Oleh YUDI LATIF
Pendidikan itu benih harapan. Jika masyarakat dilanda kekacauan, keterpurukan, ketertindasan, dan tak tahu kunci jawaban membebaskannya, jurus pamungkasnya adalah pendidikan.
Setiap 2 Mei kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional, berlandaskan hari lahir tokoh pendidikan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Sosoknya melambangkan pendidikan sebagai benih harapan untuk pembebasan, kepribadian, dan kepemimpinan. Ketika diskriminasi sistem pendidikan kolonial menyumbat kesempatan bersekolah bagi rakyat jelata, Ki Hadjar mendirikan sekolah alternatif secara berdikari sebagai titian pembebasan.
Di sekolah yang dicibir pemerintah kolonial sebagai "sekolah liar" itu ditanamkan keyakinan bawa kunci keberhasilan pendidikan bukanlah fasilitas dan formalitas, melainkan tekad, kecintaan penggembalaan, dan karakter kepemimpinan. "Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan".
Hanya sistem persekolahan yang berkarakter yang dapat menumbuhkan anak didik berkarakter. Sekolah yang hanya mengandalkan daya beli atau tumbuh dengan berbagai program dan materi pembelajaran proyek kementerian melahirkan anak didik sebagai komoditas. Nilainya tak lebih seperti emas sepuhan. Gemerlap dari luar, tetapi penuh kepalsuan di bagian dalamnya.
Pendidikan sebagai proses manipulatif, dengan menjadikan anak didik sebagai sarana eksploitasi proyek, adalah modus pembudayaan paling efektif untuk mencetak mental korup. Berapa pun angkatan terdidik yang dihasilkan tidak akan menjadi kekuatan pembebasan, malahan jadi sumber penindasan. Di tangan orang-orang pintar dengan mental korup, sebanyak apa pun kekayaan negeri ini tidak akan menjadi sumber kemakmuran, tetapi sumber eksploitasi bangsa lain.
Karena itu, pendidikan sebagai benih harapan harus menjadikan karakter sebagai tumpuan dasar. Apa pun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, dan kekuasaan, menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak punya keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.
Tentang hal ini, Bung Karno mengisahkan pengalaman yang menggugah. Ketika diwisuda di Technische Hogeschool, sambil menyerahkan ijazah, rektornya berbisik, "Ir Soekarno, ijazah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah, satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang." Sedemikian pentingnya karakter sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan, "When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost."
Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, sebuah bangsa. Ibarat individu, setiap bangsa hakikatnya punya karakter tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian "bangsa" (nation) yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan, "Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman."
Perhatian, terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik masyarakat/bangsa pernah mengalami musim seminya pada tahun 1940-an dan 1950-an. Para pengkaji budaya periode ini, dengan sederet nama besar seperti Margaret Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Seymour Martin Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk kemajuan bagi negara yang terpuruk pasca-Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian tentang budaya mengalami musim kemarau pada 1960-an dan 1970-an.
Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an. Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan ekonomi tampak dalam kasus negara multibudaya. Sekalipun semua kelompok etnis dihadapkan pada hambatan sosial-politik dan krisis ekonomi yang sama, sebagian kelompok lebih berhasil daripada kelompok lain. Di bidang politik, beberapa ahli, seperti Robert Putnam dan Ronald Inglehart, menunjukkan hubungan erat antara variabel karakter-budaya dan keberhasilan/kegagalan demokrasi.
Tentang pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan yang ia pinjam dari sejarawan Inggris, HG Wells, "Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?" Ia lantas jawab sendiri, yang menentukan bukanlah seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak penduduknya, melainkan kekuatan tekad sebagai pancaran karakternya.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional harus melahirkan fajar budi dalam politik pendidikan, dengan menghidupkan dunia persekolahan sebagai wahana pembebasan, bukan sebagai wahana eksploitasi proyek. Keberadaban suatu bangsa terlihat dalam penghormatannya terhadap dunia pendidikan. Semasa perang dunia sekalipun, lumbung ilmu, seperti Universitas Heidelberg dan Sorbonne, tak disentuh serangan militer. Kebiadaban suatu bangsa terlihat dari usaha politisasi dan eksploitasi dunia pendidikan untuk tujuan pragmatis.
Pendidikan sebagai wahana pembebasan, pembudayaan, dan kepemimpinan harus menempatkan karakter sebagai tumpuan dasar. Harus dihindari pengajaran yang terlalu mengutamakan aspek kognitif dan lahiriah. Pertama-tama harus ditekankan pembangunan aspek kejiwaan. "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!"
Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa seberat apa pun kesulitan, kemelaratan, dan penderitaan bangsa ini bisa diatasi oleh kekuatan karakter para pemimpinnya. Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi ataupun kematian pemimpin, melainkan kehilangan karakter.
Yudi Latif Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
(Kompas cetak, 7 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar