Data diambil dari rilis Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Singkatnya, dalam setahun penghasilan seorang anggota DPR RI bisa melebihi Rp 1 miliar.
Maka, pertanyaannya: apakah prestasi dan produktivitas kerja mereka sesuai dengan besarnya gaji yang diterima? Secara singkat, Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Siswono Yudo Husodo menyampaikan fakta tentang pertanyaan tersebut. Bahkan, disampaikan, menjelang pemilihan legislatif, prestasi mereka akan makin merosot dari segi produktivitas; meninggalkan sidang-sidang di DPR yang seharusnya jadi tanggung jawab mereka.
Sesungguhnya sudah rahasia umum betapa amburadulnya kinerja para wakil rakyat itu, termasuk sikap kerjanya yang memalukan (bolos, tidur di ruang sidang, dan lainnya). Tak sedikit survei dan hasil penelitian yang mengungkapkan tentang buruknya kinerja mereka. Semua fakta yang diuraikan di atas mengantar kita pada analogi pemetaan anggota organisasi sebuah perusahaan (baca: karyawan) dari aspek hubungan komparatif "kontribusi (yang diberikan) dengan kompensasi (yang diterima)". Hubungan komparatif itu berdasarkan prinsip memberi (the giving principle): memberi–menerima.
Prinsip ini mengajarkan bahwa manusia (dengan status, profesi, atau jabatan apa pun) harus memberi lebih dulu baru menerima. Jika kita bersedia memberi lebih banyak, kita akan menerima lebih banyak lagi. Bukan sebaliknya, menerima dulu baru mau memberi. Seperti pernah disampaikan Einstein: give and take. Bukan take and give yang populer dan kita kenal selama ini. Praksis manajemen sumber daya manusia modern mengajarkan bahwa kinerja atau kontribusi seorang karyawan bisa dikuantifikasikan. Konkretnya, bisa dihitung nilai nominalnya, terutama dalam kaitan dengan kompensasi (nominal) yang diterima.
Dalam ilustrasi ini diasumsikan kompensasi yang diterima seorang karyawan adalah X (secara nominal). Maka, ada tiga skema hubungan. Pertama, seorang karyawan memberikan kontribusi (kinerja) kurang dari nilai kompensasi X yang diterima, katakan hanya sebesar X-1. Karyawan tipe ini disebut bad employee (karyawan yang buruk, di bawah standar) dan secara kuantitatif karyawan buruk ini sesungguhnya "berutang" pada perusahaan tempat dia bekerja.
Kedua, kontribusi (kinerja) seorang karyawan relatif sama dengan jumlah kompensasi X yang dia terima. Karyawan tipe ini disebut good employee (karyawan standar, biasa). Dia memberikan pas dengan yang dia terima meski dia tidak berutang kepada perusahaannya.
Ketiga, skema terakhir adalah jika kontribusi (kinerja) karyawan melebihi jumlah kompensasi yang diterima, katakan X+1, dia disebut great employee (karyawan hebat, di atas standar). Dia bukannya berutang, malah dia yang memberi lebih kepada perusahaan.
Tiga prinsip memilih
Kondisi wakil rakyat dengan kompensasi selangit tetapi kontribusi (kinerja) yang menyedihkan (sekaligus memalukan) beranalogi sempurna dengan bad employee, karyawan buruk. Mereka adalah para wakil rakyat yang buruk dan jelas berutang (sangat) besar kepada bangsa dan rakyat yang membayar mereka.
Melihat skala dan kompleksitas permasalahan bangsa ini ke depan, yang diperlukan—merujuk konsep Jim Collins (dalam Good to Great)—adalah great DPR. Bahkan, good DPR pun tak lagi cukup, apalagi bad DPR. Kita perlu mengadaptasi konsepnya, yang secara kontekstual sangat relevan dengan urgensi kebutuhan kita dalam proses pemilu legislatif sesaat lagi.
Ada beberapa prinsip yang perlu kita renungkan yang diharapkan jadi pedoman kita dalam memilih kelak. Pertama, SDM (baca: wakil rakyat) bukanlah aset perusahaan (baca: organisasi DPR). Yang benar: orang yang tepat (wakil rakyat yang tepat) adalah aset perusahaan (DPR).
Kedua, kompensasi atau reward bukan untuk membuat orang (wakil rakyat) yang salah jadi benar, melainkan membuat wakil rakyat yang benar menjadi lebih produktif. Jadi, konsekuensinya, kompensasi sebesar apa pun yang kita berikan kepada para wakil rakyat itu (seperti saat ini terjadi) tidak menjamin akan mengubah mereka jadi lebih baik dan produktif karena mereka adalah orang-orang yang tidak tepat.
Prinsipnya: "siapa yang Anda bayar, bukan berapa banyak Anda membayarnya". Prinsip itu makin meneguhkan betapa penting dan krusial kesediaan dan kemampuan kita sebagai rakyat memilih para calon yang tepat.
Ketiga, prinsip lain yang penting adalah "siapa", baru "apa". Salah satu implikasi penting prinsip ini adalah ketika kita ragu-ragu, jangan direkrut (baca: dipilih). Bahkan, jika perlu, jika Anda melihat ada calon lain yang Anda yakin tepat (meski bukan separtai dengan Anda), jangan ragu: pilih dia.
Sebagai pemilih, hendaknya kita makin dewasa dengan menjadi pemilih yang proaktif (aktif mencari informasi seobyektif mungkin) dan bukannya pasif menunggu sampai datangnya saat mencoblos. Selain dewasa, kita juga mesti makin bijak dengan menjadi pemilih yang patriotik: menempatkan loyalitas pada bangsa (dan negara) di atas loyalitas (sempit) pada partai. Jadi, jika ragu, tinggalkan. Kita rindu punya DPR yang hebat yang selama ini hanya jadi mimpi. Peran kita sangat besar untuk merealisasikan mimpi itu. Kita "hanya" perlu menemukan dan memilih manusia yang tepat, tak lebih tak kurang. Sekali lagi: jika ragu, tinggalkan!
Herry Tjahjono, Terapis Budaya Perusahaan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005553373
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar