Kejadian ini merupakan yang pertama sejak UN diselenggarakan tahun 2005. UN di 22 provinsi berjalan sesuai rencana, dimulai Senin (15/4) sampai Kamis (18/4). UN di 11 provinsi ditunda mulai Kamis. Alasannya teknis, kata Menteri Mohammad Nuh, soal belum sampai.
Lambatnya kedatangan soal ke daerah hanya salah satu dari sekian kasus minor praksis pendidikan di Indonesia. Kebijakan dan implementasi di lapangan tidak berjalan sinkron. Implementasi dianggap sederhana, padahal menentukan, terlewat dari perhatian Kemdikbud.
Kita sampaikan contoh dua saja. Kebijakan buku elektronik dan program sertifikasi guru. Buku elektronik tidak jalan karena faktor ketidaksiapan teknis. Program sertifikasi guru, meski tersendat-sendat, jalan di tingkat perolehan sertifikasi, tetapi mandek di tingkat pemberian tunjangan yang dijanjikan. Ribuan guru bersertifikat menunggu tunjangan profesional.
Mengapa kebijakan tidak jalan? Karena kinerja Kemdikbud asal-asalan, kurang profesional, dan bekerja dengan ritme business as usual. Kinerja yang begitu-begitu saja dicoba ditutup dengan penjelasan dan dalih soal teknis.
Keamburadulan buku elektronik dan sertifikasi guru bisa dimaklumi. Faktor teknologi masih jadi kendala. Tetapi jika keterlambatan dan keamburadulan itu menyangkut UN, yang sebelum kehadiran dan pelaksanaannya terus diperdebatkan, artinya sensitif, tingkat kerusakannya akumulatif.
Serupa kebijakan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang masih plus-minus dan pro-kontra, sebenarnya UN mulai bisa diterima. UN sebagai bagian dari pemetaan praksis pendidikan. Karena masih saja ada keinginan menghapus UN, kesuksesan UN jadi sensitif, sehingga begitu ada persoalan, yang tidak setuju UN punya peluru baru.
Semua orang dari segala usia dan lapisan masyarakat merasa berkepentingan. Ketika kekecewaan itu ditambah oleh faktor yang relatif sederhana, sepele, makin kelihatan Kemdikbud tidak profesional dan serba kedodoran.
Serba kedodoran menyuburkan skeptisisme tidak terjadinya reformasi birokrasi di lingkungan Kemdikbud. Alokasi besarnya APBN dan duit yang besar sepertinya tidak ditangani oleh birokrasi yang baik dan modern, mengakibatkan salah urus yang memungkinkan besarnya potensi kebocoran. Duit berlimpah pun dialokasikan salah tempat.
Reformasi birokrasi di Kemdikbud mendesak dilakukan, selain sebagai lembaga yang mempersiapkan mutu sumber daya manusia di masa depan, terutama periode emas 2020-2030, ketika 100 pekerja-penduduk berusia 15-64 tahun membiayai 44 anak. Kalau kesempatan itu tidak dipersiapkan, kita taburkan benih masa depan suram Indonesia. Apa memang maunya begitu?
(Tajuk Rencana Kompas, 16 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar