Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 20 September 2014

Belajar dari K-Pop (Franki Raden)

DALAM  dunia musik klasik, Korea sudah sejak lama memantapkan reputasi internasional mereka. Nama-nama seperti Kyung Wa-chung (pemain biola) dan Isang Yun (komponis) adalah bagian dari deretan pemusik klasik kelas dunia.
Namun, masyarakat dunia baru terperangah ketika tiba-tiba muncul fenomena K-Pop. Siapa yang membayangkan sebelumnya bahwa para remaja Korea dapat meniru budaya musik Afrika-Amerika sedemikian baik dan menjualnya kembali ke pasar global dengan merek K-Pop?

"Giliran yang tertindas berbicara!" Ini adalah sebuah teori pasca kolonial yang menjelaskan mengapa fenomena itu dapat muncul dalam konteks hegemoni budaya Barat. Banyak teori sebelumnya mengatakan bahwa masyarakat yang dahulu tertindas atau terjajah (Asia atau Afrika) hanya dapat mengonsumsi dan meniru produk budaya dari negara penindas (Barat) tanpa daya kritis sama sekali.

Munculnya fenomena K-Pop serta-merta membantah teori-teori ini. Oleh sebab itu, saya merasa sangat penting meninjau dinamika sosial-budaya dan politik-ekonomi di Korea yang menjadi konteks dari lahirnya fenomena ini, terutama untuk keperluan memahami strategi ekonomi kreatif mereka lebih mendalam.

Setelah kunjungan yang kedua kali, saya dapat melihat bahwa Korea telah berhasil menciptakan infrastruktur dan mekanisme yang membuat kehidupan musik di negeri mereka berjalan dengan baik. Sebelum menciptakan infrastruktur dan mekanisme itu, Korea telah berhasil menanamkan kesadaran akan pentingnya musik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Akibatnya, konsumsi musik di Korea sangat tinggi, baik untuk musik tradisional, pop, rock, jazz, maupun klasik.

Konsumsi ini berjalan melalui berbagai macam saluran, termasuk sekolah musik, pertunjukan, CD dan DVD, serta media elektronik seperti radio dan TV. Melalui pelbagai media ini masyarakat dapat belajar, mendengarkan, dan menonton pertunjukan semua jenis musik tadi.  Ini berarti, semua jenis musik itu memiliki pasar tersendiri di Korea. Dus semua anggota masyarakat  di sana memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, mendengarkan, dan menonton produk lokal yang terbaik untuk semua jenis musik seperti tradisional, pop, rock, jazz, dan klasik.

Hal logis
Dengan tingginya tingkat konsumsi musik di dalam negeri, adalah hal logis jika Korea berhasil mengembangkan industri pembuatan alat musik dan mengekspornya dengan menggunakan merek sendiri seperti Kawai. Yang membuat Kawai dapat bersaing dengan merek alat musik dari negara yang sudah lebih maju seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat adalah di dalam negeri sendiri tuntutan masyarakat akan kualitas produk musik lokal sudah sangat tinggi.

Jadi, K-Pop sebenarnya hanyalah sebuah "ujung dari gunung es yang muncul di permukaan". K-Pop memang fenomenal, tetapi hanya menceritakan bagian kecil dari bagaimana proses dunia musik Korea bergerak mencapai posisi sebagai salah satu negara yang dominan dalam industri musik internasional dewasa ini. Dus K-Pop hanyalah awal dari ekspansi besar-besaran dunia musik Korea ke pasar global yang akan terjadi dalam waktu dekat ini. Masih banyak lagi yang akan muncul setelah K-Pop. Pemerintah, dunia musik, dan masyarakat Korea sangat sadar akan kemampuan mereka ini dan bahu-membahu bekerja sama untuk mencapai target itu.

Dengan adanya tingkat konsumsi dan tentu juga apresiasi dalam negeri yang sangat tinggi ini di Korea, muncul beberapa festival musik besar yang berkelas dunia. Di antaranya Jarasum International Jazz Festival (Gapyeong), Gwangju World Music Festival (Gwangju), dan Jeonju International Sori Festival (Jeonju). Ketiga festival ini diselenggarakan di kota kecil, tetapi pengunjungnya bisa ratusan ribu orang.

Cerita sukses yang terbaik dari penyelenggaraan festival musik ini adalah Jarasum International Jazz Festival di kota Gapyeong yang terletak satu jam dari Seoul. Ketika Jae-jin In menggagas festival ini 10 tahun lalu, masyarakat menganggapnya gila karena "Pulau Kura-kura" di tengah sungai ini selalu banjir jika datang hujan. Setelah festival ini sukses dan besar, pemerintah pusat dan daerah tiba-tiba membangun kota ini menjadi daerah tujuan wisata lengkap dengan fasilitas jalur kereta api dan jalan tol menuju ke sana.

Dewasa ini Jarasum Internasional Jazz Festival mampu mendatangkan 250.000 turis setiap tahun ke kota Gapyeong. Festival ini juga meletakkan  Korea dalam posisi yang sangat diperhitungkan di dunia jazz internasional. Pada gilirannya posisi ini mendatangkan dampak yang besar bagi perkembangan sektor industri kreatif di Korea.

Pusat budaya Asia
Kota lainnya yang bernama Gwangju juga telah ditunjukkan oleh Pemerintah Korea memiliki peran penting dalam kancah world music internasional, terutama untuk wilayah Asia. Setelah sukses dengan Jarasum International Jazz Festival-nya, Jae-jin In diminta oleh Pemerintah Korea untuk menyelenggarakan Gwangju World Music Festival yang berskala hampir sama dengan Jarasum International Jazz Festival.

Di samping itu, kota ini juga baru saja selesai membangun Pusat Kebudayaan Asia yang sangat monumental. Agenda politis dari proyek ini sangat jelas: menjadikan Korea sebagai poros budaya di Benua Asia. Salah satu cara mereka adalah membentuk sebuah orkestra yang menggunakan alat-alat musik dari seluruh negara di Asia. Jika peran ini berhasil diraih, dampaknya akan sangat besar bagi strategi politik ekonomi dan ekonomi kreatif Korea.

Dus Korea memberikan contoh yang baik, yaitu jika ingin membangun sesuatu harus dimulai dengan membangun sebuah dasar yang kukuh. Ini yang harus kita pahami sebagai negara dunia ketiga yang selalu hanya mampu meniru produk-produk yang sudah jadi. Jika kita ingin membangun industri kreatif di negeri ini dan mau melahirkan produk industri kreatif yang berkualitas, kita harus mulai dari bawah, yaitu (1) menciptakan kesadaran masyarakat akan pentingnya industri kreatif dalam hidup mereka sehari-hari; (2) meningkatkan kebutuhan akan produk industri kreatif dalam masyarakat; (3) membangun lembaga-lembaga pendidikan yang bermutu untuk bidang industri kreatif di seluruh negeri; dan (4) mendorong masyarakat untuk mengonsumsi produk-produk industri kreatif yang bermutu, baik dalam bidang kerajinan, fashion, musik, tari, teater, seni rupa, new media, film, dan sebagainya.

Mungkin tidak ada salahnya meniru produk industri kreatif di negeri Barat seperti halnya yang dilakukan Korea, tetapi itu harus dilandasi oleh tujuan untuk secara cepat dapat menciptakan infrastruktur dan lembaga yang bisa menggerakkan roda mekanisme kehidupan industri kreatif di seluruh negeri ini. Itulah sebenarnya peran penting yang dijalankan oleh K-Pop. Industri musik Korea tidak hanya meniru produk budaya musik Afrika-Amerika, tetapi mereka dapat menjual kembali produk itu ke negara asalnya di Amerika dan negara-negara lain yang keseluruhan nilai pasarnya mencapai 80 miliar dollar AS. Dus, "giliran yang tertindas berbicara!"

Franki Raden Musikus

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008909598
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger