Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 13 April 2013

Sekolah di Rumah (Daniel Mohammad Rosyid)

Oleh Daniel Mohammad Rosyid

Sudah makin jelas, di abad internet ini belajar sebagai jantung pendidikan kian tak membutuhkan sekolah.

Google sudah banyak menggantikan guru. Tembok-tembok sekolah lambat tapi pasti bertumbangan diterjang internet. Sungguh mengherankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih sibuk dengan bongkar pasang kurikulum, sementara sekolahnya sendiri justru terancam ambruk dan tergusur.

Gagasan deschooling (baca: sekolah di rumah) untuk pertama kali disampaikan Ivan Illich pada awal 1970-an saat internet belum ada. Illich berpendapat, begitu pendidikan diartikan sama dengan persekolahan dan dimonopoli oleh sekolah, pendidikan justru jadi barang langka. Akses ke pendidikan justru jadi terbatas. Begitu pendidikan diartikan lebih luas dan tak hanya persekolahan, pendidikan justru lebih mudah diakses. Mengapa? Karena sejumlah institusi di masyarakat, termasuk keluarga di rumah, bangkit untuk memberikan layanan pendidikan bagi warga.

Oleh karena itu, Kemdikbud keliru saat meletakkan taruhan masa depan bangsa ini di sekolah, apalagi di kurikulum. Taruhan terbesar kita justru kepada keluarga di rumah. Memperkuat keluarga jauh lebih efektif untuk mendidik warga muda. Kurikulum hanya resep makan siang di warung dekat rumah yang disebut sekolah. Keluarga di rumahlah yang menyediakan sarapan dan makan malam. Menaikkan upah buruh yang lebih layak akan memperkuat keluarga menyediakan sarapan dan makan malam yang bergizi. Makan siang tidak akan terlalu penting lagi.

Sugata Mitra, profesor teknologi pendidikan, mengatakan, sekolah sudah kuno, tidak kita butuhkan lagi. Dia mengusulkan perlunya self-organized learning environment (SOLE) sebagai model pendidikan baru. Saya ingin mempertegas bahwa keluarga adalah model SOLE terbaik yang pernah diciptakan di planet ini. Ki Hadjar Dewantara pun memandang keluarga adalah tempat belajar terbaik, terutama bagi warga belia.

Sekolah di rumah berfokus pada pemberdayaan diri dan keluarga. Adalah logika sekolah yang mengajarkan: makin banyak bersekolah kita akan makin terdidik. Makin banyak rumah sakit, kita makin sehat. Makin banyak kantor polisi, kita makin tertib. Makin banyak tentara dan tank, kita makin aman. Makin banyak masjid dan gereja, kita makin religius. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya: kita makin tidak terdidik, tidak sehat, tidak tertib, tidak aman, dan tidak religius.

Semangat belajar mandiri atau otodidak perlu dipromosikan dan dihargai. Syarat formalistik ijazah untuk berbagai jabatan harus kita buang. Ijazah bukan bukti kompetensi yang meyakinkan. Pendidikan nonformal dan informal perlu lebih kita hargai dan memperoleh perhatian serta alokasi anggaran yang lebih sepadan.

Barat jelas lebih tersekolahkan daripada bangsa ini. Kita mengadopsi konsep sekolah ini dari sana. Namun, kita lihat saat ini, Barat sedang terhuyung-huyung didera sejumlah krisis. Kita harus belajar dari kesalahan Barat. Kemdikbud tidak bisa kita biarkan meletakkan taruhan masa depan bangsa ini di sekolah, apalagi di kurikulum. Taruhan besar bangsa ini ada di rumah.

Daniel M Rosyid Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur

(Kompas cetak, 13 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger