Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Oktober 2014

TAJUK RENCANA: Ketegangan Bayangi Banglades (Kompas)

ADA kekhawatiran, vonis hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Penjahat Perang Banglades akan mendorong negeri itu masuk dalam krisis politik.
Bahkan, bisa jadi, tidak hanya krisis politik, tetapi juga perang saudara bernuansa sektarian, yang selama ini memang sudah berulang kali terjadi. Mengapa demikian?

Yang divonis mati hari Rabu lalu adalah seorang politisi Islamis terkemuka, Motiur Rahman Nizami. Ia dituduh melakukan kejahatan perang saat berkobar perang kemerdekaan pada tahun 1971, yakni perang pembebasan Banglades dari Pakistan.

Motiur Rahman Nizami ketika itu adalah ketua sayap mahasiswa Jamaat-e-Islami. Ketika pecah perang kemerdekaan, Jamaat-e-Islami, yang merupakan partai tertua di Pakistan—didirikan pada tanggal 26 Agustus 1946—termasuk kelompok yang menentang kemerdekaan Banglades. Mereka kemudian bergabung dan berkolaborasi dengan militer.

Perang kemerdekaan ini, menurut Bangladesh War Crimes Tribunal, menewaskan tiga juta orang. Lebih dari 200.000 perempuan diperkosa; memaksa lebih dari 10 juta orang mengungsi ke India dan 10 juta orang lainnya hidup tercerai-berai di Banglades.

Nizami, yang kelompoknya mendukung militer, didakwa terlibat dalam kejahatan perang tersebut. Karena itu, ketika pada tahun 2010 dibentuk Pengadilan Penjahat Perang, Nizami menjadi salah satu tokoh yang diadili dengan tuduhan terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, pemerkosaan massal, dan kejahatan internasional lainnya. Dan putusannya adalah Nizami dihukum mati.

Ada yang berpendapat bahwa hukuman mati terhadap Nizami itu sebagai bagian dari usaha pemerintah yang sekarang di bawah pimpinan Sheikh Hasina dari Liga Awami, untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Sejak tahun 1980-an, Jamaat-e-Islami berkoalisi dengan Partai Nasionalis Banglades pimpinan Begum Khaleda Zia, musuh bebuyutan Sheikh Hasina.

Tentu, pendapat seperti itu dibantah pemerintah, yang bertekad untuk membersihkan semua orang yang terlibat dalam kejahatan perang. Maret 2013, ketika pengadilan menjatuhkan delapan pemimpin Jamaat-e-Islami, dijawab dengan pemogokan dan protes massal di seluruh negeri yang menelan 60 korban jiwa, terutama aparat keamanan, dan perusakan berbagai sarana publik.

Kekhawatiran semacam itulah yang kini membayangi Banglades, meskipun tentu pemerintah Sheikh Hasina sudah siap menghadapinya. Hanya saja, jika hal itu terjadi, pasti akan mendorong Banglades terjungkal ke dalam krisis politik seperti yang sudah-sudah dan korban jiwa pun akan berjatuhan. Sementara itu, masih banyak persoalan lain, seperti kemiskinan yang belum terselesaikan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009802083
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger