Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 11 April 2014

Reforma Agraria Pasca SBY (Gunawan)

Komitmen Presiden SBY untuk menjalankan Program Pembaruan Agraria Nasional kini benar-benar sudah kehabisan waktu.
Semoga ini tak menjadikan hilangnya momentum pelaksanaan reforma atau pembaruan agraria di Indonesia. Reforma agraria sebagai prioritas tampaknya hanya bisa diagendakan setelah Pemilu 2014. Sejak lahirnya Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, reforma agraria kembali jadi wacana bernegara setelah semasa Orde Baru distigma program komunis.

Di era SBY, program ini terhambat bahkan terhenti. Penyebabnya, obyek tanah yang akan diredistribusi lemah dalam pengaturan dan pengadaannya. Dalam pengaturannya, hanya satu obyek reforma agraria yang telah diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 11/2011 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar yang hingga kini pelaksanaannya belum dievaluasi. Obyek reforma agraria lain yang diatur dalam Rancangan PP tentang Reforma Agraria hingga kini belum disahkan. Dalam UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, redistribusi tanah kepada petani bisa didapat dari konsolidasi tanah, tanah negara bebas, dan tanah negara bekas tanah telantar. Petani bisa mendapatkannya lewat hak sewa dan perizinan.

UU ini menunjukkan sedikitnya obyek reforma agraria dibandingkan dengan yang sebelumnya ada dalam RPP Reforma Agraria dan nantinya yang ada dalam RUU Pertanahan serta mekanisme redistribusinya lewat hak sewa bertentangan dengan prinsip hak menguasai negara yang diatur dalam UUD 1945 dan UUPA 1960, yang melarang negara menyewakan tanah karena negara bukan pemilik tanah dan hak sewa tanah pertanian, adalah hak bersifat sementara yang nanti akan dihapuskan.

Dalam pengadaannya, tanah negara bekas tanah telantar yang akan didayagunakan melalui reforma agraria terkendala sejauh mana penertiban tanah telantar bisa dilakukan. Dalam obyek reforma agraria dari tanah negara dari pelepasan kawasan hutan juga tak bisa didapat karena menteri kehutanan punya skema sendiri hutan yang bisa dimanfaatkan masyarakat di luar program pembaruan agraria.

RUU Pertanahan
Jika tak buru-buru disahkan sebelum masa kerja DPR habis, agenda Program Legislasi Nasional 2015 masih akan membahas RUU Pertanahan yang di dalamnya mengatur obyek dan subyek reforma agraria. Dalam RUU Pertanahan, yang dimaksud dengan tanah obyek reforma agraria adalah (a) tanah negara bekas tanah telantar; (b) tanah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi; (c) tanah dari sumber lain yang berasal dari: (1) tanah negara bebas; (2) tanah negara bekas hak barat; (3) tanah negara berasal dari tanah timbul dan tanah tumbuh; (4) tanah negara bekas swapraja; (5) tanah negara berasal bekas pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi; (6) tanah negara berasal dari pelepasan kawasan hutan; (7) tanah negara berasal dari tukar menukar atau perbuatan hukum keperdataan lain dalam rangka reforma agraria; (8) tanah yang diserahkan pemegang haknya ke negara untuk reforma agraria

Melihat komposisi tanah obyek reforma agraria, bisa diartikan reforma agraria dimaknai oleh RUU Pertanahan sebagai sekadar redistribusi tanah negara kepada masyarakat miskin, bukan dalam rangka menciptakan struktur agraria yang adil, menyelesaikan konflik agraria, dan sebagai dasar pembangunan sehingga kekayaan alam (sumber-sumber agraria) bisa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana mandat Pasal 33 UUD 1945.

DPR dan pemerintah setelah Pemilu 2014 harus memperhatikan putusan MK dalam mengatur reforma agraria. Menurut MK, dalam pertimbangan Putusan Perkara Pengujian UU Penanaman Modal (Perkara No 21-22/PUU-V/2007), "Sepanjang menyangkut tanah, maka atas dasar adanya kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi itulah dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, di antaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tak terpusat pada sekelompok orang tertentu. Inilah yang antara lain dilakukan melalui UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria  dan UU No 56 PRP Tahun 1960 tentang Pembatasan Luas Tanah Pertanian. Dengan pembatasan dan pendistribusian demikian, berarti sumber ekonomi akan tersebar lebih merata dan pada akhirnya akan tercapai tujuan pemerataan kemakmuran rakyat."

Dengan RUU Pertanahan tak mengatur batas minimum kepemilikan tanah dan tak dimasukkannya tanah kelebihan batas maksimum sebagai tanah obyek reforma agraria, reforma agraria dalam RUU Pertanahan belum memberikan solusi bagi ketidakadilan atau ketimpangan agraria. Jika kemudian dasar peraturan reforma agraria bersumber pada Pasal 10 (1) UUPA 1960, yang mewajibkan pemilik tanah menggarap tanah dan mencegah cara pemerasan, penerima tanah obyek reforma agraria yang diatur di RUU Pertanahan menjadi terlalu luas batasannya karena kategori hanya WNI, berusia 18 tahun atau sudah menikah, miskin, menganggur, dan bersedia ditempatkan di tanah obyek reforma agraria.

Seharusnya RUU Pertanahan mengatur prioritas penerima tanah obyek reforma agraria, yang paling prioritas tentunya mereka yang bersedia menggarap tanah, yaitu petani yang tak punya tanah, sehingga berkorelasi dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan. Juga rakyat yang tanahnya di bawah batas minimum kepemilikan. Indikator demokratisasi juga harus diukur dari sejauh mana DPR dan presiden hasil pemilu menjalankan reforma agraria sebagai pendemokratisan sumber agraria sehingga kedaulatan dan kemakmuran rakyat bisa diwujudkan.

Gunawan
Ketua Eksekutif Indonesia Human Rights Committee for Social Justice;
Anggota Kelompok Kerja Khusus Dewan Ketahanan Pangan RI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005991004
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger