Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 11 April 2014

Tajuk 2: Nafsu Kekuasaan Pemimpin Korut (Kompas)

Kim Jong Un atau "Kim Ketiga" mengikuti jejak para pendahu- lunya, Kim Il Sung dan Kim Jong Il, yakni menumpuk kekuasaan pada dirinya sendiri.
Terpilihnya kembali Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara, sebagai Ketua Komisi Pertahanan Nasional mengindikasikan, ia tetap kokoh memegang kontrol kekuasaan atas Korut. Pemilihan Jong Un itu dilakukan dalam sidang tertutup parlemen baru, Majelis Rakyat Tertinggi.

Awal bulan lalu, Jong Un membubarkan Majelis Rakyat Tertinggi dan melakukan pemilu baru. Dalam sistem politik Korut, para calon anggota Majelis Rakyat Tertinggi ditunjuk negara dan karena itu dalam pemilihan tidak ada lawannya, pasti terpilih serta setia kepada pemimpin.

Langkah pemilihan anggota Majelis Rakyat Tertinggi baru, yang sering disebut sebagai "tukang stempel" karena mengikuti saja kehendak pemimpin, adalah bagian dari Jong Un untuk memperkokoh kekuasaannya.

Sebenarnya, upaya untuk memperkokoh kekuasaan sudah dilakukan sejak dia mengeksekusi pamannya, Jang Song Thaek, Desember tahun lalu. Padahal, pamannya inilah yang membuka jalan bagi Jong Un untuk duduk sampai ke puncak. Setelah kematian Kim Jong Il, ayah Jong Un, Jang Song Thaek menjadi tangan kanan Jong Un dan mengurusi suksesi kekuasaan. Akan tetapi, pada akhirnya Jang Song Thaek pun disingkirkan karena dianggap berkhianat. Dan, tentu alasan yang tidak disebutkan, diyakini akan membahayakan kekuasaannya.

Sejak saat itu muncul analisis bahwa Kim Ketiga, Jong Un, mulai mengonsolidasikan kekuasaan di lingkungan elite yang berkuasa di Pyongyang. Sama seperti kakek dan ayahnya, Jong Un menyingkirkan semua yang dianggap dan dirasakan sebagai perintang bagi terpusatnya kekuasaan di tangannya.

Demi yang namanya kekuasaan, saudara, famili, atau kerabat pun harus disingkirkan. Sebenarnyalah intrik politik seperti itu sudah merupakan preseden bersejarah di Korut, kalau kita kembali ke zaman raja-raja dahulu.

Pertanyaannya, apakah kekuasaan yang ada di tangan Jong Un itu bermanfaat atau memberikan manfaat bagi rakyatnya? Artinya, kekuasaan itu bukan menjadi tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan kesejahteraan. Sebab, semestinya kekuasaan itu, seperti dirumuskan Thomas Aquinas, adalah fungsional demi kesejahteraan setiap orang, kesejahteraan umum masyarakat.

Akan tetapi, kalau kekuasaan tidak bermanfaat bagi rakyatnya dan hanya berguna bagi dirinya sendiri, tentu kekuasaan tidak ada gunanya sama sekali. Apa yang akan dilakukan Jong Un, sebagai pemimpin muda Korut, setelah seluruh kekuasaan ada di tangannya? Kita hanya berharap, sebagai pemimpin muda, Jong Un berani keluar dari "kultur" Korut yang dipegang para pendahulunya, yang mementingkan diri sendiri dan melupakan rakyatnya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005991690
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger