Oleh INDRA TRANGGONO
Politik bahasa sebagai gejala kebudayaan kini dilakukan banyak politikus untuk membangun persepsi dan kesadaran publik. Di tengah krisis politik, cara itu dipakai untuk menarik kembali kepercayaan publik yang makin menguap.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek Hambalang oleh KPK, Anas Urbaningrum menggelar jumpa pers. Namun, Anas cenderung menyampaikan pidato politik daripada detailasi perihal kasus dugaan korupsi yang menjeratnya.
Ada beberapa teks pokok pidato politik Anas yang bisa kita baca. Pertama, Anas memaknai posisi dirinya sebagai korban rekayasa politik dari kekuatan politik besar. Dalam konteks Partai Demokrat, ia memahami dirinya sebagai "bayi yang kelahirannya tidak dikehendaki". Kedua, ia mengajak semua pihak meninjau kembali etika politik yang berbasis pada kecerdasan, kesantunan, dan kejujuran. Ketiga, penetapan dirinya sebagai tersangka bukan akhir dari segalanya, tetapi merupakan awal dari langkah-langkah besar.
Teks pertama memberi pesan, Anas "korban yang tak bersalah" dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Di sini, Anas menghadirkan diri sebagai "pihak yang mendapat penzaliman politik". Teks kedua memberi pesan, parpol yang bersemboyan jujur, cerdas, dan santun tak otomatis konsisten menjalankan etika politiknya. Adapun teks ketiga mengandung pesan, ada langkahlangkah besar yang disiapkan Anas terkait "posisi dirinya sebagai korban" dan politikus.
Lepas dari soal kasus dugaan korupsi dan posisi salah atau benar Anas Urbaningrum, Anas telah melakukan politik bahasa. Di negeri ini, tindakan itu lazim dilakukan para politikus.
Persepsi tandingan
Politik selalu bicara soal persepsi, bukan semata-mata fakta dan data. Kekuatan persepsi bahkan mampu menembus dan mengatasi fakta dan data. Menurut Kamus Filsafat terbitan PT Gramedia Pustaka Utama (1996), persepsi berasal dari bahasa Latin percipio; yang artinya perolehan pengetahuan melalui panca-indera dan pikiran.
Kerja panca-indera dan pikiran dalam melihat, mendengar, dan membaca sebuah obyek (manusia/benda) melahirkan berbagai pengalaman baik sosial, intelektual, maupun emosional. Seseorang dipersepsi jujur atau jahat, baik atau buruk, mulia atau nista, cerdas atau tulalit selalu berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut. Terjadinya pengalaman itu bisa secara langsung dan tak langsung (lewat media).
Politik yang diartikan seni untuk berkuasa atau menguasai selalu memandang persepsi publik sebagai faktor utama dan menentukan dalam memaknai realitas. Demi mencapai kepentingannya, politik melakukan dua hal: (1) membangun persepsi, dan (2) menghacurkan persepsi.
Persepsi dibangun ketika kerja-kerja politik butuh pencitraan positif agar publik selalu menaruh kepercayaan atas lembaga politik dan aktornya. Namun, sebuah persepsi harus dihancurkan karena dipandang merugikan baik oleh lembaga politik maupun aktor politik. Misalnya, persepsi yang mendudukkan lembaga dan aktor politik sebagai pihak-pihak yang berperilaku korup.
Politik bahasa selalu digunakan untuk dua kepentingan membangun pencitraan yang baik oleh lembaga atau aktor politik. Politik bahasa menggunakan kata atau kalimat tidak hanya sebagai piranti komunikasi netral yang melahirkan semantika umum dan normatif, tetapi juga alat untuk menyampaikan pesan dan membangun persepsi tertentu tentang realitas. Dengan cara itu diharapkan persepsi publik bisa dikuasai. Opini publik pun bisa dibangun berdasarkan kepentingan politikus bahasa.
Kutukan bahasa
Dalam politik bahasa selalu dimainkan kata-kata konotatif. Diharapkan kata-kata bersayap itu mampu "menerbangkan" pesan penting yang melahirkan persepsi tandingan atau kesadaran baru terkait realitas tertentu. Para politikus bahasa amat sadar pada kekuatan kata-kata konotatif yang mampu mengarahkan logika dan perasaan publik.
Politik cenderung bersandar pada kepentingan dirinya, bahkan ketika ia bicara soal etika, moral, dan hukum. Kecenderungan itu juga terjadi dalam politik bahasa. Etika, moral, dan hukum bisa menjadi nisbi atau relatif, bergantung dari sudut pandang kepentingan yang dipakai para politikus bahasa.
Apakah politik bahasa selalu buruk? Jawabnya: tidak! Politik bahasa bisa bermakna baik bahkan mulia ketika politik digunakan untuk membangun martabat manusia dengan cara-cara yang beradab.
Pledoi Soekarno di depan sidang pengadilan rezim kolonial Belanda adalah rumusan politik bahasa yang visioner. Begitu juga dengan Petisi 50 (Ali Sadikin dan kawan-kawan) yang mengkritisi kekuasaan rezim Soeharto. Di sini ada idealisme yang diperjuangkan, bukan kepentingan dangkal atau cita-cita picisan.
Sebagai piranti komunikasi sosial, bahasa selalu netral dan bebas nilai. Para pelaku komunikasi verbal-lah yang mengubah bahasa menjadi produk kebudayaan yang berpotensi mengubah persepsi dan kesadaran publik. Di sini, kejujuran-lah yang menentukan, bukan keculasan.
Keculasan dalam politik bahasa hanya akan menjadi bumerang ketika kata dan kalimat menuntut tanggung jawab dari para pemakaiannya. Inilah kutukan bahasa yang sering dilupakan para politikus bahasa!
INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan
(Kompas cetak, 2 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar