Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 25 Juli 2014

Takwa Sosial (Fathorrahman)

DALAM semua rangkaian ibadah, termasuk ibadah puasa Ramadhan, takwa jadi sebuah tujuan utama yang selalu dikedepankan.
Sebagaimana dalam firman Allah, kewajiban puasa yang diperuntukkan bagi umat Islam dan umat sebelumnya adalah dalam rangka bertakwa. Bahkan, di ayat-ayat lain, takwa jadi sebuah identitas pembeda kemuliaan manusia di sisi Allah yang tak terjebak pada nilai-nilai materialisme dan pragmatisme.

Tak cukup berhenti di situ, takwa pun jadi modalitas untuk memenuhi sebuah harapan sebagaimana yang Dia janjikan: barang siapa yang bertakwa, pertama, akan ditunjukkan jalan keluar dari setiap permasalahan dan diberikan kemurahan rezeki. Kedua, akan diberikan kemudahan dalam setiap urusan. Ketiga, akan diampuni kesalahan-kesalahan sekaligus dilipatgandakan pahalanya.

Pertanyaannya, mengapa takwa jadi the ultimate concern—meminjam istilah Paul Tillich—yang banyak ditegaskan dalam Al Quran? Bagaimana menjelaskan takwa dengan utuh? Pada titik inilah takwa perlu dikaji lebih mendalam agar bisa dipahami dan dijangkau siapa pun dan dalam keadaan apa pun. Takwa tak sekadar gugusan konsep eskatologis yang abstrak yang sebenarnya menyimpan energi pencerahan dalam hidup manusia.

Merujuk kepada Imam Ghazali, takwa adalah kesediaan melaksanakan semua yang jadi perintah-Nya dan ketulusan menjauhkan dari semua yang jadi larangan-Nya. Dengan kata lain, senapas dengan definisi Ghazali, takwa menyiratkan makna amar ma'ruf yang beraksentuasi kepada cara humanitarian mengajak kepada kebaikan yang bermanfaat sekaligus menyiratkan makna nahi munkar yang mengarah kepada upaya pembebasan manusia dari jebakan kelemahan, kesalahan, dan kecerobohan (Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi).

Dalam kaitan ini, amar ma'ruf berhubungan erat dengan ajaran sosial yang meniscayakan sikap peduli dan simbiosis-mutualis dalam menggunakan kebaikan untuk kepentingan bersama.

Antara satu dan yang lain bisa saling merasakan manfaat kebaikan memenuhi hajat kehidupan banyak orang. Nahi munkar berhubungan erat dengan ajaran kultural yang menganjurkan sikap saling mengingatkan untuk tak terjebak pada tindakan yang bertentangan dengan norma sosial sekaligus mengantisipasi setiap potensi yang dapat mengarah kepada defisit kebenaran dan kebajikan.

Dengan demikian, amar ma'ruf dan nahi munkar menegaskan konsep interelasi yang komplementer, antara satu sisi dan lainnya memberi peluang berproses sebagai manusia yang ingin mencapai kebenaran dan jadi tantangan berproses sebagai manusia yang saling mengendalikan dan membenahi diri dari setiap keburukan (Michael Cook, Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought).

Menyikapi takwa
Dalam konteks sosial, ketika amar ma'ruf dan nahi munkar menjadi basis penjelasan konsep takwa yang memberdayakan kepada kebajikan dan membebaskan dari keburukan, ada dua dimensi yang perlu disikapi secara proporsional. Pertama, takwa defensif berkaitan dengan cara refleksi dan eksplorasi diri menjalankan setiap ajaran teologis yang diyakini sebagai sarana kedekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Shalat jadi peribadatan mengakui keagungan Allah, puasa jadi peribadatan meneguhkan keimanan dan ketulusan kita kepada-Nya, dan bentuk peribadatan lain yang dijalankan untuk memenuhi ketaatan kita sebagai hamba yang harus selalu bersyukur atas segala karunia-Nya.

Meski demikian, proses mendekatkan diri ini membutuhkan perangkat pengetahuan yang bisa menunjang keberlangsungan sebuah peribadatan. Misalnya, pengetahuan kita tentang kondisi alam, sosial, kultur, dan semacamnya yang semuanya dapat memengaruhi cara beribadah sehingga, bisa jadi, beribadah dengan kondisi yang berbeda-beda akan melahirkan ekspresi peribadatan yang beragam. Tak berarti bahwa perbedaan itu menafikan kedekatan setiap orang kepada Allah. Maka, tidak patut apabila suatu perbedaan cara beribadah yang itu bersifat furu'iyah lalu dihakimi sebagai labelitas takfiriyah seperti bidah, sesat, dan semacamnya.

Kedua, takwa ofensif berkaitan dengan cara implementasi dan improvisasi nilai filosofis dan sosiologis sebuah peribadatan ke dalam dunia realitas dengan pola gerak yang fleksibel dan dinamis sehingga setiap pesan ilahiah yang terkandung dalam sistem peribadatan dapat dikembangkan ke dalam dunia realitas untuk merespons setiap perubahan sosial dan perkembangan zaman sekaligus mengatasi setiap persoalan yang muncul dengan cara yang arif nan bijaksana.

Dalam kaitan ini, takwa ofensif jadi strategi keberagamaan untuk menyebarkan nilai luhur yang sarat dengan semangat toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth), seimbang (tawazun), dan berkeadilan (ta'adul). Manakala berhadapan dengan problem kemanusiaan dan problem lainnya, kita bisa menarik makna takwa ke level yang lebih empiris: instrumen pemberdayaan masyarakat yang beradab dan pembebasan manusia dari kemungkaran.

Bertakwa humanis
Baru-baru ini kita mengalami situasi sosial yang sangat sensitif dengan titik didih sangat kulminatif. Setiap orang sangat peka dan mudah tersinggung oleh sebuah angka yang simbolik merepresentasikan preferensinya kepada salah satu capres pilihannya. Diperlukan kesadaran humanis untuk menyikapi suasana yang serba rentan itu.

Beberapa nilai luhur seperti tasamuh diperlukan sebagai pijakan semua pihak pendukung untuk saling menghargai setiap keputusan yang diambil KPU untuk menyatakan pasangan capres yang paling banyak meraih perolehan suara secara hitung riil. Tawasuth diperlukan bagi setiap pejabat negara seperti presiden, TNI, Polri, menteri, dan semacamnya untuk menegaskan posisinya yang tak condong kepada salah satu pihak supaya masing-masing tak saling curiga.

Tawazun diperlukan bagi setiap media cetak, elektronik, sosial, dan bentuk informan lainnya untuk memberikan layanan berita secara jujur dan tak berlebihan supaya masyarakat memperoleh pengetahuan yang obyektif, jujur, dan transparan. Ta'adul adalah semangat yang harus diambil dan dilakukan presiden terpilih pada masa akan datang supaya berbagai janji dan harapan yang disampaikan kepada masyarakat terlaksana dengan baik. 

Apabila nilai-nilai ini dilakukan, suasana ibadah puasa kita akan berjalan dengan penuh keimanan dan ketulusan, masa pilpres yang sudah diawali dengan tenang bisa berakhir dengan damai, dan pada gilirannya negeri ini akan jadi negara gemah ripah loh jinawi. Pada konteks ini takwa harus dipahami dan dijalankan.

Fathorrahman
Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; A'wan Syuriyah PW NU Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007966801
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger