Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 11 April 2013

Politik Bukan Pasar Malam (Y Ari Nurcahyo)

Oleh Y Ari Nurcahyo

Membaca lagi roman Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, tahun 1950-an, pikiran saya menatap politik Indonesia yang rasanya mirip pasar malam. Setiap memasuki tahun politik menjelang pemilu, arena politik diramaikan orang-orang yang berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pula pergi.

Partai politik yang lama sepi ramai lagi. Para politikus berduyun-duyun ke daerah pemilihannya, blusukan mengail simpati dukungan. Orang-orang ramai masuk ke politik dan mendaftar menjadi calon anggota legislatif (caleg). Ada pula yang pergi atau pindah partai. Di mana-mana, bendera, atribut partai, spanduk, dan gambar calon presiden mulai bertebaran. Keramaian politik, seperti halnya pasar malam, menarik banyak orang berdatangan.

Namun, ada geliat ganjil dari keramaian politik itu. Gejalanya kian mencemaskan saat politik menjelma pesta pora kekuasaan dan harta, dan tanpa malu menjual gagasan negara hukum demokrasi. Nyatanya, politik telah menginvasi hukum dan membajak institusi-institusi demokrasi kepada berhala uang. Politik suap, pasar suara, dan transaksi politik mengisi setiap lorong dan sudut ruang politik.

Ancaman tirani politik

Politik Indonesia dalam pertaruhan. Demokrasi liberal bersanding politik transaksional telah menjadikan uang dan kuasa sebagai gravitasi politik mutakhir. Politik, seperti dikatakan Harold Laswell, menjadi sekadar urusan "siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana".

"Tak ada benteng yang demikian kuat sehingga uang tak dapat memasukinya," kata filosof Cicero. Namun, bukan itu soalnya. Sentral masalah adalah ketika "semua orang sama di hadapan uang", dan karena itu mengakibatkan "tak semua orang sama di hadapan hukum". Sebab, hukum bisa amat mudah diperjualbelikan. Politik pun berwatak transaksional.

Politik tidak dijalankan dalam rangka bernegara sehingga gagasan bernegara kian jauh dari keadilan hukum dan cita-cita konstitusi. Dominasi politik seperti itu membuka ancaman tirani politik. Saat politik jadi panglima, hukum dikesampingkan; sekadar alat politik. Jika dibiarkan, jurang negara gagal di depan mata.

Dalam politik seperti itu, apa saja dihargai karena bisa diberi harga di hadapan mata uang, wani piro? Kekuasaan dan uang telah menjadi episentrum berpolitik dekonstruktif yang menghancurkan gagasan besar negara hukum sebagai rumah politik. Pekatnya instrumentasi uang di tubuh politik menebarkan radioaktivitas yang bisa membunuh demokrasi.

Ancamannya adalah hukum digantikan transaksi, kompromi licik, dan main hakim sendiri. Hukum bisa diberi harga karena itu hukum bisa dibeli, ditransaksikan, atau jika tidak, ditukar hukum rimba. Hukum diatur dan dikendalikan dengan modus dagang dan politik jual beli. Siapa menguasai harta dan memegang kuasa, dialah pemenang hukum dan penentu politik. Penyerangan kelompok bersenjata ke LP Cebongan merupakan bukti bahwa hukum negara tidak berdaya menghadapi aksi main hakim sendiri.

Politik pasar malam

Lanskap politik Indonesia telah serupa pasar malam. Politik sebagai dagangan. Partai lebih mirip gerai toserba, menjual apa saja dan siapa saja bisa datang atau pergi. Partai memburu caleg seperti membuka bursa tenaga kerja. Menjadi politikus tak beda dengan karyawan atau pekerja yang sibuk mencari nafkah, bahkan nyambi berburu rente.

Politik pasar malam menjual apa saja dan siap menghibur pengunjung siapa saja. Semua mata dalam politik seperti itu adalah "mata-mata" yang melihat segala sesuatu dengan "mata" uang. Di pasar malam, baik politik maupun hukum menjadi anonim di hadapan nilai uang.

Seperti pasar malam yang biasa digelar dengan simbol bendera atau umbul-umbul apa saja, ramai orang berduyun terjun ke politik atau masuk partai bukanlah meminati garis ideologi atau program partai, tetapi karena ketertarikan nilai harga (besaran harta) dari dagangan politik mereka. Uang telah mengudeta idealisme perjuangan politik menjadi sekadar peluang politik jangka pendek.

Saat ini, di partai nyaris tak ada tempat bagi teladan dan keutamaan politik, apalagi ideologi. Parameter kepartaian pun monolitik, hanya mengejar popularitas dan elektabilitas, lupa akan kaderisasi. Gejala politik pasar malam menjalar dan semakin kuat menginvasi institusi negara dan bangunan demokrasi. Kita malas merawat gagasan, ideologi, dan nilai keutamaan berpolitik sehingga politik menjadi miskin cita-cita tentang bernegara.

Politik pasar malam menjelaskan mengapa demokrasi dengan pemilu langsung yang selama 14 tahun kita jalankan hanya menghasilkan pemerintah yang korup; mengapa hampir semua partai tak bisa menghindar terlibat korupsi; mengapa produk hukum dari pusat hingga ke daerah tumpang-tindih; penegakan hukum lemah; dan wibawa negara hukum nyaris lumpuh. Semua itu tak lain karena politik kita tanpa gagasan bernegara.

Orang berpolitik tak bisa hanya berduyun-duyun datang atau pergi; hanya untuk menikmati malam sesaat saja. Rumah politik adalah negara hukum. Seperti Immanuel Kant (1795) yang menyebut politik sebagai ausübender Rechtslehre, yaitu mempraktikkan hukum. Artinya, berpolitik menjalankan praktik bernegara sesuai prinsip-prinsip negara hukum. Berpolitik harus mengabdi hukum demi tegaknya negara hukum dan kesejahteraan.

Politik bukan pasar malam, tetapi politik adalah praksis hukum. Berpolitik adalah bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi. Di sanalah politik bekerja untuk rakyat.

Y Ari Nurcahyo Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

(Kompas cetak, 11 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

1 komentar:

Powered By Blogger