Setelah euforia pascareformasi yang sering dikatakan kurang terukur, tampaknya kini saatnya kita memanen hasil. Sekarang kita menyaksikan riuhnya silang pendapat dan serapah di tengah permasalahan kewenangan lembaga-lembaga penyelenggara pemerintahan negara.
Tampaknya tidak terlalu salah ketika orang bergumam: bahwa dalam kehidupan modern bangsa ini, mengalami (dan babak belur) dulu adalah penting sebelum pikiran bisa mengendap. Tatanan kelembagaan dengan pengaturan fungsi dan kewenangan sebagai produk yang lahir dari sikap gregeten—sebagian lagi malah dari sikap mumpung—dalam gerak reformasi benar-benar membuahkan hasilnya. Ketika lima tahun lalu rekan-rekan di Lembaga Ketahanan Nasional mengantar hasil renungan sekaligus rangsangan pikir tentang problema yang diperkirakan akan muncul dari hasil empat kali amandemen konstitusi, banyak yang abai dan bahkan mencibir. Salah satunya justru soal pengaturan fungsi dan kewenangan lembaga.
Potret buram reformasi?
Saat Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap KPK, kemudian ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan korupsi/suap, masyarakat kecewa dan marah. Di tengah praktik kotor yang melanda para penyelenggara di berbagai lembaga penyelenggara pemerintahan negara, terkuaknya kasus dan dugaan suap di "benteng keadilan" seperti Mahkamah Agung berikut lembaga peradilan di bawahnya, terakhir di MK, benar-benar dirasa sebagai tamparan, aib, sekaligus pemusnah harapan serta kepercayaan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Orang juga ramai bereaksi ketika di hari-hari awal kejadian, Presiden [ingat, Presiden adalah juga kepala(-nya) negara ini!] berniat menyelamatkan kepercayaan rakyat tersebut dan berencana mengambil langkah-langkah melalui pengaturan dalam perppu. Perbedaan pendapat tentang isinya, apakah tepat atau tidak, baiklah kita kesampingkan. Isu yang sekarang banyak dirasa perlu dipikirkan adalah soal fungsi dan kewenangan yang berlebihan dan kebutuhan pengawasan terhadapnya.
Orang ramai mengungkit bahwa terjadinya peristiwa yang memalukan di MK karena tidak adanya pengawasan terhadap MK. Orang mulai bicara bahwa sangat aneh, bahkan berbahaya, lembaga dengan fungsi dan kewenangan yang absolut seperti MK—yang mengadili di tingkat pertama dan terakhir, dengan putusan yang bersifat final—tidak diawasi. Orang ramai- ramai mencemooh ketika ingat bahwa MK pernah bagai mengadili "untuk dirinya sendiri" ketika membatalkan ketentuan pengawasan dalam UU MK.
Tulisan ini juga tidak berkepentingan untuk menilai baik atau tidak baiknya Komisi Yudisial yang mesti bertindak selaku pengawas para hakim MK, seperti halnya terhadap hakim agung di MA dan hakim di lembaga peradilan di bawahnya. Sebaliknya, tulisan ini hanya berusaha mengingatkan bahwa masalah tersebut sesungguhnya hanya satu titik di tengah potret besar yang memang buram; bahwa aspek pengawasan itu hanya satu noktah kecil; dan bahwa di balik itu terbentang isu yang lebih besar, yaitu pengaturan tentang spektrum serta lingkup fungsi dan kewenangan itu sendiri.
Bagaimana potret besar tersebut? Mungkin ada baiknya kalau dimulai dari MK sendiri. Bagaimana sebenarnya pemikiran kita ketika menuangkan konsep tentang kewenangan MK? Tidaklah penting soal ada atau tidaknya ego intelektual atau ambisi besar lain yang melatarbelakangi sejarah penuangan pemikiran tadi. Kewenangan menguji UU yang dapat diminta siapa pun sejauh memiliki legal standing, walaupun tanpa kasus, masih mengundang perdebatan apakah pilihan cara seperti itu tepat.
Walau menyandang kata "konstitusi" dalam namanya, "penugasan ekstra" untuk menangani soal di luar konteks UUD dan UU, seperti perselisihan hasil pemilu (termasuk pilkada) dan pembubaran partai politik, terasa bagai "pemekaran kewenangan" yang melampaui khitah MK. Berbeda dari praktik di negara lain jelas bukan masalah. Namun, lompatan yang hanya memenuhi cita akademik, apalagi sekadar akomodasi praktis terhadap kebutuhan politik, mesti benar-benar ditimbang dengan kemampuan dan pengalaman yang hebat. Kemarin-kemarin, sebelum gegeran yang sekarang ini terjadi, pertanyaan di seputar itu pasti dicibir, apalagi oleh para pemrakarsa/penyorong konsepsi tentang kewenangan MK.
Apa pesan yang dibawa dari hal-hal tadi? Pengawasan jelas penting, tetapi hanya akan efektif untuk ukuran dan batas tertentu. Sehebat apa pun hal itu dirancang, tetapi kalau harus menjangkau fungsi dan kewenangan yang begitu besar, dan disandang oleh kekuasaan memutus yang demikian absolut, jangan-jangan akan tetap kocar-kacir. Karena itu, bukankah lebih baik sekaligus saja memikirkan ulang dan membenahi fungsi dan kewenangan yang lebih pas terlebih dahulu dan merancang sistem checks and balances yang tepat?
Bagaimana dengan masalah serupa di DPR? Baik disimak, bagaimana partai politik mendesain fungsi dan kewenangan DPR dalam UU, walau itu pun berlangsung di tengah sindiran bahwa secara prosedural dan hukum, itu semua juga terjadi dengan persetujuan Presiden. Salah satu contoh, seberapa jauh sekarang ini spektrum dan lingkup pengawasan sebagai salah satu fungsi DPR telah terelaborasi?
Pengawasan mestinya dimaknai dalam koridor terhadap laku dan akuntabilitas eksekutif dalam menyelenggarakan pemerintah dan melaksanakan UUD serta UU. Tanpa perlu berlindung di balik ketentuan UUD (dan tafsir informalnya), bagaimanakah makna "konfirmasi" kemudian dapat menjalar jauh hingga berbentuk kegiatan "fit and proper" yang dilakukan bak penentu dalam proses rekrutmen? Bagaimana pula hal itu dapat meluas hingga menjangkau "pemanggilan" lembaga-lembaga negara yang setara dengannya seperti MA dan BPK? Apakah untuk dan atas nama pengawasan, DPR pantas berlaku bagai inspektur jenderal atau BPK atau BPKP in altera terhadap perwakilan RI di luar negeri ketika terjadi kasus tertentu yang menyangkut kepentingan RI di negara bersangkutan?
Bagaimana pula kegiatan pengawasan dapat meluas hingga "mencampuri" penentuan direksi dan urusan permodalan BUMN, yang jelas-jelas segala sesuatunya telah diatur dalam UU BUMN ataupun UU Perseroan Terbatas dan peraturan perundangan lainnya? Bagaimana mesti menjelaskan penalaran atas kewenangan tersebut ketika serasa tanpa perlu membedakan makna dan kepentingan atas keterangan dan testimoni/kesaksian, siapa pun yang tidak datang jika dipanggil/diundang lantas dapat dipanggil paksa atau dilaporkan ke polisi untuk dan atas nama "contempt of parliament"?
Itu sedikit contoh kreativitas "pemekaran" salah satu fungsi. Patut diperhatikan, di samping pengawasan, DPR masih punya fungsi dan kewenangan legislasi dan penganggaran. Apa pula underlining message di balik uraian tadi? Akankah kita harus mereka-reka bentuk dan mekanisme pengawasan (supervisi) bagi fungsi dan kewenangan pengawasan tadi, ataukah tidak sebaiknya meninjau ulang dan merasionalkan spektrum dan lingkup fungsi dan kewenangan DPR seperti yang diatur dalam UU?
Kebutuhan pengawasan yang efektif juga melingkupi fungsi, tugas, dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan. Tengoklah ketentuan Pasal 23E, 23F, dan 23G. Lupakan sejenak tentang soal lingkup dan kedalaman pengertian "keuangan negara", yang dengan persepsi apa pun, elaborasinya dalam UU hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Berdasarkan UU Keuangan Negara ataupun UU BPK, pemeriksaan berlangsung terhadap obyek dengan cakupan yang sangat luas. BPK sekarang juga blusukan melakukan audit dalam pengertian teknis ke semua instansi pusat ataupun daerah, bahkan hingga ke BUMN, hanya karena tafsir bahwa keuangan BUMN termasuk dalam pengertian "keuangan negara". Kalau pengawasan "eksternal" kemudian diperlukan terhadap fungsi dan kewenangan BPK, bukankah malah menimbulkan pertanyaan lain: lembaga apa dan yang bagaimana pula itu?
Perlu pikiran jernih
Potret tentang MK, DPR, dan BPK tersebut hanya contoh kecil dalam potret besar yang buram tadi. Meski begitu, keinginan "membersihkan kaca yang buram" mestilah disertai kejujuran dan sikap adil. Tak boleh ada ambivalensi pikir ataupun sikap. Pikiran jernih juga mesti berlaku cross border.
Tengoklah KPK, yang saat ini didambakan sebagai benteng terakhir menghadapi segala ketidakberesan di negara ini. Kalaupun kita cinta dan ingin memperkuat KPK, justru kita mesti menyelamatkannya dari ancaman persoalan yang sama. Dengan fungsi dan kewenangan yang hebat (tengoklah Bab II, Pasal 6-15 UU No 30/2002), kalau kita jujur, mestinya pertanyaan yang sama juga kita taruh di meja. Adakah institusi dan mekanisme pengawasan terhadap lembaga tersebut? Dengan kewenangan seperti menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi (tipikor), KPK juga mengoordinasi dan mengawasi kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan tipikor atau bahkan mengambil alih penanganan tipikor yang sedang dilakukan kedua lembaga tersebut. KPK juga berwenang menyadap dan mengakses data kekayaan.
Harus diakui, desain tentang fungsi dan kewenangan luar biasa seperti itu mengundang kecemburuan dan mengandung kerawanan konflik antarlembaga. Tetapi, tengoklah, UU KPK juga tidak memiliki pengaturan tentang pengawasan. Yang ada hanya ketentuan tentang pertanggungjawaban (Pasal 20). Dengan konsepsi dan desain independensinya, KPK dirancang tidak bertanggung jawab kepada lembaga mana pun (bahkan juga tidak kepada Presiden selaku kepala negara, kecuali kepada "publik". Kepada Presiden, DPR, dan BPK, KPK hanya memberikan laporan berkala.
Ini baru soal pertanggungjawaban. Masalah pengawasan jelas soal lain lagi. Namun, bukankah yang sedang hangat dibincangkan soal pengawasan, bukan pertanggungjawaban? Korupsi sebagai kejahatan luar biasa jelas harus diberantas. KPK juga harus terus dibantu, didukung, dan dijaga. Meski begitu, dari sudut pandang mana pun, jelas bukan sikap bijak apabila dalam satu negara dibiarkan berlarut-larut ada lembaga yang tidak terawasi, sementara konsepsi tentang pertanggungjawaban dibiarkan dalam keremangan. Lebih dari itu, dan lebih penting lagi, sebelum menginjak ke ranah pengawasan dan pertanggungjawaban, penting memikirkan ulang setepat-tepatnya, dan secara pas, spektrum dan lingkup isi tentang fungsi dan kewenangan lembaga- lembaga tadi.
(Bambang Kesowo, Anggota Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lemhannas; Pengajar pada Sekolah Pascasarjana FH UGM)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002882510
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar