Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 25 April 2014

Pertumbuhan Pencipta Kemiskinan (Ivanovich Agusta)

Cobalah fasilitas grafik scatter pada laman Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dengan menghubungkan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
Grafik menjulur positif menunjukkan pembangunan mencipta tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan. Demonstrasi yang bebas dilakukan pengguna dunia maya ini menegaskan tulisan utama Kompas (3 April 2014) perihal melebarnya kesenjangan pendapatan. Namun, dengan getir perlu dikoreksi, menurut World Development Report 2009 dari Bank Dunia, ketimpangan menjaga momentum pedagang guna menggaet keuntungan dari wilayah tertinggal.

Paradoks ketimpangan
Selama dua abad terakhir, ketimpangan ekonomi, sosial, dan wilayah telah mencipta berbagai paradoks. Sejak awal abad ke-20, Boeke mencatatnya sebagai dualisme ekonomi, yang memisahkan ekonomi industri dari pertanian, memisahkan perkotaan dari pedesaan, dan memisahkan sektor formal dari informal.

Sejak dekade 1970-an, peta investasi terpadat terletak di Jawa. Namun, selalu diikuti fenomena jumlah penduduk miskin dan pengangguran terbesar se-Indonesia. Ada kemungkinan gula perekonomian mengundang semut-semut miskin bermigrasi mengerubuti.

Alokasi program dan anggaran pembangunan untuk melayani jumlah penduduk turut menggiring sumber daya menumpuk ke Jawa, sebagai wilayah berpenduduk terbesar. Begitu pula insentif fiskal bagi wilayah berpendapatan tinggi malah memperlebar jurang ketimpangan dari provinsi dan kabupaten/kota yang miskin pendapatan. Ketimpangan wilayah mencapai rasio gini 0,41 selama tiga tahun berturut-turut. Ini menjadi derajat ketimpangan wilayah tertinggi di Indonesia sejak 1945.

Bank Dunia meredam kekhawatiran dengan menunjukkan bahwa ketimpangan wilayah meningkatkan perdagangan. Produk dari wilayah maju yang lebih murah diperdagangkan ke wilayah tertinggal dengan harga jauh lebih tinggi, sebagaimana telah lama terjadi di Papua dan wilayah terluar Indonesia.

Namun, yang dilupakan, spill over atau dampak perdagangan tersebut kembali lagi ke Jawa sekitar 70 persen (menurut data Interregional Input-Output). Artinya, perdagangan antarpulau di dalam negeri yang masif sejak awal 1980-an pada akhirnya mengakumulasi kekayaan di Jawa kembali.

Sementara pertumbuhan ekonomi berkorelasi positif terhadap kemiskinan, uniknya inflasi berkaitan negatif dengan kapasitas hidup orang miskin. Ketika laju inflasi meningkat, ternyata laju garis kemiskinan menurun, dan sebaliknya. Saat inflasi nasional hanya 2,78 pada 2009, ternyata kenaikan garis kemiskinan mencapai 9,7 persen. Selanjutnya, inflasi menjadi 6,96, tetapi gerak garis kemiskinan hanya 5,7 persen. Artinya, manfaat inflasi rendah hanya dinikmati lapisan atas, sebaliknya krisis ekonomi cenderung mengajak warga negara untuk prihatin bersama.

Kebijakan baru
Pemimpin baru hasil Pemilu 2014 kelak diharapkan membuka peluang perbaikan arah pembangunan masa depan. Untuk menanggulangi kesenjangan pendapatan, pembangunan haruslah bermanfaat bagi rakyat guna meningkatkan status ekonomi dan sosial.

Puluhan diskusi pada berbagai ragam desa di Tanah Air konsisten menunjukkan peran satu generasi lebih muda untuk menaikkan status ekonomi. Anak-anak yang bersekolah lalu bekerja atau berusaha membuahkan tangga keluarga untuk menaiki kehidupan lebih baik.

Tampaknya pendidikan dan tambahan soft skill peserta didik menjadi resep utama. Hal ini ditunjukkan di tingkat nasional, yang pada 2013 pengangguran terbesar ialah lulusan SLTP (1,8 juta jiwa), SLTA (1,8 juta jiwa), diikuti lulusan SD (1,4 juta jiwa). Namun, yang menarik, penganggur dari lulusan SLTA kejuruan jauh lebih rendah (800.000 jiwa) sekaligus cederung menurun dalam satu dekade terakhir.

Strategi lain ialah migrasi, baik migrasi antarkota maupun ke luar negeri. Kelancaran jalur transportasi dan logistik, bersama-sama dukungan keterampilan dan kebijakan pemihakan, kiranya menjadi modal utama warga agar sukses bermigrasi.

Sejak 1970-an, migrasi antarkota menjadi pelampung buruh tani. Migrasi ke Timur Tengah dan negara jiran tidak membutuhkan modal keterampilan. Hasilnya bisa untuk membeli/membangun rumah. Sementara migrasi ke negeri Singa Asia atau Asia Timur membutuhkan modal keterampilan teknis. Hasilnya lebih besar sehingga sawah dan tambak lazim menjadi bukti kesuksesan anak muda tersebut.

Baru beberapa tahun terakhir muncul pengakuan warga akan peran program permodalan kecil untuk meningkatkan status ekonomi warga. Padahal, selama ini sekitar 70 persen program wilayah tertinggal diarahkan pada infrastruktur. Kiranya pengakuan warga menunjukkan pentingnya keterpaduan program infrastruktur dengan permodalan ekonomis.

Akhirnya, kebijakan yang bisa berakibat masif bagi pemerataan ialah mengubah denominator alokasi program dan anggaran nasional. Selama ini denominator penduduk dan pertumbuhan ekonomi mengalihkan sumber daya ke wilayah maju. Jika denominator diubah jadi luas wilayah dan persentase penduduk miskin, pasti sumber daya beralih ke wilayah tertinggal, terpencil, terluar. Peralihan sumber daya sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan.

(Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan IPB Bogor)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006213339
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger