Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 03 September 2014

Membumikan Visi Kelautandan Perikanan Presiden Terpilih (Syamsul Rizal)

DENGAN jumlah lebih dari 17.500 pulau, luas perairan sekitar 8,8 juta kilometer persegi, dan panjang garis pantai  hampir 100.000 kilometer, sungguh perairan Indonesia merupakan anugerah yang tak ternilai harganya.
Oleh karena itu, sangat wajar jika visi utama presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, harus didukung, didiskusikan, dan dicarikan solusi yang terbaik.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), besaran potensi hasil laut dan perikanan kita mencapai Rp 3.000 triliun per tahun, sedangkan yang sudah dimanfaatkan Rp 225 triliun atau sekitar 7,5 persen.

Untuk saat ini, harus diakui bahwa pendapatan bisnis (nilai tambah) produk perikanan Thailand dan Vietnam berhasil mengalahkan kita. Mengingat akhir tahun depan Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah diberlakukan, tantangan kita akan semakin berat.

Lima masalah utama
Saya berpendapat, ada lima masalah utama yang dihadapi sektor perikanan (tangkap) kita. Pertama, pada sektor penangkapan kita tidak fokus. Ukuran kapal dan teknologi kita masih kalah. Di samping itu, kita belum memanfaatkan luasnya lautan kita sebagai potensi yang harus kita eksplorasi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Semua yang dilakukan terjadi dengan arah dan kecepatan yang berbeda-beda:  tidak ada arah dan tidak ada koordinasi. Kehadiran pemerintah di tengah-tengah nelayan kurang terasa.

Kedua, menurut KKP, konsumsi ikan secara nasional masih rendah. Namun, untuk menggenjot konsumsi nasional dari 35,62 kg per kapita saat ini agar mendekati 40 kg per kapita saja rasanya berat sekali. Sebagai pembanding, tingkat konsumsi ikan Malaysia mencapai 56,1 kg per kapita.

Guna menggenjot konsumsi nasional ini, kita pun terkendala kualitas ikan yang kita makan. Terlalu banyak kasus ikan laut Indonesia diawetkan dengan formalin. Kasus ini membuat rakyat Indonesia merasa sangat khawatir untuk mengonsumsi ikan. Pemerintah pun tidak bisa dan tampaknya menyerah serta pasrah untuk menyelesaikan kasus ini. Akibatnya, walaupun ikan dikonsumsi, masyarakat mengonsumsinya dengan penuh keraguan.

Ketiga, masalah keberadaan ikan yang semakin jauh dari bibir pantai. Ini mengakibatkan nelayan-nelayan kecil, dengan armada yang kecil pula, semakin sulit mengais rezeki di laut.

Keempat, pencurian besar-besaran potensi ikan di laut Indonesia. Harus kita akui, pencurian ikan yang dilakukan dengan cara cepat dan dengan kapal yang berteknologi lebih tinggi telah sangat merugikan Indonesia. Selama ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah seperti tidak bisa berbuat apa pun terhadap ancaman ini. Menurut KKP, Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp 30 triliun setiap tahun.

Kelima, terkait dengan dunia penelitian serta pendidikan kelautan dan perikanan, harus kita akui bahwa tidak semua provinsi yang berbatasan dengan laut mempunyai fakultas kelautan dan perikanan (FKP). Di samping itu, kalaupun ada, fasilitas untuk melakukan penelitian di laut lepas sangat terbatas. Jarang sekali FKP dari satu universitas mempunyai kapal penelitian.
Kalaupun berhasil dilakukan pengadaannya, hal itu akan sangat sulit melakukan pemeliharaannya.

Tampaknya pemerintah baru ke depan harus melakukan terobosan yang berani. Kapal-kapal penangkap ikan berbobot mati di atas 1.000 gross ton (GT) harus dioperasikan di Indonesia dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Pemerintah atau BUMN yang ada atau BUMN baru yang dibentuk harus mengelola kapal-kapal besar yang berinvestasi tinggi ini.

Idealnya, setiap provinsi yang berbatasan dengan laut harus punya satu kapal besar dan beberapa kapal yang di bawah ukuran tersebut, tetapi tetap yang modern. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhannya.

Lalu, apa tugas kapal-kapal besar dan modern ini? Pertama, tentu untuk menangkap ikan. Dengan daya jelajahnya yang tinggi, kita berharap akan banyak ikan yang dapat ditangkap. Kedua, sambil menangkap ikan, kapal juga melakukan patroli untuk mencegah pencurian ikan. Sebagian kapal besar yang modern ini juga berlayar antarprovinsi sambil mengangkut hasil bumi di darat dari satu provinsi yang komponen hasil buminya surplus ke provinsi lain yang komponen hasil buminya minus.

Lalu, siapa menjadi awak kapal besar ini? Harus ada tiga komponen yang mengisi kapal besar ini. Pertama, tentu saja nelayan. Nelayan yang secara fisik dan psikologis memenuhi syarat, setelah diberi pelatihan, dilibatkan sebagai awak kapal. Sementara yang tidak tertampung sebagai awak kapal dilibatkan dalam industri perikanan, yang dibangun secara modern pula.

Kedua, karena kapal melakukan tugas patroli juga, harus ada TNI AL di dalam kapal besar ini. Ketiga, dosen dan mahasiswa FKP di setiap universitas yang berbatasan dengan laut juga bisa ikut menikmati fasilitas penelitian dan pendidikan di atas kapal besar yang modern ini.

Efek yang terjadi
Karena ada tiga komponen yang hadir di geladak kapal, transparansi (jumlah tangkapan dan lain-lain) akan terjamin. Selain itu, hasil tangkapan yang dibawa ke darat pun akan bebas dari zat pengawet formalin.

Kalau ini semua bisa terjadi sesuai dengan rencana, hasil lima masalah utama yang dikemukakan otomatis akan terselesaikan. Di samping itu, karena tangkapan ikan diperoleh dengan sangat melimpah, industri perikanan di darat akan mengalami pertumbuhan juga. Ini akan menyerap tenaga kerja yang banyak sehingga semua nelayan bisa memperoleh penghasilan yang tetap.

Karena hasil bumi juga diangkut ke setiap provinsi yang berbatasan dengan laut, kinerja sektor pertanian dan perkebunan, juga sektor-sektor terkait lain, akan ikut terdongkrak. Bersamaan dengan itu, dunia penelitian dan pendidikan kelautan dan perikanan di Indonesia akan menjadi sangat semarak.

Syamsul Rizal
Guru Besar pada Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008660193
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger