaran BI tidak akan terbelenggu dalam pelajaran teori kebahasaan, language usage. Teori kebahasaan masih diperlukan, tetapi apa pun yang dilakukan di tahap ini masih harus diteruskan untuk akhirnya bermuara di tahap komunikasi, language use. Dengan demikian, ada daya paksa yang mendorong pelajaran BI ke arah komunikasi.

Kedua, dengan pendekatan ini, jenis teks genre atau jenis teksnya dapat ditentukan dalam kurikulum, sedangkan isi atau tema atau topik yang diajarkan dapat disesuaikan dengan mata pelajaran lain. Hal ini dimungkinkan mengingat BI adalah bahasa kedua, bahkan pertama, bagi kebanyakan anak Indonesia. Dalam konteks ini, perkembangan kemampuan berbahasa Indonesia tidak hanya bergantung pada masukan dari sekolah. Siswa mengenal dan terlibat dalam genre BI secara intuitif di mana-mana.

Misalnya, salah satu genre dasar adalah deskriptif. Target kompetensi pengajaran teks deskriptif adalah kemampuan mendeskripsikan. Maka, setelah menjalani proses pembelajaran, siswa diharapkan dapat mendeskripsikan, misalnya, "rumahku" atau "keluargaku" yang berhubungan dengan kesehatan atau budi pekerti.

Dapat dikawinkan

Genre, yang dalam bahasa Inggris disebut information report, dapat dikawinkan dengan tematema binatang, tetumbuhan, dan lain-lain untuk mendorong penggunaan bahasa sekaligus belajar sains. Demikian pula genre recount yang dapat mengakomodasi pelajaran sejarah.

Kekhawatiran tentang tidak terakomodasinya aspek sastra dalam BI bisa jadi menjadi kurang beralasan sebab dalam pendekatan ini, jenis-jenis teks sastra dapat menjadi target kompetensi. Lewat genre sastra seperti cerita rakyat, fabel, dan puisi, pengembangan sikap positif dan internalisasi nilai-nilai luhur dapat terjadi. Jika perubahan kurikulum ini dimaksudkan untuk membentuk sikap positif yang diharapkan, genre sastra mutlak dikenalkan sejak SD.

Meski demikian, masih ada pertanyaan yang tersisa. Jika pelajaran bahasa bertujuan mengembangkan kompetensi berbahasa alias berkomunikasi untuk beragam tujuan, ada banyak waktu yang diperlukan untuk itu. Kompetensi berbahasa perlu didukung oleh kompetensi linguistik seperti tata bahasa dan ko- sakata yang masih perlu diperhatikan meskipun BI merupakan bahasa nasional. Hal ini memerlukan waktu. Kompetensi berbahasa utuh dikembangkan lewat empat keterampilan, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Ini memerlukan waktu dan tenaga tak sedikit.

Tak mampu menampung

Jika keterampilan berbahasa ini yang ditargetkan, BI tidak akan mampu menampung tema-tema yang terlalu banyak. Dapat diantisipasi bahwa akan banyak tema mata pelajaran yang dititipkan tidak tertangani dengan baik.

Di negara maju, seperti Inggris dan Australia, dikenal konsep English across the curriculum yang artinya semua guru bidang studi diharapkan memperhatikan keterampilan berbahasa siswa. Semua guru bidang studi "dititipi" untuk memperhatikan bahasa. Jadi, bukan bahasa yang "dititipi" bidang lain.
Sebagai contoh, Singapura juga menggunakan pendekatan genre dalam mengembangkan bahasa Inggris sebagai bahasa sekolah dan masyarakatnya. Namun, pelajaran ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial tidak dibebankan kepada pelajaran bahasa Inggris. Artinya, ujian bahasa bertujuan menilai kompetensi berbahasa, sedangkan ujian sains menguji pengetahuan dan keterampilan sains.
Penggabungan keduanya akan menimbulkan kerancuan dalam assessment atau penilaian. Saya khawatir akan terjadi penumpulan target-target kompetensi dan tidak jelasnya kompetensi yang harus diukur pada akhir satu tahap pembelajaran yang biasa disebut standar kompetensi lulusan.

Helena IR Agustien Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
(Kompas cetak, 1 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger