Laksana sepasang sayap, Soekarno dan Mohammad Hatta itu saling melengkapi yang memerlukan keserempakan gerak dalam keseimbangan. Ketidakberfungsian salah satunya membawa kepincangan pada gerak terbang kebangsaan yang bisa berujung pada kekandasan.
Bukan karena kebetulan keduanya tampil sebagai dua sosok besar dalam sejarah perjuangan bangsa, yang bisa mengatasnamakan bangsa Indonesia. Keduanya hasil seleksi alamiah dari anak-anak peradaban yang mewakili dua arus besar kebudayaan Indonesia dalam pergulatannya membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Yakni, kebudayaan "Indonesia dalam" yang bercorak pertanian beririgasi yang sangat kuat dipengaruhi Hinduisme dan stimulus peradaban China, serta kebudayaan "Indonesia luar" yang bercorak perdagangan pesisir yang secara kuat dipengaruhi Islam dan kemudian oleh stimulus pembaratan (Hildred Geertz, 1963). Dapat dikatakan, Bung Karno mewakili arus kebudayaan yang pertama, sedangkan Bung Hatta mewakili yang kedua.
Dalam kejernihan bening budi bangsa Indonesia, disadari bahwa kemerdekaan hanya bisa dicapai dan diisi dengan menyertakan etos kedua sayap kebudayaan itu. Secara metaforis, kesadaran ini tecermin pada detik-detik menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ketika matahari mulai meninggi, dan kerumunan massa yang tak sabar mendesak Bung Karno untuk segera mengucapkan proklamasi, yang didesak tetap tak mau bangkit dari peraduan tanpa kehadiran sebuah nama. "Aku masih menderita demam, tetapi aku tidak kehilangan akal. Menghadapi desakan-desakan kepadaku, yang mengherankan, aku masih dapat berpikir dengan jernih. 'Hatta belum datang', kataku, 'Aku tidak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta'." (Soekarno, 1965).
Tumbuh dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda, dengan karakteristik personal yang berbeda pula, tidak berarti keduanya tak memiliki titik persamaan. Baik di "pedalaman" maupun "pesisir" Indonesia, semangat kekeluargaan (gorong royong) sangat ditekankan. Bahwa seseorang hanya dapat memperoleh makna eksistensialnya dalam kemampuannya berbakti pada kebersamaan. Sebagai anak- anak yang terlempar dari lingkungan budayanya, yang kemudian tercebur ke dalam pergaulan lintas kultural, baik selama menempuh pendidikan lanjutan maupun selama masa pembuangan politik, keduanya juga punya kesadaran multikulturalisme. Meski demikian, keduanya memiliki perbedaan perspektif dalam mengaktualisasikan semangat kekeluargaan dan multikulturalisme itu. Sifat pedalaman yang konsentris lebih memberikan tekanan pada pentingnya merawat persatuan- kesatuan (unity). Adapun sifat pesisir yang dispersal lebih memberikan tekanan pada pentingnya merawat perbedaan-keragaman (diversity).
Dalam menekankan unitas, Bung Karno lebih memilih bentuk negara kesatuan, mengedepankan kewajiban warga di atas hak, menghendaki penyederhanaan partai, bahkan mengidealisasikan adanya satu partai pelopor (PNI-Staats Partij), dan perlunya pembentukan kolektivisme golongan fungsional (corporate state) sebagai aktualisasi semangat kekeluargaan dalam mengatasi partikularitas parpol dan mengutamakan kepemimpinan yang kuat.
Dalam menekankan diversitas, Bung Hatta lebih memilih bentuk negara federal, mengindahkan hak warga, mendukung pembentukan multipartai, memilih demokrasi parlementer, dan pentingnya mengembangkan individualitas (bukan individualisme) untuk mengimbangi kemungkinan kolektivisme terbajak oleh kekangan tradisi, serta tidak mengutamakan kepemimpinan yang kuat.
Sintesis dua pendekatan
Pergulatan di antara kedua pendekatan itu memperoleh sintesisnya dalam perumusan Konstitusi Proklamasi (Undang- Undang Dasar 1945). Bentuk negara yang oleh sebagian besar pendiri bangsa dipercaya bisa menjamin persatuan yang kuat bagi negara kepulauan Indonesia adalah negara kesatuan (unitary). Meski demikian, mereka sepakat bahwa untuk mengelola negara sebesar, seluas, dan semajemuk Indonesia, tidak bisa tersentraliasi dengan mengandalkan inisiatif segelintir elite di Jakarta. Negara Indonesia sepatutnya dikelola dengan mengadopsi unsur pendekatan federal dengan melibatkan peran serta daerah dalam pemberdayaan ekonomi, politik, dan sosial-budaya sesuai dengan keragaman potensi daerah masing-masing. Termasuk dalam kerangka ini adalah perlunya pembentukan pemerintahan daerah berdasarkan atas permusyawaratan dengan menghormati "hak-hak asal-usul" dari daerah yang bersifat istimewa, seperti daerah kerajaan (Kooti) dan daerah-daerah kecil yang punya susunan rakyat asli seperti desa.
Kewajiban warga tetap dikedepankan, seraya menjunjung tinggi hak-hak dasarnya agar negara kekeluargaan tak menjelma menjadi negara kekuasaan. Soepomo sebagai bagian dari arus "pedalaman" yang bertindak sebagai Ketua Tim Kecil Perumus Rancangan UUD bersedia menempuh pilihan kompromistis, dengan menambahkan pasal "yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan lain-lain yang diatur oleh undang-undang".
Dengan pasal itu, warga bebas mendirikan parpol, tetapi tetap diletakkan dalam kerangka negara kekeluargaan. Untuk itu, desain lembaga perwakilan disusun dengan mencari keseimbangan antara kebinekaan dan kesatuan. DPR melambangkan keragaman ideologis warga yang diisi perwakilan aneka parpol yang (atas usul Hatta) dipilih langsung oleh rakyat. Posisi DPR tak dipandang sebagai "parlemen" (yang menjadi locus of sovereignty seperti di Inggris); DPR hanyalah lembaga legislatif biasa yang ditempatkan sebagai majelis rendah (lower house).
Penggenggam kedaulatan rakyat (locus of sovereignty) ada di tangan MPR sebagai lambang kesatuan semangat kekeluargaan bangsa Indonesia. MPR dipandang sebagai lembaga tertinggi negara (upper house) yang diisi bukan saja oleh perwakilan DPR, melainkan juga kekuatan strategis rakyat lain, yakni utusan daerah dan utusan golongan (kelompok strategis di ruang publik seperti kolektivitas perekonomian, kaum marginal, cendekiawan, dan kelompok bela negara). Sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat tertinggi, MPR bertugas menetapkan dua kebijakan dasar: UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Tentang prosedur pembentukan utusan daerah dan golongan, Soekiman dan Mohammad Yamin mengusulkan pemilihan secara langsung. Hatta keberatan dengan usul tersebut. Soepomo mengusulkan lewat pemilihan secara tidak langsung, seperti lewat konvensi (permusyawaratan) golongan masing-masing. Tidak ada seorang pun yang menyerahkan soal pengangkatan utusan golongan itu kepada presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, Indonesia tidak menganut pemerintahan parlementer. Kekuasaan dan tanggung jawab pemerintahan ada di tangan presiden. Meski demikian, dalam negara kekeluargaan, presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan tidaklah mengembangkan politik sendiri, tetapi sekadar mandataris MPR yang melaksanakan GBHN yang dirumuskan secara musyawarah-kekeluargaan oleh perwakilan segala unsur kekuatan rakyat.
Demikianlah rancang bangun Konstitusi Proklamasi dalam menjaga harmoni antara kesatuan dan kebinekaan. Namun, di dalam praktiknya, pelaksanaan sistem pemerintahan negara sering kali melenceng dari maksim keseimbangan itu. Menyusul Maklumat X Wakil Presiden Mohammad Hatta (3 November 1945), politik Indonesia lebih berat pada sayap kebinekaan: jumlah parpol meledak, disusul oleh penerapan sistem pemerintahan parlementer yang menyimpang dari Konstitusi Proklamasi—meski dapat dipahami untuk kepentingan diplomasi yang memaksa Soekarno untuk melengkungkan (meski tak mematahkan) pendiriannya. Konsekuensinya, Bung Karno (lambang unitas) "ditinggalkan" sekadar sebagai presiden simbolis. Diversitas menjadi orientasi politik, bahkan di saat negara memerlukan persatuan dalam menghadapi agresi Belanda, partai-partai sibuk dengan kepentingannya masing-masing, mengabaikan komitmen pada cetak biru pembangunan kesejahteraan bersama. Pemerintahan silih berganti, dengan tak ada kabinet yang bisa bertahan lebih dari dua tahun. Pemilu 1955 yang diharapkan menjadi tonggak bagi perwujudan pemerintahan yang stabil tidak memenuhi harapan.
Tahun 1956, Bung Karno yang mulai kehilangan kesabaran menyerukan pembubaran parpol. Terbentur pada kesulitan pembubaran parpol, ia pun mundur beberapa tindak dengan mengeluarkan serangkaian konsepsi yang mengarah pada penyederhanaan parpol, memasukkan anasir golongan fungsional ke dalam DPR, serta pembentukan kabinet gotong royong/kabinet karya, yang semua mengarah pada sistem pemerintahan yang lebih berat pada sayap kesatuan. Pada tahap ini, giliran Bung Hatta (lambang diversitas) yang "ditinggalkan" menyusul pengunduran dirinya sebagai wapres pada 1956.
Dilanjutkan Orde Baru
Setelah Dekrit Presiden, 5 Juli 1959, kecenderungan watak pemerintahan bablasan Orde Lama itu diteruskan Orde Baru secara lebih eksesif. Meskipun rezim ini mengklaim menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dalam pelaksanaannya banyak yang menyimpang dari desain keseimbangan yang dikehendaki Konstitusi Proklamasi.
Di bawah rezim yang menekankan unitas seperti itu, harus diakui politik lebih memerhatikan pembangunan, stabilitas politik terjamin, dan pertumbuhan ekonomi menggembirakan. Di sisi lain, pemaksaan penyederhanaan partai; kecenderungan sentralisasi kekuasaan; pengekangan hak-hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat; serta penyeragaman budaya yang mengarah pada dekulturisasi golongan etnis minoritas, banyak mengorbankan dimensi kebinekaan Indonesia. Terbukti, corak kekuasaan seperti itu pun tak tahan banting. Capaian- capaian sosio-ekonomi dari rezim ini melahirkan konsekuensi yang tak terduga. Peningkatan akumulasi modal swasta, ledakan dalam jumlah lulusan pendidikan tinggi dan kelas menengah perkotaan, serta perubahan iklim (mood) dalam hubungan-hubungan internasional membawa desakan yang lebih kuat ke arah perluasan keterbukaan dan partisipasi politik. Begitu pertumbuhan ekonomi yang menjadi basis legitimasi rezim developmentalisme-represif jatuh oleh krisis ekonomi, rezim Orde Baru pun segera tumbang oleh ledakan partisipasi politik.
Orde Reformasi muncul dengan membawa pendulum sejarah bergerak ekstrem ke kutub diversitas. Ledakan multipartai menarik komitmen politik pada kepentingan partikularitas. Kekuasaan negara menjadi kekuasaan partai, dengan memagnifikasi fungsi DPR dan mengintervensi jabatan-jabatan pemerintahan. MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat tertinggi, representasi kesatuan semangat kekeluargaan segala kekuatan rakyat, dikosongkan dari utusan golongan (yang menjadi simpul persatuan) dan dijatuhkan posisinya sekadar lembaga tinggi biasa, lantas dilucuti perannya dalam menetapkan GBHN. Meski konstitusi hasil amandemen menyatakan bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan, secara de facto urat nadi negara kesatuan itu sendiri sudah robek dengan menyisakan retakan-retakan dalam konektivitas antara pemerintahan pusat dan daerah, bahkan antardaerah tingkat dua dalam satu provinsi, yang tak terbayangkan dalam bentuk negara federal sekalipun.
Dalam keterbukaan ruang publik Orde Reformasi ini, anak-cucu Soekarno bisa memainkan peran politik, tetapi jantung kesadaran Bung Karno dimatikan secara sistemik. Kombinasi antara penjelimetan prosedur demokrasi dan partikularisme politik menggelembungkan biaya politik seraya mengempiskan komitmen politik pada persatuan dan kesejahteraan bersama. Setelah 68 tahun merdeka, bangsa Indonesia tak kunjung belajar dari sejarah yang membuatnya tak kunjung sadar bahwa dua proklamatornya, Soekarno dan Hatta, bukan sekadar dua nama yang kebetulan tampil pada momen yang tepat. Keduanya tampil berkat rahmat Tuhan sebagai manifestasi "tindakan sejarah" (historical action) dan "penemuan sejarah" (historical self-invention) dari kegigihan pergulatan dua arus besar kebudayaan Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dengan memadukan diri dalam sejoli monodualisme kekuatan sejarah Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika" (unity in diversity; diversity in unity).
Laksana sepasang sayap, Indonesia tidak bisa selamat terbang tinggi dengan meninggalkan salah satunya. Seluruh pertaruhan sejarah kita untuk menghadirkan bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur ditentukan oleh kesanggupan kita untuk mengharmonikan Soekarno-Hatta.
(Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan)
(Kompas cetak, 16 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar