Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 April 2013

Negara, Bisnis, dan LSM (Edi Suhardi)

Oleh Edi Suhardi
Laporan Human Rights Watch atas perlindungan kaum minoritas di Indonesia yang dipublikasikan pada 28 Februari 2013 disebut juru bicara Presiden sebagai laporan LSM bayaran. Padahal, HRW adalah salah satu LSM internasional berkredibilitas kuat.

Ini cukup mengherankan karena sejak tahun 2000-an secara umum hubungan kalangan bisnis, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil (nama lain dari LSM) mulai membaik. Dahulu, hubungan bersifat konfrontatif, sekarang menjadi dialog setara dan membangun. Salah satu contoh yang baik adalah program mitigasi iklim dan REDD+ yang melibatkan banyak aktivis LSM dan akademisi di bawah koordinasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Contoh lain yang fenomenal adalah berubahnya pola hubungan salah satu industri terbesar di Indonesia, Asia Pulp & Paper (APP), dengan Greenpeace. Permusuhan tiga tahun berakhir menjadi kemitraan pada awal Februari 2013.

Sebelumnya, siapa yang berani membayangkan hal ini akan terjadi? Ini karena yang terpatri dalam pikiran kita adalah LSM itu selalu berseteru dengan industri dan pemerintah, padahal dalam sejarah gerakan masyarakat sipil di Indonesia, LSM juga sering bersekutu bersama pemerintah ataupun swasta.

Adi Culla (2009) yang meneliti gerakan masyarakat sipil era Orde Baru dengan studi kasus YLBHI (bantuan hukum), Walhi (lingkungan hidup), dan YLKI (hak konsumen) menemukan bahwa aktivis LSM memahami gerakan masyarakat sipil dengan konsep Barat. Hal itu berarti organisasi non-pemerintah di luar domain negara, pasar, dan bisnis (economic society). LSM adalah entitas sosial tersendiri, berciri kemandirian, keswadayaan (self-supporting), dan keswasembadaan (self-generating). Dengan demikian, pola hubungannya dengan negara (serta bisnis) lebih dikotomis dan seteru.

Kenyataan berbeda

Meski demikian, pemahaman ternyata berbeda dengan kenyataan. Pada riset tersebut, diketahui tiga LSM terkemuka di atas pendiriannya melibatkan inisiatif dan akomodasi aktor-aktor negara. Walhi, misalnya, pendiriannya difasilitasi antara lain oleh Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo, dan bahkan pengurus pertamanya diterima langsung oleh Presiden Soeharto.

Pendirian LBH Jakarta difasilitasi antara lain oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Kemudian, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo melalui APBD mendirikan gedung LBH. Saat ini, Kementerian Hukum dan HAM sedang memverifikasi LBH di Indonesia yang bisa mendapatkan dana bantuan hukum dari APBN berdasarkan UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Karena itu, Adi Culla mendefinisikan masyarakat sipil agak berbeda dengan pemikiran Barat: (1) Organisasi/kelompok yang dibentuk masyarakat ataupun bersama negara, serta (2) Wadah masyarakat yang terbentuk dan berkembang karena interaksinya dengan domain negara. Negara dapat berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil.

Bagaimana dengan APP dan Greenpeace? Selama tiga tahun, Greenpeace menuduh APP merusak lingkungan dan berkampanye agar internasional memboikot rantai suplai produk APP, yaitu kertas, mulai dari pembeli perusahaan, retailer, bank yang membiayai, investor pasar modal, dan konsumen rumah tangga.
Permusuhan ini berlangsung sampai 2012. Pada awal Februari 2013, APP menandatangani "Kebijakan Konservasi Hutan" yang baru, dibantu Forest Trust Fund, suatu lembaga donor konservasi kehutanan yang juga menjadi donor Greenpeace.

Greenpeace Jerman juga pernah bekerja sama dengan sebuah perusahaan dalam memasarkan zat refrigeran ramah lingkungan "GreenFreeze" untuk industri pendingin. Di sisi lain, mereka tetap berdemonstrasi di depan perusahaan-perusahaan besar yang dianggap ikut merusak lapisan ozon dengan memarkir truk besar berbaliho raksasa.

Kasus lain kerja sama dunia bisnis dengan LSM adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), suatu organisasi multipihak internasional dan sertifikasi minyak sawit lestari. Organisasi ini didirikan petani dan perkebunan sawit (dari Indonesia dan Malaysia), pabrik, perusahaan pengolahan (termasuk produsen makanan), bank, dan LSM (Oxfam, Conservation International, WWF, dan Zoological Society of London). RSPO mempunyai prinsip dan kriteria komprehensif yang meliputi aspek hukum, lingkungan, sosial, dan bisnis yang disusun bersama.

Standar baru

Sertifikasi RSPO menjadi standar baru industri kelapa sawit yang diakui baik oleh bisnis maupun LSM. Perusahaan yang ingin diakui proses produksi dan produknya ramah lingkungan harus mematuhi prinsip dan kriteria RSPO dan diaudit auditor independen. Bila lolos uji, industri mendapatkan sertifikat dan harga premium.

Karena itu, agak mengherankan melihat draf RUU Organisasi Masyarakat yang berparadigma mengontrol dan mengebiri kebebasan berorganisasi masyarakat, ditambah pernyataan juru bicara Istana yang tidak membuka dialog dan kolaborasi dengan LSM. Padahal, dunia bisnis dan sebagian elemen negara sudah memulai. Sebutlah sertifikasi ramah lingkungan RSPO, dialog kebijakan dan satgas khusus REDD+ di UKP4, sejumlah panitia seleksi komisi negara, dan sejumlah program CSR perusahaan yang bekerja sama dengan Pemprov Jakarta mengatasi hal banjir, relokasi masyarakat miskin, dan mengurai kemacetan.
Cukup sudah perseteruan antara LSM, negara, dan bisnis. Kita mengharapkan persekutuan untuk kebaikan kita bersama.
Edi Suhardi Vice President II, Roundtable of Sustainable Palm Oil
(Kompas cetak, 9 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger