Di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dijumpai anak-anak dengan pelbagai kelainan, seperti gangguan perkembangan fisik, mental, dan kecerdasannya, termasuk kejang-kejang. Semua mengindikasikan anak-anak yang darahnya terkontaminasi timbel.
Desa Cinangka memang menjadi sentra peleburan aki bekas ilegal sejak 1978. Tidak mengherankan jika debu timbel beterbangan ke mana-mana, mencemari udara, tanah, dan air yang menjadi sumber penghidupan penduduk desa.
Kita tahu, aki adalah sumber listrik kendaraan bermotor. Komponen utama aki yang terbuat dari logam timbel (Pb) masih bernilai apabila didaur ulang menjadi bahan baku timah. Persoalannya, pengolahan aki bekas jarang ditangani industri menengah dan besar—yang notabene mudah diatur pemerintah—karena usaha ini memerlukan biaya pengumpulan aki bekas untuk mencapai skala produksi yang menguntungkan. Oleh karena itu, pengolahan aki bekas banyak ditangani dalam skala rumah tangga yang tersebar di pelbagai lokasi, terutama kawasan terpencil. Dari sinilah masalah bermunculan.
Pengolahan aki bekas secara tradisional menggunakan tungku yang menyerupai mulut sumur, tetapi tanpa dilengkapi cerobong dan penangkap debu. Maka, berhamburanlah debu timbel mencemari sekelilingnya dan pada akhirnya berdampak pada anak-anak generasi masa depan.
Harus diakui, tidak mudah menangani pengolahan aki bekas ilegal ini. Setiap kali dilarang atau diawasi di satu titik, pelaku akan memindahkan usahanya ke titik lain. Upaya mencari pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pemulihan lahan terkontaminasi juga sulit karena mudahnya mereka berpindah. Persoalan ini juga terjadi di industri pertambangan rakyat, terutama emas, yang pencemarannya tak kalah mengkhawatirkan dengan limbah merkurinya.
Walau begitu, justru di sinilah peran pemerintah diuji. Dalam kasus Cinangka, misalnya, pengolahan aki bekas ilegal sudah berlangsung 40 tahun sejak 1978. Menjadi pertanyaan kita, upaya apa saja yang sudah dilakukan pemerintah—pusat maupun daerah—dalam kurun sepanjang itu? Gugatan perlu muncul karena UUD 1945 menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk bertempat tinggal bagi setiap warga negara Indonesia, sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang telah mengupayakan pemulihan lingkungan dengan Proyek Cinangka Clean Up sekitar lima tahun lalu, tetapi kenyataannya belum signifikan mengatasi dampak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar