Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 02 Agustus 2014

TAJUK: Dilema Pembatasan BBM Bersubsidi (Kompas)

Kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi per 1 Agustus banyak disoroti terkait sosialisasi yang mendadak dan efektivitasnya.
Seperti dilaporkan harian ini, per 1 Agustus 2014, BPH Migas menghentikan penyaluran solar bersubsidi bagi wilayah Jakarta Pusat. Mulai 2 Agustus 2014, penjualan solar bersubsidi untuk Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Bali juga dibatasi pukul 08.00-18.00. Jatah solar bersubsidi untuk nelayan juga dipangkas 20 persen mulai 4 Agustus.

Kebijakan diberlakukan saat masyarakat masih sibuk dengan liburan Lebaran. Sosialisasi pun terkesan sangat mendadak, sehingga bukan hanya konsumen, banyak petugas di lapangan bahkan tak tahu ada kebijakan baru ini.

Terlepas dari tujuan positif yang ingin dicapai, langkah kurang sosialisasi dalam implementasi akan memunculkan kebingungan dan masalah baru di lapangan. Efektivitas pembatasan sendiri dipertanyakan karena cakupan wilayah yang terbatas. Masyarakat masih bisa menyiasati dengan membeli di luar Jakarta Pusat dan rest area di jalan tol.

Demikian pula pembatasan waktu penjualan. Jika tidak diantisipasi, hal itu bisa memunculkan antrean panjang dan menyusahkan masyarakat. Hal lain yang juga menjadi masalah adalah pengawasan di lapangan. Di sini pentingnya evaluasi dari waktu ke waktu dampak di lapangan. Jangan sampai pembatasan justru kontraproduktif bagi perekonomian dan memunculkan masalah baru di lapangan.

Langkah pembatasan melalui berbagai cara sebenarnya pernah diwacanakan dan diujicobakan. Namun, hal itu tak berlanjut karena berbagai kendala dalam implementasi akibat kurangnya komitmen dan ketidaksiapan sistem dan infrastruktur di lapangan.

Dengan total subsidi energi Rp 350 triliun lebih—Rp 285 triliun di antaranya subsidi BBM—keberadaan subsidi sudah menjadi kanker bagi perekonomian. Terus meningkatnya konsumsi BBM membuat impor minyak mentah/BBM terus membengkak sehingga menekan neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan serta rupiah.

Tanpa adanya upaya pengendalian, pembiayaan subsidi akan mengancam pertumbuhan serta kian mempersempit ruang fiskal bagi pembiayaan pembangunan dan pemberantasan kemiskinan. Persoalannya, selama ini pemerintah maju mundur menunda mengambil langkah menaikkan harga BBM sehingga subsidi membengkak mencapai hampir 20 persen dari volume APBN.

Keberanian mengambil langkah berani menjadi kunci menjamin struktur perekonomian yang lebih sehat ke depan. Pemerintah baru harus bisa meyakinkan, tanpa ditempuhnya langkah ini, perekonomian akan terus terbebani subsidi yang sudah jelas tidak tepat sasaran dan menyandera berbagai program untuk peningkatan kesejahteraan. Agar tak memberatkan, langkah menaikkan secara bertahap hingga mencapai harga keekonomian.

Langkah pembatasan tetap bisa diteruskan dengan melanjutkan program-program yang sudah dimulai, yang sudah menelan investasi dalam jumlah besar. Demikian pula konversi energi yang tak boleh ditunda-tunda lagi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008128026
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger