Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 20 September 2014

TAJUK RENCANA: Jebakan BBM dan Nilai Tukar Rupiah (Kompas)

PELEMAHAN  nilai tukar rupiah terus membayangi dan diperkirakan masih menghantui perekonomian Indonesia sepanjang tahun ini.
Faktor eksternal, khususnya terkait kebijakan normalisasi stimulus di Amerika Serikat, dan faktor dalam negeri, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan ketergantungan pada pasar spot valas, ikut menyumbang tertekannya rupiah. Tekanan terhadap rupiah ke depan diperkirakan masih terjadi, terutama dengan kondisi defisit transaksi berjalan yang masih berat, pembengkakan utang luar negeri (khususnya swasta), dan kebutuhan impor bahan bakar minyak yang besar—terutama dengan melonjaknya konsumsi sehingga kuota BBM bersubsidi jebol.

Sejauh ini, baik pemerintah maupun Bank Indonesia cenderung tak terlalu reaktif menyikapi pelemahan rupiah yang pekan ini sempat Rp 12.000 per dollar AS. Alasannya, pelemahan mata uang merupakan gejala global yang terkait langkah AS mengurangi stimulus moneter. Membaiknya perekonomian AS dan prospek kenaikan suku bunga di AS membuat investor ramai-ramai memindahkan dananya ke negara itu.

Pelemahan rupiah dinilai juga akan membantu mengerem konsumsi dan kebutuhan impor sehingga pada gilirannya berdampak positif pada neraca transaksi berjalan, yang beberapa tahun terakhir dihantui defisit yang kian besar.

Yang menjadi persoalan, investor dan pelaku ekonomi mulai tidak nyaman dan direpotkan oleh pelemahan rupiah. Melemahnya rupiah logikanya memang akan menaikkan daya saing produk ekspor kita. Persoalannya, ketergantungan manufaktur kita terhadap komponen impor juga masih besar, 70-80 persen untuk beberapa industri.

Akibatnya pelemahan rupiah tidak membuat industri kian kompetitif, tetapi justru menjadi bumerang yang menggerogoti daya saing. Kondisi lebih riskan dihadapi industri berkandungan impor tinggi, tetapi produknya dijual dalam negeri, apalagi kalau dia memiliki utang besar valas.

Pada gilirannya, kondisi ini bisa memicu kenaikan harga barang/jasa dan inflasi. Pelemahan rupiah yang berlanjut juga memunculkan ketakpastian bagi investor/pelaku usaha. Pelemahan rupiah juga akan membengkakkan subsidi BBM yang ditanggung APBN dan beban utang luar negeri karena nilai utang dalam valas menguat terhadap rupiah.

Sejauh ini, BI melihat posisi rupiah masih aman. Pertanyaannya, sampai di mana pelemahan rupiah akan ditoleransi. Kita tentu tak ingin pelemahan rupiah berdampak terhadap perekonomian dan pertumbuhan.

Lemahnya rupiah sedikit banyak berakar dari kelemahan dalam negeri. Tekanan pada rupiah tidak akan sebesar ini seandainya ada manajemen risiko kurs dan valas yang lebih baik, pendalaman pasar keuangan, serta daya saing ekonomi terjaga. Juga jika integrasi industri hulu-hilir dalam negeri berjalan sehingga industri pendukung terbangun dan ketergantungan terhadap komponen impor bisa ditekan.

Kebutuhan impor BBM juga bisa ditekan jika efisiensi dan diversifikasi energi serius dilakukan. Ketakberdayaan kita menghadapi tekanan rupiah dan masalah BBM terjadi karena kita terus menunda mengatasi problem mendasar sehingga struktur ekonomi kita rentan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008983864
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger