Melegakan bahwa kini kian banyak guru profesional yang merasa terpanggil, seperti para penanggung jawab di perguruan tinggi. Namun, alih-alih membatasi pemikiran dan perhatian pada ide restrukturisasi parsial, akan jauh lebih bermanfaat dan tepat guna bila energi tokoh-tokoh keguruan ini dicurahkan sepenuhnya untuk penyusunan satu konsep pendidikan yang menyeluruh.
Berhubung konsep pendidikan yang menyeluruh ini akan diterapkan, ia perlu diawali penjelasan apa yang dimaksud "Indonesia", selaku entitas politik (NKRI), selaku negara yang "menjadi", selaku bangsa yang serba majemuk, mengenal berbagai sejarah lokal sebelum bersejarah nasional, menduduki arsipelago terbesar di dunia yang bernatur maritim.
Lalu, tentu saja penjelasan bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan dan bahwa "pendidikan" tidak sama dengan "persekolahan". Pendidikan adalah sebuah pendakian dari informasi melalui pengetahuan kearifan. Sebuah teori filosofis perlu mendeskripsikan dan menganalisis pendidikan ini. Kita tak bisa mengatakan, apalagi mencapai, apa yang kita kehendaki dari sekolah-sekolah yang kita dirikan selama kita tidak memahami pendidikan itu apa, untuk siapa yang ada di mana, bagaimana mempraktikkan pembelajaran dan apa-apa yang seharusnya diajarkan (kurikulum), lalu dibagi habis ke setiap jenjang pendidikan.
Jadi, pendidikan tinggi merupakan bagian integral dari keseluruhan pendidikan, suatu "pemahkotaan" konstitutif dari prosesnya. Berarti, tanggung jawab keberha- silan keseluruhan pendidikan perlu diper- cayakan kepada hanya satu kementerian.
Maka, kurikulum merupakan kerja terakhir—bukan awal—dari usaha penyusupan konsep pendidikan. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa penetapan kurikulum adalah kerja asal-asalan. Pembelajaran apa-apa yang diajarkan itu seharusnya membuat "belajar" menjadi suatu second nature bagi anak didik. Dia harus dibuat mampu mendidik dirinya sendiri setelah meninggalkan bangku sekolah di jenjang apa pun karena pendidikan adalah proses seumur hidup.
Bekal jalani hidup
Selain itu, pembelajaran merupakan latihan untuk berpikir yang diniscayakan untuk bekal menjalani kehidupan, yaitu bukan what to think, melainkan lebih banyak berupa why to think dan how to think guna membiasakan belajar sendiri how to know, how to do, how to be, how to live together, dan how to earn. Di zaman Aufklärung, manusia sudah menyadari, orang terdidik memerlukan lebih dulu Lern jahre (masa belajar), baru Wander-jahre (masa mengembara), secara mental ataupun fisik.
Salah satu alasan pokok ide pembentukan Kementerian Ristek sebagai lembaga pemerintahan yang menangani urusan pendidikan tinggi, bukan lagi Kemdikbud, adalah bahwa kerja sama lebih erat antara perguruan tinggi (PT) dan industri kini menjadi tren dunia dan terbukti memajukan bangsa. Sebenarnya tren ini bukan peristiwa baru. Ia sudah diimajinasikan sejak awal pembentukan PT. Pendidikan universiter adalah satu keniscaya- an karena merupakan pencipta dan penggerak utama dari "komunitas ilmiah".
Setiap komunitas nasional terdiri atas aneka subkomunitas (sk): sk-ilmiah, sk- bisnis, sk-politik, sk-religius, sk-artistik, dll. Sejarah membuktikan, suatu bangsa bisa maju, dalam term peradaban, hanya bila sk-ilmiahnya yang termaju di antara sk yang ada. Masa itu adalah saat ketika ia mampu melontarkan aneka ide dan pemikiran yang dikemas berupa the most dominant contemporary form of communicable knowledge, berkat cara pembelajaran khas yang dikembangkan oleh sivitas akademika di kampus.
Karena kebenaran faktual-historis inilah, terbentuk suatu kesepakatan rahasia di antara bangsa-bangsa yang sedang berperang dalam Perang Dunia II di daratan Eropa untuk tak dengan sengaja menghancurkan kampus lawan. Sebab, sesudah perang usai, yang menang maupun yang kalah perlu jasa komunitas ilmiah bagi pembangunan kembali negeri masing-masing. Tak heran kalau PT di Eropa dan Amerika menerima aneka jenis proyek riset dari pemerintah dan sk-bisnis sebagai usaha how to win the post-war peace.
Perlu diakui bahwa kampus ilmiah yang worthy by the name belum ada di Indone- sia, sedangkan pengadaannya merupakan tugas spesifik dari PT dan sivitas akademi- kanya. Lembaga dan orang lain tidak akan bisa diharapkan berbuat begitu. Masyarakat awam tak mengetahui kekurangan fundamental ini karena spirit ilmiah belum menyebar, bahkan tidak di kalangan alumni karena tak dipupuk. Berarti, satu-satunya modal pembentukan kampus jadi komunitas ilmiah adalah PT.
Transformasi kampus jadi komunitas ilmiah memerlukan berbagai syarat kelakuan yang diniscayakan bagi sivitas akademika dan ketentuan integritas ilmiah yang harus dihayati sepenuhnya. Syarat kelakuan dan ketentuan integritas ilmiah itulah yang membentuk mind-set sivitas akademika.
Komunitas ilmiah bukanlah sekadar lokalitas fisik, melainkan suatu mind-set partikular. Pembentukan mind-set yang diniscayakan ini tak bergantung pada perubahan lembaga pemerintahan yang resmi membawahkan PT. Ia bergantung seluruhnya pada kesadaran sivitas akademika sebagai tugas khasnya, selaku kelompok makhluk di planet bumi yang menanam/mengangkat ide, dibesarkan oleh ide-ide dan menawarkan ide kepada siapa melalui komunikasi individual dan kolektif.
Visioner futuristik
Nietzsche pernah berujar, ada satu masa di mana satu-satunya kebijakan pemerintah adalah kebijakan pendidikan. Saya pikir masa itu berawal di bagian akhir tahun 1970-an ketika Presiden Soeharto mengajak saya membantunya membangun bidang pendidikan nasional. Saya terima ajakan itu karena sudah punya konsep pelaksanaannya, dibuat selagi belajar di Paris, ibu kota intelektual dunia.
Konsep itu bersifat visioner-futuristik. Ia berawal dari masa depan dengan masa lalu sebagai koordinat perjalanan misi karena anak didik perlu disiapkan tidak untuk hidup sekarang, tetapi mampu sintas di masa depan. Ternyata ada sejumlah tokoh politik dan agama yang menentang karena konsep mereka berpikir sebaliknya dengan alasan-alasan primordial.
Terlepas dari ajaran Nietzsche dan penolakan tadi, suatu konsep pendidikan yang menyeluruh tetap diperlukan sekarang dan di sini. Sebagai suatu negara-bangsa, kita akan eksis dalam keseimbangan hanya melalui kultivasi terbaik tentang dunia fisik di bawah dan sekitar kita serta mengenai dunia intelektual dan etis dalam diri kita.
Kesenangan belajar dan stimulus intelektual anak didik telah digerogoti kecenderungan menganggap pendidikan, termasuk di universitas, semata-mata sebagai persiapan vokasional dan profesional, yang menanggapi pendidikan sebagai melulu suatu investasi ekonomi. Padahal, di garis cakrawala peradaban sudah lama membayang pemunculan suatu humanisme individual baru mengenai pemahaman teknologi; dengan berpusar pada hal inilah sistem nilai universitas akan hidup kembali dalam bentuk yang baru.
Daoed JOESOEF, Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005290078
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar