Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 09 Oktober 2014

KEN-2050  dan Dilema Harga BBM (Rinaldy  Dalimi)

KEBIJAKAN Energi Nasional 2050 yang dirumuskan Dewan Energi Nasional telah disetujui DPR pada Januari 2014 dan tinggal menunggu penetapan dari pemerintah menjadi peraturan pemerintah.
Kebijakan Energi Nasional 2050 (KEN-2050) diharapkan dapat ditandatangani presiden sebelum pemerintahan baru nanti sehingga pemerintah yang akan datang mempunyai pedoman baru untuk pembangunan sektor energi. PP tentang KEN-2050 akan menggantikan PP Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Sasaran KEN-2050 adalah kemandirian dan ketahanan energi nasional, di mana kemandirian energi adalah terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri. Ketahanan energi adalah kondisi terjaminnya ketersediaan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau. Artinya, harga energi harus dikontrol oleh pemerintah dengan memperhatikan daya beli masyarakat.

Paling lambat setahun setelah penetapan KEN oleh pemerintah, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) harus dibuat oleh pemerintah dan diserahkan kepada Dewan Energi Nasional (DEN) untuk ditetapkan. Dengan mengacu kepada RUEN, pemda harus membuat Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang lebih detail sesuai kebutuhan dan potensi energi di daerah masing-masing.

Enam hal utama
Tugas DEN selanjutnya adalah  mengawasi pelaksanaan RUEN (dan RUED) agar tetap sejalan dengan KEN-2050. Ada enam hal utama yang akan memengaruhi arah pembangunan energi Indonesia ke depan dengan KEN-2050, yaitu perubahan paradigma pemanfaatan energi, prioritas pembangunan energi, pengurangan ekspor secara bertahap, desentralisasi perencanaan dan tanggung jawab sektor energi, tersedianya cadangan energi nasional, dan pengurangan subsidi pada harga energi secara bertahap.

Perubahan paradigma pemanfaatan energi adalah perubahan cara pandang soal peran energi dalam pembangunan, di mana energi bukan lagi (hanya) sebagai komoditas ekspor, melainkan merupakan modal (penggerak) pembangunan. Artinya, nilai energi bukan hanya dilihat dari harga rupiah per ton batubara atau rupiah per barrel minyak, melainkan dilihat dari besarnya nilai tambah yang diakibatkan oleh energi dalam proses industri dan pembangunan nasional. 

Konsekuensi logis dari perubahan paradigma ini, pada saat pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah juga harus menetapkan besarnya pertumbuhan energi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut, dengan jaminan pendanaan pembangunan infrastruktur energi dalam APBN.

KEN-2050 mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengurangi ekspor energi fosil secara bertahap dan memberhentikan ekspor suatu saat nanti. Pengurangan ekspor secara bertahap bertujuan menjaga cadangan energi nasional jangka panjang (strategic energy reserve). Sekitar 75 persen produksi batubara dan sekitar 50 persen produksi gas nasional saat ini diekspor.

Pengurangan ekspor energi pasti akan mengganggu penerimaan negara dalam APBN yang saat ini sekitar 35 persen berasal dari sektor energi sehingga pemerintah perlu memikirkan komoditas pengganti peran energi ini. Oleh karena itu, KEN-2050 tak menetapkan waktu dan besarnya pengurangan ekspor, tetapi menyerahkannya kepada pemerintah untuk menetapkan sesuai dengan kondisi yang ada.

Dalam KEN-2050 telah ditetapkan prioritas pembangunan energi nasional, yaitu memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan, meminimalkan penggunaan minyak bumi, mengoptimalkan penggunaan gas, batubara sebagai andalan (penyeimbangan) pasokan energi nasional, dan energi nuklir pilihan terakhir. Prioritas pemanfaatan potensi energi nasional ini bertujuan agar Indonesia mempunyai kemandirian energi dan ketahanan energi yang kuat.

Penempatan nuklir sebagai pilihan terakhir bukan berarti menutup kemungkinan pemanfaatan energi nuklir pada masa akan datang. Namun, nuklir dimanfaatkan apabila potensi energi nasional yang lain sudah digunakan secara maksimum.

Pada saatnya jika Indonesia memutuskan membangun PLTN, bahan bakarnya harus menggunakan potensi uranium yang ada di Indonesia untuk menjaga kemandirian. KEN-2050 mengamanatkan kepada setiap investor yang akan melakukan pembangunan PLTN harus berkemampuan menanggung seluruh kerugian yang diakibatkan kecelakaan nuklir jika terjadi.

Pada masa yang akan datang, Indonesia wajib mempunyai cadangan energi nasional yang terdiri atas  tiga jenis cadangan energi.  Pertama, cadangan operasional, yaitu cadangan yang ada pada unit-unit bisnis energi yang harus mereka siapkan yang diatur pemerintah. Kedua, cadangan penyangga yang harus disiapkan pemerintah, yang hanya dapat digunakan saat terjadi krisis energi. Ketiga, cadangan energi strategis, yaitu cadangan sumber daya  energi nasional yang belum dieksploitasi untuk menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang. Ini hanya bisa dilakukan negara-negara yang mempunyai sumber daya energi seperti Indonesia.

KEN-2050 mengamanatkan desentralisasi perencanaan dan pembangunan sektor energi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemda diharuskan menyusun RUED berdasarkan RUEN. Di samping itu,  ditekankan bahwa pemda ikut bertanggung jawab terhadap subsidi energi dan memberikan insentif fiskal dan nonfiskal untuk energi terbarukan, serta menyediakan alokasi dana pengembangan dan penguatan infrastruktur energi di daerah masing-masing. Selama ini tanggung jawab itu di pemerintah pusat.

KEN-2050 mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengurangi subsidi yang menempel pada harga energi secara bertahap, bukan mengurangi subsidi untuk masyarakat kurang mampu. Karena itu, seyogianya saat pemerintah mengurangi subsidi pada harga energi dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), ia juga melakukan program-program yang dapat mengurangi beban masyarakat akibat kenaikan harga BBM itu.

Dilema harga BBM
Tidak dapat dimungkiri, terutama dalam jangka pendek, kenaikan harga BBM akan berdampak pada kenaikan biaya transportasi umum dan bahan makanan pokok, yang berujung semakin meningkatnya jumlah masyarakat miskin.  Di sisi lain, kenaikan harga BBM memang akan mengurangi beban subsidi pemerintah dan meningkatkan kemampuan pemerintah untuk membangun infrastruktur yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bagi pemerintah baru, kenaikan harga BBM pada awal pemerintahan dapat menimbulkan gejolak. Usulan dari para pengelola BBM untuk menaikkan harga BBM sampai Rp 10.000 saat ini kurang realistis. Kenaikan harga BBM seharusnya dilakukan secara bertahap dan setelah pemerintah baru melakukan usaha meningkatkan daya beli masyarakat atau program yang dapat mengurangi dampak kenaikan harga BBM tersebut bagi masyarakat kurang mampu.

Di samping menaikkan harga BBM secara bertahap, ada cara lain untuk mengurangi beban subsidi, tanpa harus menaikkan harga, yaitu setiap pengguna BBM (terutama kendaraan pribadi) harus mengembalikan subsidi BBM yang mereka nikmati dengan menitipkannya pada pajak kendaraan pribadi, yang besarnya proporsional dengan rata-rata penggunaan BBM setiap jenis kendaraan per tahun. Menaikkan harga BBM secara bertahap juga dapat dilakukan bersamaan dengan program pengembalian subsidi tersebut.

Rinaldy Dalimi
Guru Besar Universitas Indonesia; Anggota Dewan Energi Nasional

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008589264
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger