Hampir tak ada perkembangan sosial politik yang luput dari kritisisme aktivis media sosial. Hampir tidak ada isu aktual
yang tak digunjingkan melalui ruang media sosial. Semua pihak—masyarakat, pemerintah, politisi, penegak hukum, selebritas, aktivis—merasa berkepentingan mengikuti perdebatan media sosial, mempertimbangkannya sebagai saluran komunikasi dan informasi yang cukup menentukan.
Harus diakui, fenomena media sosial berkontribusi positif bagi proses demokratisasi dan deliberasi di Indonesia. Media sosial memungkinkan individu bertindak sebagai subyek yang otonom di ruang publik. Setiap warga didorong untuk secara partisipatoris terlibat dalam proses pencarian, penyebaran, dan pertukaran informasi. Setiap orang adalah jurnalis, setiap orang adalah sumber.
Media sosial menutupi kelemahan praktik komunikasi di media massa. Dalam statusnya sebagai ruang publik, media massa kenyataannya tak memberikan akses memadai kepada orang kebanyakan untuk terlibat dalam berbagai perdebatan. Pemberitaan media terkondisikan untuk selalu mengutip sumber elite: pemerintah, DPR, akademisi, pengamat, dan aktivis LSM.
Tanpa banyak disadari, orang kebanyakan hanya jadi penonton dalam diskursus media. Elitisme juga terjadi dalam pemilihan tema berita. Sebagian besar pemirsa televisi kita adalah kelas menengah ke bawah, tetapi dialog-dialog di televisi hampir selalu hanya mencerminkan problem, minat, atau sensibilitas kelas menengah ke atas.
Persoalan ini berhasil diatasi media sosial dengan menawarkan platform yang memungkinkan perwujudan egalitarianisme dan kesetaraan. Media sosial memungkinkan setiap orang berpendapat langsung, terlibat dalam diskusi, bahkan turut menentukan tema yang perlu didiskusikan. Siapa pun boleh berbicara tentang apa saja. Siapa pun boleh berdiskusi dan menyanggah pendapat siapa saja. Dari perspektif demokrasi dan deliberasi publik, ini adalah kemajuan yang patut disambut.
Persoalannya, diskusi di ruang publik juga harus dilandasi etika dan kepantasan. Kebebasan berpendapat kita dibatasi hak orang lain untuk diperlakukan secara adil serta hak semua orang atas ruang publik yang steril dari sumpah seranah, sikap permusuhan, dan pergunjingan pribadi. Jika disepakati bahwa media sosial adalah sebentuk ruang publik, tentu prinsip ini juga harus berlaku untuk media sosial tanpa pengecualian.
Keadaban publik
Pada titik inilah kita mendapati problem surplus kebebasan berpendapat dalam arena media sosial. Kebebasan berpendapat itu belum sepenuhnya dilandasi penghormatan terhadap hak-hak orang lain dan nilai-nilai keadaban publik. Dalam berbagai isu, media sosial tampak digunakan sebagai sarana menghujat, mencaci maki, atau merendahkan pihak tertentu. Yang kita temukan di media sosial tidak sekadar kritik yang argumentatif, tetapi juga kritik yang apriori dan kasar. Dengan mudahnya satu pihak menghakimi pihak lain tanpa ada mekanisme klarifikasi dan umpan balik.
Hiperaktualitas dan interaktivitas sebagai keunggulan komparatif media sosial telah mendorong kita untuk melontarkan pernyataan spontan, otomatis, dan tanpa berpikir panjang. Gairah dan suasana diskusi di media sosial mengondisikan kita berbicara sesegera dan seaktual mungkin, "jangan sampai didahului orang lain". Akibatnya, kita kerap tak sempat menimbang-nimbang kepantasan dan dampak suatu pernyataan. Kita baru menyadari ketika sudah muncul kontroversi, debat kusir, atau penghakiman terhadap suatu pihak.
Meminjam istilah Hannah Arendt, kita kehilangan kemampuan untuk berdialog dengan diri sendiri dan mempertimbangkan kata hati sebelum bertindak dan berucap. Kemampuan yang sangat penting agar kita mampu menenggang nasib dan perasaan orang lain, tak sekadar mengikuti naluri-naluri yang egoistik-anarkis. Kemampuan menenggang nasib dan perasaan orang lain inilah esensi sesungguhnya dari hidup bermasyarakat.
Selain itu, diskusi di media sosial memungkinkan kita menyamarkan identitas diri dan berbicara secara anonim. Persoalannya, sebagaimana dikatakan sosiolog George Simmel, di mana ada anonimitas di situlah muncul potensi iresponsibilitas. Tentu tidak semua anonymous adalah pribadi-pribadi yang
tidak bertanggung jawab. Namun, tidak sedikit orang yang menggunakan nama samaran atau akun anonim untuk berbicara seenaknya dan mem-bully orang lain. Menggunakan analogi Simmel, mereka seperti manusia-manusia bertopeng yang dapat bertindak jahat terhadap orang lain tanpa seorang pun tahu siapa jati dirinya, tanpa harus bertanggung jawab.
Sungguh disayangkan jika negativitas media sosial itu justru menutupi potensi-potensi demokratif-deliberatif sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sudah semestinya kita berharap kebiasaan menumpahkan kemarahan atau ketidaksetujuan di media sosial dengan sumpah seranah, cemoohan, dan penistaan—sebagaimana sering terjadi belakangan ini—hanya gejala sementara. Kita berharap kebiasaan buruk itu hanya gejala residual yang tidak permanen dan tidak mencerminkan perkembangan keadaban kita sebagai bangsa.
Bagaimana kita mampu mengatur diri dalam bersikap dan berperilaku di media sosial pada akhirnya juga menentukan bagaimana kualitas keadaban kita. Dalam konteks ini, ada baiknya para aktivis jejaring sosial melangkah lebih jauh dalam merumuskan semacam kode etik berkomunikasi dan berinteraksi di media sosial. Hal ini bukan ide baru, tetapi mendesak diwujudkan. Meski tak akan mudah dalam pelaksanaannya, tetap lebih baik jika aktivis jejaring sosial mampu mengatur dirinya sendiri daripada inisiatif itu diambil dan dilaksanakan oleh negara.
Agus Sudibyo, Koordinator Perumusan Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004156801
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar