Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 19 April 2013

Politik Kaum Sarungan 2014 (Syamsuddin Haris)

Syamsuddin Haris

Meskipun sempat bertandang bersama sang ibunda, Sinta Nuriyah, ke kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor, Yenny Wahid akhirnya batal berlabuh di pangkuan Partai Demokrat. Ke mana arah politik kaum nahdliyin pada Pemilu 2014?

Keputusan putri sulung almarhum KH Abdurrahman Wahid itu tampaknya diambil lantaran kalangan internal Demokrat menolak memosisikan Yenny sebagai salah seorang wakil ketua yang direncanakan ditambah pasca-kongres luar biasa di Bali.

Setelah gagal meloloskan partai yang didirikannya, Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB), dalam verifikasi partai politik peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum, Yenny diwartakan hendak bergabung ke partai segitiga biru. PKBIB sendiri semula dimaksudkan Yenny untuk mewadahi kepentingan massa pendukungnya, yakni kaum nahdliyin yang setia pada perjuangan mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Secara formal, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya memiliki Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dari rahim Pengurus Besar NU pada era almarhum Gus Dur. Namun, parpol yang menjadi tiga besar dalam perolehan suara pada Pemilu 1999 ini belakangan didera konflik internal. Pada Pemilu 2009, perolehan suara PKB merosot drastis sehingga hanya memiliki 27 kursi DPR, padahal sebelumnya 52 kursi (1999) dan 51 kursi (2004).

Sebagian kalangan nahdliyin menyalurkan aspirasi melalui parpol-parpol lain, termasuk Partai Golkar dan Partai Demokrat. Dalam perkembangan terakhir, PKB juga ditinggalkan oleh Lily Wahid, adik kandung Gus Dur, yang pindah ke Partai Hanura setelah sebelumnya bersama- sama dengan Effendy Choirie dipecat dari keanggotaan DPR oleh partainya.

Di luar PKBIB Yenny Wahid dan PKB pimpinan Muhaimin Iskandar, di lingkungan nahdliyin masih ada Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU) pimpinan Chairul Anam yang juga gagal dalam verifikasi Komisi Pemilihan Umum. Yang menarik, sebagian pengurus PKNU menyatakan bergabung ke Partai Gerindra, sedangkan sebagian kader lainnya dicalonkan sebagai legislator oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), parpol Islam yang juga menjadi "rumah singgah" sebagian kalangan NU.

Gerbong "kaum sarungan"

Kiprah politik kalangan pewaris ahlussunnah waljamaah ini selalu menarik perhatian. Setelah kecewa dengan Partai Masyumi, pada 1952 NU akhirnya keluar dan bahkan menjadi parpol dengan suara terbanyak ketiga setelah PNI dan Masyumi pada Pemilu 1955. Ketika kecewa dengan PPP pada 1984, NU lagi-lagi keluar melalui kebijakan kembali ke Khitah 1926 sehingga satu-satu parpol Islam pada era Soeharto tersebut merosot drastis pada Pemilu 1987. Dalam pemilu pertama era Reformasi pada 1999, NU kembali berjaya sebagai peraih suara terbanyak ketiga setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golkar.

Namun, kini menjelang Pemilu 2014 peta aspirasi kalangan yang di era kolonial dikenal sebagai "kaum sarungan" ini tidaklah seragam seperti pada masa lalu. Fenomena basis NU di Jawa Timur pada Pemilu 2009, misalnya, memperlihatkan semakin beragamnya pilihan politik kaum nahdliyin.

Sebagian bertahan di PKB Muhaimin, sebagian ke Golkar dan Demokrat, sebagian lagi ke PPP dan parpol lain. Oleh karena itu, meskipun Yenny Wahid akhirnya bergabung ke Demokrat, tidak berarti gerbong kaum sarungan tumpah ruah mendukung parpol segitiga biru yang kini dipimpin langsung oleh Presiden SBY itu.

Walaupun demikian, pilihan Yenny Wahid ke Demokrat dan Lily Wahid yang bergabung ke Gerindra bagaimanapun merupakan "pukulan" bagi PKB Muhaimin. Di tengah meningkatnya daya tarik dan popularitas partai-partai nasionalis baru, seperti Gerindra, Hanura, dan Nasdem, semakin sulit bagi PKB dan parpol berbasis Islam lain mengulang sukses elektoral dalam pemilu mendatang. Belum lagi menghitung partai-partai nasionalis lama, Golkar dan PDI-P, yang juga menjadikan basis NU di Jawa sebagai lumbung pendulangan suara.

Berita gembira?

Semakin beragamnya pilihan politik warga NU harus dipandang sebagai berita positif. Itu artinya, pilihan politik kalangan nahdliyin tidak semata-mata ditentukan oleh para kiai dan elite politik, tetapi juga rasionalitas mereka sendiri. Kecenderungan tersebut sekaligus merefleksikan semakin memudarnya politik aliran dalam pemilu-pemilu demokratis sesudah Orde Baru. Masyarakat tidak lagi memilih berdasarkan identifikasi agama dan atau aliran yang dianut suatu parpol, tetapi lebih pada preferensi individual masing-masing.

Di sisi lain, jika pilihan masyarakat, termasuk kaum sarungan, dari pemilu ke pemilu terlalu "cair" dan begitu mudah berubah-ubah, hal itu juga bukanlah berita gembira. Kecenderungan demikian justru merefleksikan lemahnya ikatan kelembagaan antara parpol dan konstituennya. Artinya, parpol gagal membangun identitas diri secara institusional sehingga terbuka peluang bagi parpol baru merebut simpati publik. Tak mengherankan jika, seperti dikonfirmasi sejumlah hasil survei, persentase responden yang belum menentukan pilihan (swing voters) hampir selalu lebih besar dibandingkan dengan elektabilitas parpol terbesar pada survei yang sama.

Mengingat sebagian besar pemilih adalah konstituen di Jawa dan Madura, warga nahdliyin yang basisnya berada di wilayah tersebut menjadi segmen pemilih terbesar yang selalu menjadi incaran parpol pada setiap pemilu. Tidak mengherankan jika berita perpindahan Yenny pada umumnya disambut positif oleh kalangan internal Demokrat. Para petinggi partai segitiga biru berharap Yenny turut membawa serta gerbong kaum sarungan pendukung Gus Dur yang mungkin masih "gamang" menentukan pilihan dalam Pemilu 2014.

Oleh karena itu, fenomena Yenny Wahid dan juga bibinya, Lily Wahid, pada dasarnya menggarisbawahi transformasi budaya politik yang tengah berlangsung di lingkungan elite kaum sarungan. Meski arah transformasi itu belum begitu jelas, relatif tidak ada lagi arus utama arah politik kaum sarungan seperti tecermin pada Pemilu 1955, 1999, dan 2004.

Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siroj tampaknya cenderung mendukung PKB sebagai representasi politik NU. Akan tetapi, di sisi lain, Rois Aam Syuriah PBNU KH Sahal Mahfudh berpendirian agar warga NU menjaga jarak yang sama dengan semua parpol. Quo vadis politik kaum sarungan pada Pemilu 2014?

SYAMSUDDIN HARIS Profesor Riset LIPI

(Kompas cetak, 19 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger