Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 22 Agustus 2014

Pemimpin dan Pemberantasan Korupsi (Laode Ida)

KECENDERUNGAN  meningkatnya praktik korupsi dalam dua tahun terakhir merupakan berita menarik sekaligus memprihatinkan.
Gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), didukung pemberitaan media massa yang begitu gencar, ternyata tak membuat "rasa takut" para pejabat politik dan atau aparat penyelenggara negara dari godaan untuk menggerus uang rakyat. Sebaliknya, kerakusan sebagian elite yang diberi kesempatan berkuasa dan atau mengendalikan administrasi keuangan negara itu justru semakin meluas.

Jika jujur diakui, sebenarnya kasus-kasus korupsi yang sudah dan tengah diproses KPK dan kejaksaan hanya sebagian kecil dari fakta lapangan yang sesungguhnya terjadi. Setiap jajaran pemerintah daerah otonom dan atau setiap instansi pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), andai mau menelisiknya lebih jauh, bisa dipastikan tak akan ada  yang luput dari praktik kotor itu. Laporan masyarakat (termasuk yang disalurkan melalui DPD) tentang dugaan korupsi yang disampaikan ke KPK saja konon sudah lebih dari 60.000 kasus. Namun, dengan alasan keterbatasan sumber daya, yang ditangani hanyalah kasus-kasus tertentu.

Begitulah fenomena perilaku korup dan fakta pemberantasan korupsi di negeri ini. Praktik korupsi sudah demikian masif, jauh lebih parah ketimbang era Orde Baru. Pelakunya pun sebagian besar generasi era reformasi atau yang beruntung memperoleh jabatan dan kekuasaan pada era reformasi ini, termasuk yang ikut berjuang menjatuhkan Soeharto. Sungguh ironis!

Pertanyaannya kemudian, apakah bangsa ini akan terus dibiarkan terjebak di tangan para koruptor dan kita hanya mampu menggerutu, sementara mereka terus saja jadi lintah pengisap harta bangsa? Sebagai warga bangsa yang waras, kecenderungan kondisional seperti itu tentu tak boleh terus dibiarkan berlanjut. Harus ada cara baru yang secara metodis-sistematis dilakukan oleh kepemimpinan negara/daerah yang berani mengambil risiko. Bagaimana caranya?

Tiga langkah
Pertama, pemberantasan korupsi harus memberdayakan elemen negara yang tugas pokok dan fungsinya untuk itu. Tentu saja KPK harus diapresiasi tinggi atas kinerjanya. Namun, dengan masifnya praktik korupsi, niscaya tak akan bisa ditangani hanya dengan mengharapkan peran maksimal KPK dengan sumber daya yang terbatas itu. Apalagi  original intent-nya hanya merupakan lembaga ad hoc, temporer, untuk menangani kasus-kasus korupsi tertentu berskala besar.

Sementara  negara terus saja membiayai jajaran kejaksaan dan kepolisian sampai ke seluruh pelosok negeri ini, di mana salah satu kewajiban atau tugas pokoknya adalah memberantas korupsi. Pemborosan? Ya, sudah pasti. Padahal, kalau saja pihak kejaksaan dan kepolisian menjalankan mandatnya itu melalui strategi preventif dan kuratif, tentu mereka akan mampu secara signifikan menekan praktik dan perilaku korup para pejabat, terutama di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan KPK.

Kedua, jika sudah diakui perilaku korup dan praktik korupsi merupakan bagian dari produk sistem politik berbiaya tinggi pada era demokrasi, yang perlu dilakukan adalah revolusi sistemik di mana negara harus campur tangan. Negara tak boleh membiarkan parpol jadi perusak moralitas rakyat. Tak boleh pula menjadikan demokrasi sebagai "kambing hitam" seraya berbalik mundur ke arah sistem dan nilai yang tak demokratis, karena itu berarti merampas kembali hak ratusan juta rakyat bangsa ini.

Rakyat tak bersalah. Sebaliknya para elite di parpollah yang harus dikoreksi, seraya memastikan langkah konkret untuk menghadirkan parpol yang bersih. Dan itu harus terkait dengan pencucian diri figur-figur kotor di dalamnya. Pada saat yang sama, perlu juga dipertimbangkan agar negara memberikan biaya memadai kepada parpol, termasuk menerapkan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan administrasi keuangannya.

Ketiga, dalam kaitan yang pertama dan kedua di atas, posisi, komitmen, dan keinginan politik pimpinan negara akan sangat menentukan. Kepala negara, dalam konteks ini, harus bertindak sebagai "panglima pemberantasan korupsi" yang mengomandoi seraya memastikan jajaran kejaksaan dan kepolisian untuk bekerja maksimal. Pimpinan kejaksaan dan kepolisian akan jadi penentu gerakan aparat di bawahnya atau di daerah-daerah.

Kinerja aparat di jajaran  kejaksaan dan kepolisian harus ditandai dengan maraknya pemberantasan korupsi di berbagai daerah, yang di titik tertentu secara bertahap akan menjadikan jajaran pemerintahan di daerah baik dan bersih. Pada saat yang sama, kepala negara atau kepala pemerintahan pun harus secara proaktif mengidentifikasi dan memproses hukum para pembantu, bawahan, dan termasuk kepala daerah yang sudah terindikasi korupsi tak boleh membiarkan tetap bertahan pada jabatan seperti sekarang ini.   

Gerakan pemimpin negara seperti itu memang perlu keberanian. Tak boleh lagi ada alasan bahwa hal itu merupakan ranah penegak hukum saja dan tak boleh dicampuri pihak lain, termasuk presiden. Sebab, jika tidak berani bertindak yang dimulai dari ketegasan pimpinan negara, pada masa-masa yang akan datang justru praktik korupsi akan kian merebak luas hingga ke desa. Soalnya, mulai 2015 sudah akan digelontorkan dana untuk desa sebagai implementasi UU tentang Desa, di mana alokasi dana desa akan jadi kewenangan penuh pemerintahan desa.

Laode Ida
Wakil Ketua DPD

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008411698
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger