Inggris dan Uni Eropa semakin serius mempertimbangkan opsi Brexit tanpa kesepakatan menyusul perundingan intens dua kubu yang berakhir buntu.
Sejak pekan lalu tim negosiasi Inggris dan Uni Eropa berunding dengan intens dan tertutup untuk membahas ganjalan di tahap akhir, yaitu isu perbatasan Irlandia Utara. Namun, kerja keras selama hampir 10 hari itu berakhir tanpa kesepakatan. Padahal, hasil kesepakatan pertemuan ini rencananya akan dibahas dalam pertemuan KTT Uni Eropa di Brussels hari Rabu ini. Setelah itu kesepakatan akan dibawa ke parlemen masing- masing untuk diratifikasi.
Pembahasan berkutat pada bagaimana menghindarkan penjagaan di perbatasan (hard border) antara Irlandia Utara (Inggris) dan Republik Irlandia tanpa harus menyinggung kedaulatan Inggris ataupun integritas Uni Eropa.
Hal itu mengacu pada Kesepakatan Damai Jumat Agung yang ditandatangani pada 10 April 1998, yang mengakhiri konflik berdarah selama 30 tahun antara kelompok Republiken (Katolik) yang ingin Irlandia Utara lepas dari Inggris dan bergabung ke Irlandia dan kelompok Loyalis (Protestan) yang pro-Inggris. Konflik ini menelan korban jiwa 3.600 orang, sebagian besar warga sipil. Salah satu mandat penting dari kesepakatan itu adalah tidak ada penjagaan militer di perbatasan.
Namun, selama negosiasi berlangsung, usulan Uni Eropa ditolak Inggris, sebaliknya usulan Inggris ditolak UE. Akhirnya pada Desember 2017 dan Maret lalu kedua pihak sudah menyepakati adanya backstop (semacam kebijakan penyokong). Intinya, bagaimana agar hard border bisa dihindarkan meskipun perundingan Brexit berakhir tanpa kesepakatan.
Namun, kealotan terjadi lagi setelah Inggris beberapa waktu lalu menyatakan bahwa backstop tetap perlu ada masa berlakunya, sementara Uni Eropa (khususnya Irlandia yang ikut menandatangani Kesepakatan Jumat Agung) menginginkan perbatasan tanpa penjagaan berlaku seterusnya.
Perseteruan internal di tubuh Partai Konservatif dan tekanan dari kubu oposisi Partai Buruh membuat ruang gerak Perdana Menteri Theresa May sangat sempit. Hampir setiap kebijakan yang dikeluarkannya langsung dikecam oleh rekan-rekannya pendukung Brexit di Konservatif, yaitu mantan Menteri Luar Negeri Boris Johnson dan kawan-kawan.
Terlebih lagi, kedudukan Konservatif di parlemen juga "pas-pasan" sehingga pembelotan dari dalam akan berdampak sewaktu voting. Pemerintahan PM May saat ini berkoalisi dengan partai ekstrem Irlandia Utara, DUP, sehingga setiap usulan terkait Irlandia Utara harus memperoleh persetujuan DUP. Jika tidak, DUP akan menarik dukungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar