Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 04 Oktober 2014

Pekerjaan Rumah Otda untuk Jokowi (Syarif Hidayat)

KEMENANGAN  Joko Widodo pada Pemilu Presiden 2014 dapat dimaknai sebagai salah satu hasil nyata dari reformasi desentralisasi dan otonomi daerah (otda) di Tanah Air.
Namun, pada saat yang sama kemenangan itu juga menyodorkan sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satu PR berat dan rumit itu adalah mengendalikan nafsu memekarkan daerah.

Ironis memang, tatkala bangsa ini sedang dilanda gonjang-ganjing politik dan kemampuan keuangan negara relatif memprihatinkan, pemekaran daerah tetap dilakukan. Pikiran ruwet ini seharusnya segera dihentikan. Apabila alasan utamanya meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, pertanyaannya: apakah pemekaran daerah merupakan solusi akhir yang paling tepat? Masih banyak alternatif yang lebih cerdas. Salah satunya adalah mengefisienkan dan meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom yang telah ada tanpa harus menambah daerah otonom baru.

Namun, lagi-lagi, pikiran waras acap terkalahkan ketika harus berperang melawan nafsu politik dan kepentingan ekonomi jangka pendek para elite. Kian buruklah keadaan apabila kepentingan para elite itu mendapat pembenaran akademis dari kaum cendekiawan.

Tanpa maksud menafikan keberhasilan yang dicapai beberapa daerah otonom baru hasil pemekaran, fakta hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap 205 daerah otonom bentukan periode 1999-2009 memperlihatkan 70 persen daerah belum berhasil mencapai tujuan.

Di sisi lain maraknya pemekaran juga menambah beban keuangan pemerintah pusat. Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada 1999 total dana alokasi umum (DAU) yang ditransfer ke daerah Rp 54,31 triliun. Sepuluh tahun kemudian, setelah terbentuk 205 daerah otonom baru, anggaran DAU melonjak tiga kali lipat mencapai Rp 167 triliun. Adapun anggaran DAU 2013: Rp 311 triliun. Anggaran itu belum termasuk dana transfer daerah lainnya, seperti dana alokasi khusus dan otonomi khusus. Semua ini tentu memprihatinkan bagi kepentingan bangsa ke depan.

Masukan untuk Jokowi
Di antara sekian pilihan solusi, yang harus dilakukan adalah mengendalikan kepentingan elite dalam pemekaran daerah. Meski demikian, upaya pengendalian bias kepentingan elite itu memang bukan pekerjaan mudah karena virus kepentingan elite telah merasuk ke berbagai elemen dari negara dan masyarakat, serta aktor yang terlibat sangat kompleks dan multilevel sifatnya. Masalah yang umumnya dihadapi antara lain sulitnya mendeteksi dan memutus jaringan multilevel para elite. Karena itu, upaya yang harus dilakukan dalam pengendalian bias kepentingan elite dalam pemekaran daerah sudah kurang tepat lagi apabila didasarkan pada asumsi normal. Harus dengan asumsi darurat.

Konkretnya, asumsi darurat dalam penanganan pemekaran daerah yang penulis maksud adalah sama seperti asumsi yang diterapkan ketika melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk atas dasar pertimbangan, antara lain, bahwa lembaga-lembaga negara penegak hukum yang seharusnya menangani persoalan korupsi tidak dapat berperan secara maksimal lantaran banyak aparat di dalamnya terlibat sebagai pemain. Jika asumsi yang sama diterapkan dalam penanganan pemekaran daerah, salah satu solusinya adalah perlu dibentuk lembaga extrastate, yaitu lembaga independen di luar struktur formal negara yang bertugas menangani urusan pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah. Katakanlah lembaga ini diberi nama Komisi Pemekaran, Penggabungan, dan Penghapusan Daerah, atau nama lain seperti Komisi Penataan Daerah. Anggotanya terdiri atas para profesional yang memiliki integritas tinggi dan diseleksi melalui proses ketat, sama seperti seleksi keanggotaan KPK.

Langkah penting
Langkah penting berikutnya yang harus dilakukan dalam upaya pengendalian bias kepentingan elite dalam pemekaran daerah adalah diwujudkannya kesepakatan tertulis antara pemerintah (dalam hal ini presiden) dan DPR terkait dengan moratorium pemekaran daerah. Dalam kontrak secara tertulis ini harus dikemukakan secara eksplisit kurun waktu moratorium, agenda yang akan dilakukan selama moratorium, serta target dan hasil yang akan dihasilkan.

Dengan adanya kesepakatan secara tertulis itu, diharapkan praktik politik buka-tutup-pintu (pemerintah menutup, DPR membuka) dalam pemekaran daerah tidak akan terulang lagi.

Syarif Hidayat
Peneliti Bidang Otonomi Daerah pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009226580
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger