Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 09 Februari 2013

Wajah Daerah dalam Televisi Jakarta

IGNATIUS HARYANTO

"Di Surabaya ditemukan kucing aneh yang tidak memiliki bulu lebat sebagaimana umumnya kucing. Kumisnya sangat panjang serta memiliki ekor seperti tikus. Masyarakat sekitar khawatir kucing itu adalah kucing jadi-jadian."

Itu adalah salah satu berita pagi yang penulis tonton di sebuah saluran televisi Jakarta. Kali lain penulis juga menemukan berita yang terkait tawuran atau bentrok fisik antarkelompok. Tawuran bisa terjadi antarpelajar, antarmahasiswa, antarkampung, antarpendukung kandidat dalam pilkada, dan lain-lain.

Itulah wajah "daerah" atau "wilayah luar Jakarta" sebagai - mana ditampilkan dalam siaran berita televisi Jakarta. Ade Armando (Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia, 2011) telah menunjukkan kritik tajamnya atas fenomena penguasaan televisi Jakarta atas ruang udara se-Indonesia ini. Namun, apa yang tampil sehari-hari ini adalah contoh paling jelas bagaimana konstruksi berpikir para produser berita televisi Jakarta dalam melihat aneka fenomena di luar Jakarta.

Sejauh terlihat di layar kaca, kita akan melihat peristiwa di luar Jakarta itu adalah peristiwa yang "aneh, ndeso, mistis, terbelakang, menunjukkan peradaban yang kalah maju dengan Jakarta, kebiadaban (banyak konflik, perang suku), dan aneka ketimpangan antara Jakarta dan luar Jakarta tersebut".

Seolah tak ada hal positif yang datang dari daerah. Anehkah hal ini buat para pemirsa televisi lainnya? Penulis pun membayangkan bagaimana rasanya pemirsa dari tayangan-tayangan berita dari luar Jakarta tersebut. Apakah mereka tersinggung, merasa biasa saja, atau tak berkutik untuk bersuara?

Siapa yang menjadi penonton mungkin akan punya pandangan berbeda-beda. Namun, sejauh penulis mencermati, itulah wajah tentang wilayah "luar Jakarta" yang penuh dengan "keajaiban" dan "hal-hal yang tak bisa dimengerti oleh orang Jakarta". Dengan tampilan demikian, itulah yang menjadi prefered meaning (makna yang lebih diutamakan)— meminjam istilah Stuart Hall, tokoh cultural studies asal Inggris—dari para produser televisi Jakarta terhadap daerahdaerah di luar Jakarta.

The Othering (proses menyebut pihak lain sebagai yang asing) sebagaimana dilakukan oleh produser televisi ini seolah membuat jarak antara apa yang ada di Jakarta dan apa yang terjadi di luar Jakarta. Dengan menambahkan posisi biner lain, Jakarta- luar Jakarta akan dilihat sebagai: normal-aneh, metropolitanndeso, rasional-mistis, maju-terbelakang, beradab-biadab, dan lain- lain.

Tentu saja cara berpikir seperti ini salah dan telah mereduksi banyak hal yang sesungguhnya terjadi. Membuat pihak yang lain dianggap sebagai yang asing (liyan) hanya akan menunjukkan seolah-olah Jakarta superior atas luar Jakarta. Padahal, sesungguhnya Jakarta pun penuh fenomena kebiadaban, perilaku menyimpang, kriminal, pusat masalah, dan lain-lain.

Proses produksi siaran

Penulis pernah melontarkan hal ini kepada seorang produser televisi Jakarta, bertanya tentang banyaknya adegan baku pukul di layar kaca dalam siaran berita. Teman sang produser berkata dengan enteng, "Kalau tak ada gebuk- gebukannya nanti para penonton akan pindah ke saluran lain." Sesederhana dan setelanjang itukah?

Demikianlah dunia pertelevisian kita masih penuh dengan hal-hal yang membuat kita tercenung dan merasa akal sehat tercerabut saat menontonnya. Termasuk dengan memikirkan bagaimana representasi "daerah" dalam berita di televisi Jakarta.

Para kontributor aneka televisi Jakarta, sejauh penulis temui, pun mengeluhkan hal sama. "Produser di Jakarta selalu mintanya kalau tidak berita konflik, kriminal, atau hal-hal yang aneh seperti itu," kata seorang kontributor. Belum lagi jika dikaitkan dengan posisi mereka secara industrial dalam kantor media tersebut. Kontributor kebanyakan bukanlah pegawai tetap dari kantor media tertentu, dan mereka baru akan dibayar per liputan yang kemudian ditayangkan. Jika liputannya tidak dipilih, hilang sudah ongkos transportasi, biaya liputan, ongkos komunikasi, dan lain-lain.

Oleh karena itu, tak heran juga jika kita melihat sepotong berita di stasiun televisi tertentu—yang kemudian disebut eksklusif oleh TV tersebut—nanti akan muncul di stasiun televisi lainnya. Terkadang dengan angle kamera yang bahkan sama persis dengan tayangan di stasiun televisi lain tadi. Jadi, para kontributor pun cerdik menyiasati ini dengan menjual berita tersebut ke satu- dua stasiun televisi sekaligus. Apakah mereka salah? Ya, silakan Anda menilai dengan bijak.

Industri televisi di Indonesia memang masih jauh dari kata dewasa. Beroperasinya berbagai stasiun televisi swasta nasional dan lokal memang menjanjikan secara bisnis. Namun, sejatinya praktik kerja dari industri ini harus makin dewasa, menghormati kecerdasan para penonton (bukan sebaliknya menganggap penonton selalu mudah ditipu), dan makin memperhatikan peningkatan mutu isi siaran.

Wajah "daerah" di layar kaca itu salah satu dari aneka macam masalah yang kita temui. Televisi yang makin bermutu artinya menghargai kecerdasan penontonnya dan menunjukkan sikap yang mau mendengarkan kritik penonton atas isi tayangan yang dirasa tidak sehat. Kaum profesional di televisi harus menun - jukkan kualitas diri dan institusinya. Penonton televisi juga berhak atas tayangan yang sehat dan cerdas.

IGNATIUS HARYANTO Direktur Eksekutif LSPP, Dewan Penasihat Remotivi
(Kompas cetak, 9 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger