Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 19 September 2014

TAJUK RENCANA: Berulangnya Kebakaran Lahan (Kompas)

SETIAP kali kemarau tiba, kebakaran lahan dan hutan terjadi. Ancaman hukuman terhadap penyebab kebakaran seperti tak bergigi.
Memasuki Agustus dan September, asap akibat kebakaran lahan dan hutan semakin mengancam kesehatan warga serta lalu lintas pelayaran dan penerbangan di sebagian Sumatera dan Kalimantan. Tidak hanya mengganggu kesehatan dan kegiatan warga, asap yang ditimbulkan pun mengganggu negara tetangga. Singapura dan Malaysia berulang kali mengeluhkan polusi asap membahayakan kesehatan warga kedua negara tersebut.

Kebakaran lahan dan hutan dapat disebabkan alam, tetapi juga dapat disebabkan oleh perbuatan manusia. Kemarau menyebabkan daun dan ranting kering terbakar ketika bergesekan. Ini sulit dihindari karena banyak lahan tidak lagi ditutupi tegakan hutan.

Yang dapat dihindari adalah kebakaran karena perbuatan manusia. Ketika perladangan berpindah masih dipraktikkan, para peladang membuka lahan dengan membakar tebangan pohon. Namun, mereka pasti sangat berhati-hati karena di sanalah mereka tinggal.

Kebakaran lahan dan hutan menjadi perhatian luas setelah hutan mulai berubah menjadi perkebunan komersial. Di Riau, pembukaan perkebunan sawit oleh masyarakat kerap dilakukan dengan membakar sisa tegakan karena lebih cepat dan biaya yang rendah. Padahal, dampak lebih luas harus ditanggung lebih banyak orang.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada telekonferensi Maret lalu memperlihatkan kegusarannya terhadap kebakaran lahan dan hutan di Riau yang terjadi berulang akibat ulah manusia. Toh kebakaran terus berulang. Jumlah titik api di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mencapai 19.656 titik sejak 1 Januari hingga 16 September atau 97 persen dari semua titik api di Indonesia. Sebanyak 73 persen titik api di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berada di luar hutan dan sisanya di hutan.

Kerugian diperkirakan Rp 20 triliun karena mengganggu kesehatan dan menurunkan produktivitas kerja, menghambat aktivitas ekonomi, dan merusak lingkungan.

Bencana asap yang berulang setiap tahun menyebabkan ASEAN menyepakati ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, berlaku resmi 25 November 2003. Indonesia meratifikasi kesepakatan itu menjadi undang-undang pada 16 September lalu.

Dengan meratifikasi kesepakatan tersebut, itu berarti Indonesia telah terikat pada kesepakatan internasional untuk bertindak lebih tegas menangani pembakar lahan dan hutan.

Masyarakat internasional dapat menuntut penggantian apabila terbukti ada kerugian ekonomi. Dalam kompetisi global, isu lingkungan, termasuk kebakaran lahan dan hutan, menjadi alat untuk menghambat produk ekspor. Sangat disayangkan apabila kepatuhan kita melaksanakan aturan hukum, ditentukan oleh dunia internasional, bukan karena kesadaran dari dalam diri sendiri.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008964797
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger