Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 Maret 2013

Masa Depan Suriah (Zuhairi Misrawi)

Zuhairi Misrawi
Tidak ada yang mengira, revolusi yang berkobar di Suriah akan berubah menjadi tragedi politik berdarah-darah. Faktanya, Musim Semi itu sudah bermetamorfosis menjadi perang sipil (al-harb al-ahliyyah) antara kubu rezim Bashar al-Assad dan kubu oposisi.
Setidaknya 70.000-90.000 warga Suriah tewas, sebanyak 950.000 lebih warga berada di pengungsian, dan 1.000.000 lebih warga kehilangan tempat tinggal. Dari berbagai aspek, krisis politik di Suriah memerlukan penyelesaian yang bersifat komprehensif. Krisis tersebut telah menjadi ajang tarik-menarik kepentingan dan perebutan pengaruh dua negara adidaya di kawasan Timur Tengah, yaitu AS dan Rusia.
Gamal Wakim dalam Shira' al-Quwa al-Kubra 'ala Suria: al-Ab'ad al-Geosiyasiyyah li Azmah 2011 menegaskan, dimensi geopolitik tak bisa dilepaskan dalam mencermati krisis politik di Suriah. Pertarungannya tak sekadar antara Al-Assad dan oposisi, melainkan jauh lebih kompleks. Arab Saudi ditengarai telah menjadi pelopor revolusi di kawasan Daraa dengan menggunakan kaum Salafi untuk melawan sekte Alawite dan kalangan Kristen. AS dan Uni Eropa turut serta mendorong revolusi bersama dengan Turki dan Yordania. Belakangan, Mesir menjadi salah satu negara yang mendesak agar Al-Assad lengser.
Di pihak lain, Rusia berkukuh memberikan dukungan terhadap rezim Al-Assad sebagai mitra strategisnya di Timteng dalam lima dekade terakhir. Faktanya, penyelesaian secara politik di PBB kerap berakhir dengan kebuntuan karena Rusia menggunakan hak veto untuk menolak proposal AS dan sekutunya dalam melakukan intervensi politik di Suriah. Sikap Rusia tidak kalah kuatnya dari sokongan AS dan sekutunya karena Rusia didukung sepenuhnya oleh China, Iran, dan Lebanon.
Karena itu, krisis politik yang berlangsung di Suriah punya dampak jauh lebih besar, yang pasti berbeda dengan Musim Semi yang berlangsung di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya. Meski tak sama, krisis politik di Suriah mirip yang terjadi di Bahrain. Dimensi geopolitik sangat kentara sehingga penyelesaiannya harus melibatkan negara-negara yang terlibat dalam perebutan hegemoni politik. Di Bahrain, Arab Saudi punya andil yang cukup besar dalam menyelesaikan krisis politik. Di Suriah, Rusia merupakan faktor obyektif dalam mencari solusi krisis politik.
Sementara negara-negara Arab tidak bisa diandalkan untuk menjadi mediator dalam penyelesaian krisis Suriah. Negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab terbukti tak punya pengaruh cukup signifikan untuk menekan rezim Al-Assad. Hasil sejumlah pertemuan Liga Arab dalam memecahkan krisis politik di Suriah hanya dianggap pepesan kosong.
Ada dua problem yang dihadapi negara-negara Arab saat ini. Pertama, negara-negara Arab mempunyai problem internal cukup serius dalam menghadapi gejolak politik di negara masing-masing. Kedua, negara-negara Arab tak punya kesamaan sikap dalam menyelesaikan masalah Suriah karena selama ini mereka selalu menjadi subordinasi dari kekuasaan asing, khususnya AS dan sekutunya. Keberpihakan rezim negara-negara Arab terhadap kepentingan politik AS di Timteng menyebabkan hilangnya kepercayaan Bashar al-Assad terhadap Liga Arab.
Masa depan
Harus diakui, masa depan Suriah kian tak menentu. Pasalnya, AS dan Uni Eropa semakin telanjang menunjukkan keberpihakan terhadap oposisi. Menteri Luar Negeri AS John Kerry telah menyatakan akan menggelontorkan bantuan 60 juta dollar AS untuk kebutuhan medis dan pangan. Sementara Uni Eropa akan menambah amunisi kendaraan berlapis baja dan persenjataan bagi oposisi. Dukungan eksplisit itu kabar gembira bagi kubu oposisi yang beberapa bulan terakhir kehilangan optimisme karena rezim Al-Assad tidak mudah ditaklukkan. Persenjataan yang dimiliki rezim Al-Assad tidak pernah habis. Bahkan, mereka makin melancarkan serangan militer yang bersifat masif dalam rangka melumpuhkan sentra-sentra militer milik oposisi.
Bantuan AS dan Uni Eropa akan menjadi amunisi yang sangat berarti dalam rangka melanjutkan misi perlawanan terhadap rezim Al-Assad. Namun, langkah AS dan Uni Eropa tidak akan mudah menaklukkan kekuatan rezim Al-Assad. Pertama, Rusia masih memberikan dukungan yang kuat terhadap rezim Al-Assad. Proposal Rusia dalam penyelesaian krisis Suriah tidak pernah berubah sedari awal, yaitu memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat Suriah untuk menentukan masa depan mereka. Intervensi asing tak akan menyelesaikan masalah. Secara implisit, Rusia menghendaki agar mediasi dialog antara rezim Al-Assad dan oposisi ditempuh untuk mengambil langkah yang memuaskan kedua pihak.
Tentu saja, langkah tersebut tak mudah dilakukan karena luka dan korban yang ditimbulkan akibat serangan rezim Al-Assad terhadap kubu oposisi sangatlah besar. Artinya, oposisi akan mendesak Bashar al-Assad agar meletakkan jabatannya demi kepentingan Suriah. Sebaliknya, kubu Al-Assad tidak akan menerima solusi tersebut. Menurut Bashar al-Assad, yang mendesak dilakukan adalah reformasi politik dan digelar pemilu untuk menentukan pemimpin Suriah.
Kedua, Iran dan Lebanon menyokong sepenuhnya rezim Al-Assad. Bagi kedua negara tersebut, intervensi AS dan Uni Eropa semakin membenarkan fakta bahwa di balik aksi oposisi yang begitu gencar dalam upaya melengserkan rezim Al-Assad hakikatnya adalah implementasi dari hegemoni AS dan sekutunya. Demokratisasi nyatanya hanya menjadi kamuflase dalam rangka memperkuat cengkeraman AS dan sekutunya di Timteng dan dunia Islam pada umumnya.
Ketiga, di antara mereka yang bergabung dalam kubu oposisi adalah faksi Al Qaeda. Fakta ini semakin membuktikan kekhawatiran pihak Rusia tentang masa depan Suriah pasca-rezim Al-Assad. Dalam hal ini, AS dan sekutunya tak pernah mau belajar dari kasus Taliban di Afganistan. Al Qaeda yang dulu mitra strategis AS kini menjelma sebagai musuh AS dan negara-negara Barat lainnya, termasuk Rusia.
Jalur diplomasi
Karena itu, solusi yang terbaik dalam menyelesaikan krisis politik Suriah adalah memilih jalur diplomasi AS dan sekutunya dengan Rusia dan China. Langkah yang diambil Presiden Perancis dalam rangka membujuk Rusia agar mendorong reformasi politik secara radikal di Suriah merupakan solusi moderat daripada mengambil langkah-langkah militeristis. Perang sipil hanya akan menyisakan luka amat mendalam, baik bagi kubu rezim Al-Assad maupun oposisi.
Yang jauh lebih penting, masa depan Suriah harus dipastikan lebih baik dari rezim Bashar al-Assad yang dikenal otoriter. Demokratisasi sejatinya tidak hanya berlangsung secara prosedural, tetapi juga menyentuh substansi demokrasi yang menjamin HAM, pluralisme, dan keadilan jender. Tanpa jaminan itu, Suriah di masa mendatang hanya akan jadi perebutan kekuasaan kaum Islamis, sebagaimana terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya. Di negara-negara itu, Musim Semi telah menjelma sebagai musim gugur.
Zuhairi Misrawi Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah The Middle East Institute
(Kompas cetak, 5 Marer 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger