Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 Agustus 2013

Kemerdekaan Kebangsaan (Roch Basoeki Mangoenpoerojo)

Oleh: Roch Basoeki Mangoenpoerojo

.... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia.... (Alinea 4 Preambule)
 

Sudah 68 tahun Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Namun, mungkin ada yang salah dengan jati diri bangsa ini sehingga tetap terseok-seok.

Kini kedaulatan negara di tangan 12 parpol peserta pemilu, sang penentu segalanya dalam kehidupan bangsa. Semoga mereka peduli bahwa yang merdeka harus "bangsa" Indonesia.

Peserta Sidang BPUPKI (29 Mei-1 Juni 1945) adalah tokoh masyarakat pembawa aspirasi sesuai nilai-nilai yang dihormati rakyat di seluruh daerah jajahan Belanda. Sidang menghasilkan Panitia Sembilan, yang ditugasi menyarikan pikiran seluruh peserta sidang. Lahirlah Piagam Jakarta, lalu menjadi preambule atau Pembukaan UUD 1945 sesudah dikurangi tujuh kata.

Preambule adalah kristalisasi aspirasi masyarakat, disampaikan para tokoh kredibel tanpa intervensi orang luar. Panitia Sembilan menyederhanakan sejarah sejak ratusan tahun sebelumnya, sejak VOC. Dikatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak (segala) bangsa. Kalimat itu menunjukkan, kemerdekaan bagi Indonesia merupakan perjuangan tanpa akhir. Terus diperjuangkan oleh "bangsa", bukan sendiri-sendiri seperti sebelum 1908. Sikap keterjajahan yang menyelimuti manusia harus disingkirkan agar penjajahan di atas dunia terhapus.

Keterjajahan saya rasakan selama pengembaraan 35 tahun hidup bersama kaum terkalahkan dalam persaingan hidup. Jadi transmigran, ketua Asosiasi Wartel, bersama LSM, dan seterusnya. Ini diperparah oleh perilaku penguasa yang memanfaatkan sikap keterjajahan itu.

Sikap elite, mungkin tanpa sadar, tak ubahnya seperti penjajah terhadap warga bangsanya sendiri. Hal itu saya rasakan ketika 16 tahun menjadi bagian dari kekuasaan. Interaksi negatif ini yang membuat "bangsa" terhambat realisasinya. "Bangsa" belum dimanajemeni, baru terbatas pada pernyataan di Sumpah Pemuda. Bangsa Indonesia itu belum lagi terwujud.

Bahkan, para pendiri negara sudah memprediksi tentang jalannya kemerdekaan ribuan tahun mendatang. Bahwa akan selalu diganggu oleh pihak lain yang secara alami ingin mengeksploitasi kelemahan individu warga bangsa yang baru merdeka. Maka, petunjuknya, para penerus hendaklah memberi perlindungan, mencerdaskan kehidupan, juga memajukan kesejahteraan umum (fasilitas produksi) agar seluruh rakyat bermartabat dapat menghidupi keluarganya. Setelah merdeka, Bung Karno berucap kepada para pemuda, "Beban kalian nanti lebih berat karena yang kalian hadapi adalah bangsa sendiri."

Makna bangsa
Banyak negara penjajah sebelum 1945: Perancis, Inggris, Spanyol, Portugis, Belanda, dan masih ada lainnya. Dijajah Belanda ada beda signifikan dengan karakter negara penjajah lain. Kita bandingkan antara penjajahan Inggris (Malaysia) dan Belanda (Indonesia dan Suriname). Bekasnya terlihat pada penerimaan rakyat terhadap hukum buatan penjajah. Di Malaysia, ketaatan pada hukum buatan Inggris sangat tinggi karena masyarakat merasa manfaatnya. Tampak bahwa penjajahan Inggris memperhatikan kemanusiaan.

Belanda bermovitasi lain, lebih ditujukan untuk memperkaya negeri penjajah itu. Amsterdam, kota terbesar di Belanda, dibangun menggunakan hasil dari Indonesia. Mereka sangat sistematis, pendekatan antropologis disebutnya sebagai Indologie. Dikuasai adat istiadat setiap suku di Indonesia untuk mempekerjakan orang Indonesia agar memenuhi kepentingannya. Masyarakat dipilah antara yang bule, yang berwarna, dan yang pribumi. Kalangan pribumi pun dipilah lagi antara inlander (kuli) dan ambtenaar.

Produk signifikan adalah sistem Cultuurstelsel, atau tanam paksa. Sungguh mencekam suasana kehidupan saat itu. Hingga kini masyarakat Leiden bangga menamakan diri "The Centre of Colonialism in the world". Begitulah kata rekan-rekan Indonesia yang dilarang kembali pulang, terpaksa berdiam di Leiden.

Betapa pun Belanda telah menyatukan nasib, menjadi satu bangsa. Tanpa penyatuan nasib itu, Indonesia tak pernah ada. Lalu, kata Otto von Baeur, masyarakat bangsa punya tujuan yang sama. Ditambah Soekarno, selain bernasib sama, tujuan sama harus berada dalam suatu kesatuan geopolitik Indonesia. Ternyata, sampai kini kita masih gagap menyebut tujuan nasional kita, apalagi menjadi satu kesatuan geopolitik. Kita terlalu sibuk dengan elektabilitas, pemecah belah rakyat yang menjauhkan dari cita-cita kemerdekaan.

Untuk melanjutkan kehidupan Indonesia merdeka, kita perlu manajemen perkuatan bangsa. Pendiri negara menyebut "kemerdekaan kebangsaan". Selamat berjuang, dirgahayu Indonesia merdeka yang anti-keterjajahan.

(Roch Basoeki Mangoenpoerojo, Ketua Dewan Pembina Masyarakat Musyawarah Mufakat)

(Kompas cetak, 16 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger