Deflasi bulan September, 0,35 persen, lebih baik dari perkiraan Bank Indonesia, yaitu 0,28 persen. Dengan demikian, inflasi berdasarkan tahun kalender Januari-September 2013 sebesar 7,57 persen. Dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, besar inflasi 8,4 persen.
Apabila dapat terus terkontrol, bukan tidak mungkin inflasi pada akhir tahun tidak lebih dari 9 persen, di bawah perkiraan BI. Meski demikian, inflasi Januari-September 2013 masih dua kali lipat lebih dari inflasi periode sama tahun 2010 dan 2011 yang sekitar 3,6 persen.
Kabar baik lain, neraca perdagangan surplus tipis pada Agustus, yaitu 132,4 juta dollar AS. Pada Juli, defisit mencapai 2,3 miliar dollar AS. Perbaikan disebabkan penurunan impor minyak dan gas. Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi beban anggaran belanja tampaknya berdampak positif.
Membaiknya indikator perekonomian Indonesia tersebut, seperti dikatakan Presiden Yudhoyono, tidak boleh disia-siakan untuk terus memperbaiki perekonomian.
Pemerintah harus menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah. Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, penyebab deflasi 2,88 persen adalah bahan pangan, terutama bumbu-bumbuan, seperti cabai, bawang merah, dan telur ayam. Sementara itu, transportasi, komunikasi, dan sektor keuangan menyumbang deflasi 0,79 persen.
Bahan pangan masih menjadi penyebab inflasi karena lebih dari separuh pengeluaran sebagian besar rumah tangga untuk membeli pangan. Pemerintah harus menjaga keajekan pasokan bahan pangan agar harga tak bergejolak. Penting menjamin petani mendapat harga yang baik sebagai insentif berproduksi, sementara konsumen dijamin dapat mengakses bahan pangan tersebut.
Pemerintah memiliki sejumlah instrumen untuk menjaga harga, mulai dari meningkatkan produktivitas hingga instrumen keuangan, seperti resi gudang. Sayangnya, cara ini belum dimanfaatkan, sementara sistem logistik pangan juga tidak menjamin kepastian harga.
Dari sisi transaksi perdagangan, BBM mencatat defisit pada Agustus lalu karena impor lebih besar daripada ekspor yang menurun. Itu berarti pemerintah perlu tegas dan konsisten melaksanakan program substitusi bahan bakar diesel dengan bahan bakar nabati. Akan lebih baik jika tidak memakai minyak sawit agar tak bersaing dengan pangan.
Meskipun impor keseluruhan turun, ekspor juga turun. Di sisi lain, data global memperlihatkan peningkatan permintaan barang manufaktur di Amerika Serikat. Sayangnya, China yang memanfaatkan perbaikan tersebut karena industri manufakturnya sudah siap.
Pemerintah tidak bisa terus bersikap reaktif atau proaktif. Transformasi mendasar perekonomian menjadi keharusan, seperti mengembangkan industri manufaktur serta berinvestasi di teknologi, infrastruktur, dan sistem logistik, untuk menjawab keinginan Presiden agar peluang tidak menjadi sia-sia.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002442361
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar