Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 04 Oktober 2013

Ketua MK Ditangkap KPK (Tajuk Rencana Kompas)

Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Rabu, mencederai eksistensi lembaga negara di bidang hukum, lembaga baru pascaamandemen UUD 1945.
Pencederaan tidak hanya mendegradasi keluhuran lembaga negara itu, tetapi juga mempersubur ketidakpercayaan masyarakat terhadap praksis pemerintahan, dalam hal ini mandulnya pelaksanaan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Tentu kita tidak bisa lagi hanya merintih ke Ibu Pertiwi. Kita perlu melakukan langkah tegas dan terstruktur memulihkan kerusakan yang terjadi.

Dengan posisi tertinggi dan tidak ada pengawasan lembaga di atasnya, MK ibarat superkuasa dalam menjabarkan kewenangan dan kewajibannya. Menjelang pemilu pada April 2014, dengan campur tangan parpol yang besar terhadap lembaga negara, termasuk MK, lembaga ini perlu diaudit. Presiden, DPR, dan MA duduk bersama. Mempertegas netralitas MK dari campur tangan parpol dan kehati-hatian supertinggi dalam memilih hakim MK.

Untuk jangka panjang, dengan kondisi amburadulnya praksis hukum, barangkali perlu dicantumkan kembali pasal tentang Komisi Yudisial. Untuk jangka menengah dan pendek, pulihkan kembali kewibawaan MK yang ditentukan integritas, independensi, dan keteguhan para hakim MK memegang moral dan janji mereka.

Dengan tak menutup kemungkinan peran Komisi Yudisial sebagai pengawas, pada hari-hari ini yang mendesak dilakukan adalah menyelesaikan kasus suap MK yang melibatkan lima orang tertangkap tangan, terutama Ketua MK.

Kita ikuti cermat proses hukum kasus yang dalam waktu singkat menjadi "kasus besar" ini. Berikan seluas-luasnya kesempatan masyarakat untuk tahu. Serius-tidaknya, terbuka-tidaknya, terwujudnya keadilan-tidaknya merupakan cermin penegakan hukum. Bukannya tidak mungkin, belajar dari pengalaman kasus ini dan agar MK bisa lebih fokus, MK tidak ikut menangani kasus pilkada. Lebih baik kasus pilkada yang hampir semuanya berakhir kisruh ditangani MA. Kita tempatkan kasus suap MK yang melibatkan ketuanya sebagai acuan perlunya superhati-hati dalam memilih hakim MK, apalagi Ketua MK.

Posisi dan kewenangan yang tidak terbatas hakim MK menuntut integritas, independensi, dan keteguhan hati. Mereka perlu bebas dari rasa "makan hati" ketika tidak ikut larut dalam mempermainkan keadilan dan serba koruptif dalam masyarakat, yang bisa keluar dari perilaku animal laborans, hewan yang bekerja rakus mengerkah untuk kepentingan sendiri. Kita dukung eksistensi KPK. Sebagai lembaga pengibar pemberantasan korupsi—barangkali sekarang tinggal satu-satunya yang dipercaya masyarakat—KPK tampil merobohkan adagium "hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat" (Thrasymachus).

Lewat kasus suap MK, meskipun ada pihak yang mencoba melemahkan kewenangan dan kewibawaan KPK, kita saksikan KPK tetap menteles, dengan terobosan mengagetkan. Rupanya pemiskinan koruptor tidak cukup, perlu "bonus" kerja kasar di panas terik matahari.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002459020
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger