Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 22 September 2014

TAJUK RENCANA: Mengantisipasi Pemulihan Ekonomi AS (Kompas)

GEJALA pemulihan AS yang memicu pembalikan modal dan penguatan dollar memunculkan kekhawatiran sekaligus harapan bagi negara berkembang.
Sebagai dampak dari situasi itu, beberapa pekan terakhir mata uang sebagian besar negara berkembang (emerging market/EM) melemah, termasuk rupiah. Seperti akhir tahun lalu, isu normalisasi stimulus AS (tapering off) kembali memunculkan gejolak di pasar uang negara berkembang.

Siapkah EM menghadapi kemungkinan guncangan besar yang terjadi akibat eksodus masif modal global dari EM ke AS mengantisipasi pemulihan ekonomi AS, penghentian kebijakan stimulus pembelian surat berharga pemerintah, dan kenaikan suku bunga yang akan kian memicu sentimen positif dollar AS? Perlu antisipasi untuk mencegah dampak tak diinginkan pada ekonomi nasional.

Di tengah resesi dan krisis finansial global 2007-2009, Bank Sentral AS (Fed) menempuh serangkaian kebijakan pembelian surat berharga pemerintah skala besar (quantitative easing). Tujuannya, menekan suku bunga dan memberikan stimulus pada perekonomian. Seiring membaiknya perekonomian AS, pengurangan stimulus kian agresif ditempuh dan ada spekulasi kuat kebijakan stimulus akan dihentikan sama sekali akhir Oktober mendatang.

Di satu sisi, pemulihan ekonomi AS menjadi kabar baik bagi EM mengingat AS pasar penting ekspor EM dan posisi AS sebagai lokomotif utama ekonomi global. Namun, pemulihan AS, yang memicu spekulasi akan adanya kenaikan suku bunga segera, juga membuat pemilik dana ramai-ramai memindahkan dananya ke aset berdenominasi dollar AS.

Kondisi ini yang memunculkan kekhawatiran bakal terjadi pembalikan arus modal dalam skala besar dari negara berkembang serta ikut memicu melemahnya nilai mata uang dan indeks saham regional saat ini. Banyak negara berkembang yang diuntungkan oleh derasnya arus modal global selama berlangsung kebijakan moneter longgar di negara maju, mengalami eksodus modal skala masif saat Fed mensinyalkan akan mulai mengurangi stimulus.

Kekhawatiran bakal terjadi eksodus modal skala besar dan guncangan di dalam negeri tak perlu terjadi selama fundamental makroekonomi kita kuat. Berbagai survei menunjukkan, investor global masih melihat pasar EM menarik. Negara berkembang paling berisiko adalah yang memiliki ketidakseimbangan eksternal dan internal besar selama periode suku bunga rendah global. Mereka dihadapkan pada risiko depresiasi tajam mata uang saat pembalikan arah suku bunga di negara maju terjadi. Di sini, posisi kita rentan.

Terutama dengan adanya tiga masalah besar yang menjadi concern terbesar investor dan membuat fondasi makro kita rapuh, yakni neraca transaksi berjalan yang defisit besar, pembengkakan utang luar negeri (khususnya swasta), dan isu subsidi bahan bakar minyak yang memberatkan APBN. Belum lagi isu terkait daya saing dan dangkalnya pasar. Sinyal kebijakan pemerintah baru jadi krusial di sini, terutama arah kebijakan untuk mengatasi masalah-masalah itu dan sejauh mana struktur kabinet bisa meyakinkan masyarakat/pasar.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009026229
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger