Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 April 2013

RUU Ormas dan Negara (Zuly Qodir)

Oleh Zuly Qodir
Tanggal 9 April 2013, jika benar terjadi, akan menjadi hari paling mengenaskan untuk Indonesia yang mengalami reformasi politik tahun 1998 dari kekuasaan otoriter yang zalim dan tidak demokratis. Sebab, pada tanggal tersebut, RUU Ormas disetujui DPR menjadi UU yang sangat jelas menindas masyarakat sipil.
Sebelum melakukan tindakan politik, agaknya DPR harus memiliki pikiran yang positif ketimbang negatif tentang warga negara sipil, khususnya organisasi kemasyarakatan (ormas) yang hendak disasar oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Ormas. DPR berniat melakukan pengawasan yang demikian ketat atas warga sipil, sementara perilaku anggota DPR sendiri tidak bisa dijadikan contoh bagi warga sipil yang berada di luar parlemen.

Apabila dicermati, pasal-pasal yang terdapat dalam RUU Ormas yang hendak disahkan mengandung terlalu banyak kelemahan dan kesalahan. Beberapa kesalahan dan kelemahan tersebut, antara lain, pertama, terjadinya tumpang tindih hukum (UU) yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, sebaiknya diperhatikan dahulu sebelum RUU ini disahkan.

Kedua, secara substansial, ada banyak pasal yang tidak sesuai dan janggal. Misalnya soal yayasan dan lembaga swadaya masyarakat. Kejanggalan juga terjadi ketika menggeneralisasi sebutan ormas sebab di sana terdapat ormas keagamaan dan non-keagamaan. Jika tetap dipaksakan untuk disahkan, bukankah itu merupakan hal yang memalukan sebab terdapat kesalahan-kesalahan dan kejanggalan?

Ketiga, apa bedanya RUU Ormas tahun 2013 ini dengan penindasan yang dilakukan negara tahun 1985 pada zaman Orde Baru? Bukankah tahun 2013 dengan RUU Ormas yang ada ini dapat dikatakan negara jauh lebih otoriter, memaksa, dan ketakutan kepada warga negara? Bukankah ketakutan negara disebabkan karena perilakunya sendiri yang tidak menyejahterakan rakyat? Lalu, kenapa warga negara yang disalahkan dan dibasmi kebebasan sipilnya?

Berhati-hatilah

Dalam kaitannya dengan RUU Ormas, saya kira—jika tidak berhati-hati—negara akan benar-benar memerankan dirinya sebagai penindas masyarakat sipil seperti zaman Orde Lama dan Orde Baru. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi yang memberikan hak dan kewajiban kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik, sosial, budaya, ekonomi, dan kemanusiaan. Aktivitas yang dilakukan merupakan aktivitas yang bermartabat dan berwibawa karena mendorong dan membantu memajukan cita-cita negara sehingga tidak ada yang menentangnya. Menjadi persoalan ketika aktivitas masyarakat sipil bertentangan dengan dasar negara dan UUD 1945 sebagai bagian dari dasar bernegara di republik ini.

Negara, oleh sebab itu, jangan sampai terjebak dalam berbagai macam ritual formal karena mengejar target penyelesaian UU. Lalu, setiap undang-undang akan dan harus disahkan sekalipun akhirnya mengebiri, melemahkan, dan mendistorsi hal-hal yang jadi tujuan dan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.
Pembuatan UU tidak seharusnya karena dorongan dan intervensi asing (luar negeri) sebagai bagian dari korporasi global yang hendak mendikte dan memaksa Indonesia dalam kancah pertarungan pasar global sebagai bagian dari korporasi multinasional. Sungguh hal seperti itu harusnya dihindarkan oleh para politisi di Senayan yang belakangan menjadi bulan-bulanan media massa dan masyarakat. Semua itu karena perilaku politiknya yang tidak santun, tidak berwibawa, tidak terpuji, tidak membela warga negara yang kere, susah, dan tertindas.

Politisi kita tidak seharusnya mengejar target UU hanya karena dikritik kebanyakan tidur, makan gaji besar, suka pelesiran, serta pamer kekayaan lantas beramai-ramai mengajukan RUU yang sejatinya pesanan kelompok-kelompok penindas masyarakat sipil itu sendiri. Politisi kita di Senayan seharusnya tak menjadi politisi rabun ayam dan tuna nurani. Politisi kita harusnya tidak terjebak dalam gagasan besar pemberangusan hak-hak warga negara.

Bahwa mungkin ada warga negara yang membutuhkan aturan itu, bisa dipahami. Akan tetapi, politisi seharusnya taat kepada aturan dan berkewajiban menjalankan tugas secara maksimal. Ini jauh lebih penting. Sebab, warga negara sebenarnya selama ini jauh lebih teratur, disiplin, dan berwibawa ketimbang anggota Dewan/politisi.

Akankah negeri ini kembali pada kondisi tahun 1985 ketika politik menjadi panglima sehingga setiap warga negara yang berbeda dengan kebijakan negara kemudian akan diberangus, dibunuh, dan diseterilkan? Jika hal ini yang terjadi, demokrasi yang sedang tumbuh dan diharapkan mampu menjadi penopang masyarakat sipil akhirnya tidak bermakna karena aparat negara paranoid terhadap warga negara.

Masyarakat akan mencatat

Oleh karena itu, DPR yang sedang bermasalah seharusnya tidak melemparkan masalah kepada masyarakat sipil. Selesaikanlah masalah DPR tersebut secara jantan sehingga masyarakat tidak semakin marah dan malas melihat gelagat dan sepak terjang para anggota Dewan.

Seharusnya para anggota Dewan sadar dan paham sebab sebagian besar dari mereka dapat dipastikan akan mencalonkan diri pada Pemilu 2014. Masyarakat sipil akan mencatat dan mencoba mengingat, sekalipun masyarakat sipil sering dibuat lupa ingatan terhadap perilaku para anggota Dewan. Anggota Dewan kita sering membuat masyarakat sipil lupa atas tindakan amoral, bejat, tidak etis, dan menindas sebab menjelang pemilu biasanya mereka mencoba menebarkan "senyum", "gizi", dan praktik-praktik ritual yang mampu menghipnotis masyarakat sipil.

Di sinilah pentingnya pendidikan politik kepada masyarakat sipil segera dilakukan. Dengan demikian, masyarakat sipil tidak hanya menjadi bulan-bulanan anggota Dewan yang senantiasa menebarkan janji-janji kepada masyarakat sipil saat pemilu tiba. Rakyat sipil harus diberi pengetahuan yang memadai bahwa sebagian anggota Dewan membuat rakyat sipil menderita, termasuk dengan mengekang melalui RUU Ormas yang sangat jelas penuh dengan kecurigaan kepada masyarakat sipil.

Negara, dengan demikian, sedang menebarkan ancaman kepada masyarakat sipil. Sebab, dengan disahkannya RUU Ormas ini menjadi UU, ternyata selama ini masyarakat sipil diasumsikan oleh para pembuat UU (baca: DPR) sebagai penentang, penghalang, dan mbalelo terhadap negara.
ZULY QODIR, Sosiolog UMY, Jemaah Muhammadiyah
(Kompas cetak, 9 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger