Meskipun belum final, temuan tim investigasi TNI AD patut diapresiasi. Langkah selanjutnya adalah bagaimana membawa kasus itu ke jalur hukum sehingga diperoleh keadilan yang wajar.
Jika tidak diwaspadai, tidak mustahil jebakan akan tetap menghadang dan mengakibatkan penanganan kasus tidak tuntas. Jebakan pertama menyangkut pertanyaan, apakah pelaku harus diadili di pengadilan umum atau pengadilan militer?
Terhadap pertanyaan ini telah muncul beberapa alternatif, misalnya dengan merevisi Undang-Undang (UU) tentang Peradilan Militer, dalam hal ini UU Nomor 31 Tahun 1997. Sebagaimana diketahui, pembahasan di badan legislasi mengalami kebuntuan sehingga nasib revisi UU menjadi terkatung-katung. Mungkinkah kasus ini menjadi amunisi baru bagi badan pembentuk UU untuk merampungkan tugasnya dan meletakkan peradilan militer dalam kerangka the rule of law architecture?
Kedua, tuntutan agar Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) agar perkara itu diadili di badan peradilan umum. Tampaknya, kelompok ini meragukan kredibilitas peradilan militer dalam menyelesaikan perkara tersebut secara tuntas.
Saling melengkapi
Kegusaran di atas dapat dipahami. Namun, dapat dikemukakan bahwa kedua alternatif di atas berisiko terjadinya peradilan yang berlarut-larut karena revisi UU atau berharap pemerintah mengeluarkan perppu justru tidak kondusif dilakukan saat ini. Presiden bahkan menyatakan agar persoalan itu diproses melalui jalur hukum yang adil (due process of law). Hal itu berarti harapan agar dikeluarkan perppu terlalu berlebihan.
Setelah penyelidikan, tim investigasi mengungkap dan mengerucut dengan 11 orang dengan aktor utama berinisial U. Maka, langkah selanjutnya adalah melakukan penyidikan terhadap para pelaku dengan menggunakan jalur hukum formal. Para pelaku tunduk pada yurisdiksi dan menjadi justitiabelen peradilan militer adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Dengan demikian, pengadilan yang berwenang mengadili adalah peradilan militer. Terlalu gegabah menyatakan bahwa apabila pelaku diadili di peradilan militer, akan timbul ketidakadilan meskipun pengalaman tentang hal itu telah berbicara banyak kepada kita.
Ketika beberapa oknum melakukan penganiayaan terhadap seorang warga sipil di Papua, dan hal itu mendapat atensi dari sejumlah presiden dunia, antiklimaksnya berupa putusan yang menjatuhkan hukuman kepada para pelaku maksimum satu tahun. Mereka didakwa melanggar Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), yakni dengan sengaja tidak memenuhi suatu panggilan tugas yang sah. Padahal, para pelaku jelas telah melakukan penganiayaan sebagaimana ditentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Begitu juga dalam kasus Cebongan, para pelaku tidak cukup dikenakan pasal-pasal dalam KUHPM karena apa yang dilakukan pelaku tidak terdapat pengaturannya. Untuk menjawabnya, permasalahan tersebut harus dikembalikan kepada sejarah pembentukan kedua UU itu. Pada tahun 1799, di Belanda, rancangan KUHP dan KUHPM dibahas dan direncanakan selesai bersama-sama. Kemudian, pada tahun 1886, atas prakarsa Van Der Hoeven—Guru Besar Universitas Leiden—disadari bahwa tidak mungkin membuat dua UU dengan materi sama. Disadari bahwa KUHP merupakan lex generalis, sedangkan KUHPM adalah lex specialis.
Di Indonesia, melalui UU No 39 Tahun 1947, baik Pasal 1 maupun Pasal 2, ditegaskan bahwa sepanjang tidak terdapat ketentuan dalam KUHPM, yang berlaku adalah ketentuan dalam KUHP. Kedua UU saling melengkapi, seperti halnya penyelidikan oleh TNI, Polri, dan Komnas HAM. Begitu juga dalam keadaan yang amat perlu, untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat dan tuntutan keadilan, diangkat majelis hakim atau tim oditur dari kalangan sipil yang diberi pangkat tituler.
Demokratisasi
Peristiwa ini harus dijadikan momentum perubahan dalam sistem peradilan militer. Landasannya adalah demokratisasi. Artinya, masyarakat sipil dapat mengontrol jalannya peradilan. Di pihak lain, peradilan militer harus dilakukan transparan kepada publik. Demokratisasi peradilan militer ini merupakan bagian dari pembenahan kultur hukum di lingkungan militer. Sementara revisi UU atau perppu hanya bagian pembenahan substansi dan struktur hukum.
Pembenahan kultur hukum lebih penting karena pembenahan substansi ataupun struktur akan sia-sia jika budaya hukum tidak berubah. Melalui pembenahan kultural, tentu tidak ada tempat terjadinya impunitas karena yang hendak diwujudkan adalah prinsip-prinsip the rule of law. Jiwa korsa para pelaku patut diapresiasi, tetapi tanggung jawab hukum tetap tidak boleh diabaikan. Bagaimanapun, hukum harus ditegakkan dan premanisme diberantas. Peradilan militer harus membuka diri dengan mengakomodasi aspirasi yang berkembang di masyarakat. Di lain pihak, peradilan militer berada di bawah MA untuk mewujudkan substansi keadilan dan pertanggungjawaban kepada publik.
M ALI ZAIDAN Pengamat Hukum
(Kompas cetak, 19 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar