Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, pada fase transisi menuju pemberlakuan kerangka baru pengelolaan desa, pemerintah dibantu para pegiat lembaga swadaya masyarakat saat ini berkutat dengan segala persiapan operasional dan penyusunan regulasi turunan.
Khusus terkait aspek keuangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menargetkan terbitnya peraturan pemerintah (PP) terkait pada bulan Mei. Meski UU tersebut memuat cukup banyak klausul perubahan penting bagi tata kelola desa kelak, ihwal keuangan tampaknya menjadi primadona sekaligus paling krusial untuk menjadi prioritas perhatian.
Pada titik ini, sembari mendorong rampungnya persiapan, semua pihak jangan terus terbawa euforia dan menutup mata atas berbagai perangkap yang berpotensi terjadi.
Tekanan sejumlah elemen agar dana desa dan alokasi dana desa mulai dikucurkan dalam termin Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) pertengahan 2014 ini, misalnya, jelas tidak saja terbilang inkonsisten (UU Desa menetapkan kurun dua tahun bagi penyusunan regulasi), tetapi juga berbahaya lantaran berpotensi mencederai esensi dan instrumentasi kebijakan yang sedang disusun serta merusak sekuensi perubahan dalam manajemen transisi yang kritis ini.
Pertama, UU Desa mencerminkan ambisi politik yang menyisakan kerja-kerja teknokratik yang rumit di belakang hari. Ide dana desa yang diambil dari on top 10 persen transfer daerah muncul dari keyakinan para pembentuk UU akan skema konsolidasi dan integrasi dana kementerian sektoral yang selama ini memiliki program berbasis desa.
Faktanya, hingga hari ini kita belum memiliki data solid nominal pasti dana yang tersebar di tiap kementerian dan gambaran formula realokasi dana-dana tersebut ke satu pintu (berupa dana desa) sebagai titik akses utama pemerintah ke ranah desa. Dugaan kuat yang kini muncul adalah ide konsolidasi fiskal yang menjadi skenario awal tersebut tidak sepenuhnya bisa terwujud dan itu berarti mengambil sumber alokasi baru dalam ceruk belanja di APBN.
Kedua, skema dan formula alokasi dana desa menimbulkan soal pelik: apakah pusat langsung mengalokasikan ke desa (rekening transito daerah) atau hanya membuat formula generik berbasis daerah untuk selanjutnya pemda menetapkan formula tambahan (indeks kemiskinan geografis) dan menetapkan nominal alokasi?
Pilihan pertama (model satu tahap) menuntut pusat bisa menyediakan data spesifik lokal yang relevan dengan kondisi dan variasi 72.944 desa, sementara model kedua mengandaikan diskoneksi desa dengan kabupaten yang justru "diciptakan" UU ini bisa tersambung kembali dalam revisi UU Pemda. Apa pun pilihan modelnya, simulasi manajemen kerjanya menunjukkan sulitnya implementasi yang akurat dan akuntabel dalam hitungan bulan bahkan setahun ke depan.
Ketiga, dalam konteks tata kelola anggaran yang baik, kualitas belanja dan akuntabilitas anggaran menjadi kata kunci. Membangun kapasitas tata kelola dan sistem pertanggungjawaban adalah agenda besar di masa transisi ini. Kalau skenario maksimal diadopsi, tiap desa akan mengelola dana sekitar Rp 1 miliar per tahun. Dana ini sesungguhnya terhitung kecil kalau kapasitas aparat mumpuni dan perencanaan tersusun secara baik.
Selama ini, hanya sedikit desa yang memiliki rekam jejak mengelola uang besar; mayoritas lainnya hanya mengelola puluhan hingga ratusan juta rupiah per tahun. Fasilitasi pusat, apalagi kabupaten, berupa penguatan keahlian dan transfer pengetahuan justru belum terlihat signifikan di tengah kebingungan dan kecemasan menghantui banyak aparat desa.
Pada dimensi pertanggungjawaban, belum ada gambaran perihal sistem dan mekanismenya. Setiap uang negara yang diperoleh maupun dibelanjakan tentu harus dipertanggungjawabkan (UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 15 Tahun 2004). Namun, mengaudit 72.000 laporan keuangan pemerintah desa jelas terasa muskil bagi Badan Pemeriksa Keuangan yang terbatas personelnya.
Peranti pemeriksaan juga sulit dibebankan kepada Badan Pengawas Daerah (Bawasda)/inspektorat lantaran basis otoritas yang terputus dan kapasitas lembaga itu sendiri yang amat lemah, bahkan untuk melakukan pengendalian internal di level pemda selama ini. Skenario di depan mata adalah proses trial and error dan toleransi/pembiaran "terencana" atas segala risiko yang ada.
Mengelola transisi
Kita tak berkehendak memutar kembali jarum jam perubahan. UU Nomor 6 Tahun 20014 merupakan terobosan politik dan memuat ideal-ideal penting bagi kerangka baru pembaruan desa ke depan. Justru guna merealisasi semua itu, kita mesti optimal menyiapkan segalanya. Politisi, bahkan di musim politik ini, tak patut terus mengumbar ambisinya, termasuk memasang target atau mendesakkan kepentingannya.
Kalau pada kasus otonomi dibutuhkan dua tahun bagi transisi pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999, kurun waktu yang realistis jelas lebih diperlukan bagi UU Desa yang membawa magnitud perubahan besar di tengah kompleksitas masalah dan ketidaksiapan yang akut.
Hemat saya, pemerintah perlu berkonsensus dan mendesain kerangka kerja berbeda antara fase transisi dan implementasi efektif. Pertama, keberlakuan transisional dihitung sejak persiapan operasional dan regulasi utama tersedia. Pada fase ini, prasyarat minimum terkait kapasitas tata kelola anggaran dan sistem akuntabilitas mulai terbaca peta jejaknya, setidaknya di sejumlah desa percontohan yang ditetapkan terlebih dulu.
Kedua, keberlakuan transisional diberlakukan sejak tataran kebijakan (PP), terutama ihwal penahapan persentase realokasi dana desa (5-7 persen di fase transisi, 10 persen di fase implementasi efektif), penetapan formula dan skema transfer (dua tahap di fase transisi, satu tahap di fase implementasi efektif), serta pertanggungjawaban (pelaporan berkala dan sistem pengendalian internal di fase transisi, pemeriksaan atau audit di fase implementasi efektif).
Ketiga, di masa transisi ini, pemerintah semestinya mengadopsi manajemen kerja transisi pula. Pada level kabupaten hingga kecamatan, misalnya, perlu dibentuk gugus-gugus tugas/ fungsional. Tim manajemen transisi ini bertujuan (1) resume sumber daya (keahlian) aktivis/ profesional yang selama ini giat dalam pembangunan desa, termasuk fasilitator/konsultan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat; (2) memberi prioritas tunggal bagi agenda penguatan tata kelola desa—sesuatu yang sulit diserahkan kepada aparat birokrasi kabupaten yang sudah terbeban rutinitas, gampang kehilangan fokus, dan terjebak langgam kerja birokratis.
Skala perubahan yang diusung beleid desa ini terlalu besar sekaligus berbahaya jika hanya dikelola dengan pola kerja biasa, di tengah desakan politik yang kencang hari-hari ini.
Berulang fakta menunjukkan, kegagalan dalam mengelola suatu muatan perubahan ke tingkat realisasi tidak saja menjerat kita tak bergerak ke mana-mana, tetapi juga menghadirkan lingkungan persoalan baru. Bumerang demikian bisa saja terjadi di desa kelak: alih-alih gagasan kemajuan mewujud dalam semesta desa, justru petaka membayang: "Jaksa masuk Desa" memeriksa korupsi, inefisiensi dan belanja tak berkualitas, bahkan kegagalan pembangunan itu sendiri. Semua ini tak boleh terjadi.
Robert Endi Jaweng,
Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006230576
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar