Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 April 2013

Semiotika Bulan Sabit-Bintang (Teuku Kemal Fasya)

Teuku Kemal Fasya

Ketika bendera dan lambang Aceh disahkan pada 22 Maret lalu, ratusan kelompok yang menamakan diri Rakyat Gayo Merdeka melakukan demonstrasi di depan kantor DPR Aceh.

Mereka menolak bendera bulan bintang dan lambang singa-bouraq dijadikan identitas daerah yang baru. Demonstran membawa bendera Kerajaan Linge, salah satu kerajaan pedalaman di Aceh. Di pesisir barat dan selatan Aceh juga terjadi aksi penolakan serupa. Uniknya, mereka menggerek Bendera Merah Putih, bukan lambang Pancacita yang menjadi lambang Pemerintahan Aceh selama hampir 60 tahun.

Pemerintah Aceh saat ini bergeming. Menurut mereka, proses legislasi telah memenuhi kehendak mayoritas masyarakat. Ketika datang ke Aceh untuk meminta agar Qanun No 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh direvisi, Mendagri juga disambut konvoi ribuan orang yang membawa bendera bulan sabit-bintang merah itu.

Historis dan semiotis

Secara historis, referensi publik tentang bendera dan lambang itu tak bisa dilepaskan dari kronologi Aceh Merdeka (sebelum berubah menjadi Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1990-an) yang digagas Hasan Tiro pada tahun 1976. Bendera bulan sabit-bintang dengan latar merah dan strip putih dan hitam itu bukanlah bendera dan lambang kerajaan atau kelompok politik Aceh pada masa lalu.

Bendera Kerajaan Pasai adalah pedang dengan latar kaligrafi Arab yang berisi kutipan ayat Al Quran. Warna dasar bendera ini adalah merah kayu dengan kombinasi kuning. Kini, salah satu bendera aslinya tersimpan di Rijksmuseum, Amsterdam.

Bendera kerajaan Aceh Darussalam sejak sultan pertama, Alaidin Ali Mughayat Syah (1511-1530), adalah bulan sabit-bintang dengan pedang di bawahnya. Warna aslinya adalah hijau. Warna hijau juga digunakan Republik Islam Aceh, para mantan kombatan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh pada tahun 1970-an sebagai bendera (Al Chaidar, 1999). Warna hijau selalu dekat dengan simbol Islam.

Menurut pandangan sejarawan, warna merah baru digunakan sebagai warna dasar bendera ketika terjadi konflik dan rencana ekspansi seperti ke Kerajaan Melayu Johor, Siak, Panai, dan Asahan (Anthony Reid, 2005).

Adapun lambang Aceh yang selama ini dipakai sejak menjadi daerah istimewa (1957) adalah Pancacita. Lambang ini menggunakan gambar padi, kapas, kalam, cerobong pabrik, dan kitab, di samping rencong yang membahasakan pesan keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan, dan kesejahteraan.

Warna dasarnya adalah warna hijau dan kuning, dua dari tiga warna yang lazim digunakan di tanah Melayu, selain merah untuk sulaman dan riasan pengantin (Barbara Leigh, Hands of Time: The Craft of Aceh, 1989).

Secara semiotis, lambang dan bendera yang diciptakan Hasan Tiro memiliki strategi linguistik baru. Ia ingin memberi muatan yang berbeda dengan sejarah Aceh sebelumnya. Pilihan politik GAM adalah etno-nasionalisme sekuler, sedangkan DI/TII atau NII berbasiskan politik agama (Hasan Saleh, 1992; Olle Tornquist, 2010).

Warna dasar merah pada bendera GAM melambangkan perlawanan dan keberanian. Garis hitam melambangkan kematian oleh perang (martyrdom), dan warna putih memberikan makna denotatif: kesucian dan ketulusan. Namun, mengapa warna merah? Merah adalah warna favorit setiap gerakan-gerakan separatisme atau tuntutan kemerdekaan di dunia (Indra J Piliang, 2010).

Demikian pula Singa-Bouraq yang ada di dalam lambang GAM. Singa melambangkan kekuatan dan keberanian, sedangkan bouraq dianggap kendaraan Nabi Muhammad saat isra Mikraj, melambangkan kelihaian dan kecepatan.

Bila setiap penanda (signifier) memerlukan petanda (signified) untuk memberikan makna (signification), tanda-tanda itu seperti lepas dari konteks Aceh. Mengapa singa? Singa bukan simbol raja hutan di Asia Tenggara. Raja rimba tanah Melayu adalah harimau.

Demikian pula visualisasi bouraq, yaitu kuda bersayap berkepala perempuan dan bermahkota dengan rambut berjuntai-juntai. Beberapa kali saya dengar celotehan publik, "kalau itu kendaraan Nabi untuk isra Mikraj, tentu sudah batal wudu karena menunggangi binatang separuh perempuan."

Di tengah singa dan bouraq ada gambar bendera dengan warna biru-kuning-hitam. Tak ada seorang pun yang tahu pesan ini, kecuali Hasan Tiro sebagai pengarang (author). Namun, sebagai pembaca, saya mencoba mencari referensi. Aha! Bukankah warna bendera Swedia, negeri tempat eksil tokoh-tokoh GAM, adalah biru dan kuning? Bagaimana dengan warna hitam? Bisa saja warna itu ditambahkan untuk memberikan pengaburan (deception)?

Setelah hidup bertahun-tahun, mereka pasti belajar dan terinspirasi dengan nilai-nilai filosofis negara Skandinavia itu.

Bahkan, kata-kata dalam huruf Jawi yang terdapat di bawah lambang, hudep besaree, matee beusajan (hidup dan mati kita bersama), tidak berangkat dari parole Aceh. Dalam peribahasa Aceh dikenal kalimat, hudep mulia, matee besyahed (hidup dalam kemuliaan, dan mati dalam kesyahidan). Kesimpulannya, hampir seluruh penanda bermuara pada relasi signifikansi yang sifatnya impor, tidak antropologis lokal.

Jangan eksklusif

Tentu saja, pesan visual itu tak dapat dilepaskan dari sejarah GAM dan kini Partai Aceh (PA). Melalui bendera dan lambang seperti itu, PA bisa menangguk deposit simbolis paling besar, terutama berkaitan dengan momen elektoral 2014. Amanat UndangUndang Pemerintahan Aceh (UU No 11 Tahun 2006 Pasal 246) jelas menyebutkan, bendera dan lambang harus mencirikan keistimewaan dan kekhususan serta simbol kedaulatan.

Kekhususan seharusnya juga menimbang pelbagai etnis dan kultur kesejarahan Aceh yang tidak tunggal. Hal ini penting agar tidak terjadi kristalisasi politik seperti gagasan pendirian Provinsi Aceh Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan semakin membesar dan memberikan risiko bagi bangunan perdamaian.

Masyarakat di daerah itu merasa, politik diskriminasi semakin berakar dengan bendera dan lambang baru itu. Pemerintah pun harus jeli mendengar suara-suara minoritas yang tidak puas dengan merancang proses deliberalisasi yang lebih meluas.

Pengalaman di Aceh bisa menjadi pelajaran juga bagi daerah lain agar inisiasi dan legislasi bendera dan lambang memberikan kepuasan batin dan bersifat inklusif, tidak menjadi simbol eksklusif yang dinikmati sebagian kelompok.

Jangan karena selembar bendera, sesama anak bangsa kembali bertengkar.

Teuku Kemal Fasya Antropolog Aceh
(Kompas cetak, 16 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger