Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 April 2013

Bendera Aceh (Hamid Awaludin)

Oleh Hamid Awaludin
Beberapa hari belakangan, Aceh kembali disorot. Kali ini bukan lantaran bunyi bedil dan bau mesiu seperti pada masa lalu. Juga bukan karena adanya tsunami baru. Aceh dalam sorotan karena soal bendera.
Pangkal ihwal dimulai keputusan DPR Aceh yang membuat qanun (peraturan daerah) tentang bendera Provinsi Aceh. Bendera tersebut dipersepsikan atau dianggap sebagai bendera yang menjadi simbol perlawanan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maklum, bendera yang disahkan tersebut pernah dipakai sebagai bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) semasa konflik berlangsung. Reaksi keras tentu saja datang dari pemerintah pusat. Seorang menteri pun bahkan berkomentar, "Ini adalah petunjuk adanya potensi gerakan separatisme."

Sorotan serta-merta ditujukan kepada jejak GAM di masa silam, dan juga para mantan tokoh GAM. Kebetulan ada di antara mereka kini menjadi pucuk pimpinan di Pemerintahan Aceh sekarang.

Tidak "fair"

Sorotan, penilaian, ataupun komentar yang muncul tentang bendera ini saya nilai tidak fair. Masalahnya, qanun tersebut dibuat di DPR Aceh yang terdiri atas sejumlah fraksi yang mewakili sejumlah partai politik. Pengambilan suara mengenai bendera tersebut tidak melalui cara voting, tetapi aklamasi.

Komposisi anggota DPR Aceh adalah Fraksi Partai Aceh terdiri atas 42 orang, Fraksi Partai Demokrat 10 orang, Fraksi Partai Golkar 9 orang, serta Fraksi PKS dan PPP masing-masing 8 orang. Mereka semua ikut dan sepakat dengan Qanun Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, dan PPP adalah anggota koalisi partai pemerintah yang sedang berkuasa.

Dalam pendapat akhir, juru bicara Fraksi Partai Demokrat, Jamaluddin T Muku, mengatakan, "Qanun Aceh merupakan suatu produk hukum yang dihasilkan dari lembaga kedewanan melalui pembahasan dan persetujuan bersama Pemerintah Aceh…dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, maka kami dapat menerima rancangan Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh." Selanjutnya, juru bicara Fraksi Partai Golkar, T Husin Banta, juga mengekspresikan sikap politik partainya secara tegas, "Kami Fraksi Golkar berharap bahwa bendera yang akan kita tetapkan nanti akan menjadi lambang pemersatu seluruh masyarakat Aceh yang merupakan bendera sakral dan harus dihormati."

Apakah dengan ini kita masih harus mengatakan bahwa qanun tersebut dimotori bekas orang-orang GAM? Apakah kita masih harus beretorika bahwa rakyat Aceh masih sebagian terbesar menolak bendera itu karena ada di antara mereka yang berdemo? Secara konstitusional, DPR Aceh adalah cerminan keterwakilan rakyat Aceh. Titik!

Dari sini jelas, banyak pihak yang tidak fair karena mengalamatkan pandangan hanya kepada para bekas anggota GAM khususnya, DPR Aceh umumnya. Mengapa tidak ada yang menyoroti partai-partai politik yang berkuasa dan partai pendukungnya yang ada di DPR Aceh? Mengapa dewan pimpinan pusat partai-partai itu tak menggeledah jajaran internal mereka, termasuk alasan mengapa kader mereka yang ada di DPR Aceh bisa bersikap dan mengambil posisi politik seperti itu? Pihak-pihak yang amat prihatin tentang NKRI—juga jajaran pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan masalah politik, pertahanan, dan keamanan negara—ada baiknya juga memberi perhatian tentang ini. Para pimpinan pusat partai-partai politik tersebut perlu juga dimintai pertanggungjawaban. Ini baru fair.

Saya sangat tidak setuju dengan qanun itu. Sebab, luka lama, selain susah disembuhkan dengan cara itu, juga akan menimbulkan luka baru lagi. Beberapa tahun silam, ketika para tokoh bekas GAM hendak mendirikan partai politik GAM, mereka mendesakkan keinginan untuk menggunakan bendera tersebut sebagai bendera Partai Aceh. Jusuf Kalla sangat keras menolak. Saya keras menampik. Ini berarti kita tidak akan pernah melupakan yang lalu dan hendak menatap eloknya masa depan. Begitu posisi kami. Para tokoh bekas GAM setuju dengan itu. Bendera Partai Aceh pun berganti.

Selain itu, ketika kami berunding untuk perdamaian delapan tahun silam, kami menyepakati bahwa setelah perdamaian dicapai, semua simbol yang pernah digunakan GAM harus ditanggalkan dan tidak dipakai lagi. Ini mengikat.

Solusinya apa?
Saya amat percaya qanun tersebut tak digelitik oleh keinginan separatisme. Orang Aceh sudah menikmati indahnya kedamaian. Para tokoh bekas GAM sudah mencapai keinginan politik mereka, memegang kemudi di Aceh. Ini semata-mata karena nostalgia masa silam mengenai kejayaan Kesultanan Aceh yang pernah mengibarkan bendera mirip bendera dalam qanun itu. Kedua, ini hanya soal cara dan pendekatan belaka.
Dalam Nota Kesepakatan Damai antara Pemerintah dan GAM secara eksplisit ditegaskan, bila di kemudian hari ada perbedaan pandangan atau persepsi tentang aplikasi nota kesepahaman ini, kedua belah pihak bisa duduk bersama membicarakannya. Mekanisme ini yang lebih baik ditempuh dulu. Biarlah para tokoh bekas GAM itu kembali duduk dengan para wakil pemerintah untuk mencari solusi. Megafon diplomasi dari Jakarta amat tidak tepat digunakan, apalagi bila disertai dengan gertakan.

Duduk berhadapan langsung membicarakan masa depan anak-anak Aceh jauh lebih efektif. Duduk semeja mempercakapkan kemakmuran Aceh tanpa menggunakan bendera itu jauh lebih efisien dan bermartabat daripada ultimatum.

Bila salak senjata bisa dihentikan, bila teror bisa diredam, bila bunuh-membunuh dapat dieliminasi melalui perundingan, soal bendera apalagi....
HAMID AWALUDIN Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
(Kompas cetak, 9 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger