Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Oktober 2014

TAJUK RENCANA: Hilangnya Kearifan Politik (Kompas)

PIMPINAN dan alat kelengkapan DPR akhirnya terbentuk. Koalisi Merah Putih menyapu bersih pimpinan DPR dan pimpinan komisi.
Pemilihan pimpinan komisi memunculkan kekisruhan dalam Rapat Paripurna DPR. Penguasaan pimpinan komisi oleh Koalisi Merah Putih direspons dengan mosi tidak percaya yang diajukan parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat. Mereka membentuk DPR tandingan.

Dinamika politik di DPR menunjukkan hilangnya kearifan politik anggota DPR. Nafsu memperebutkan pimpinan komisi tanpa mempertimbangkan representasi dari kekuatan politik lain menandakan tiadanya kedewasaan politik DPR. Sama konyolnya ketika sejumlah fraksi di DPR membentuk "DPR tandingan" dan menyatakan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR serta mendorong Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Presiden tak perlu ditarik dalam konflik internal di dalam DPR!

Dari semua komisi yang telah memilih pemimpin, tak ada representasi dari Koalisi Indonesia Hebat yang berkekuatan 246 anggota. PDI-P sebagai pemenang Pemilu 9 April dan punya 109 kursi di DPR tidak punya wakil, baik di pimpinan DPR maupun pimpinan komisi. Begitu juga PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP.

Kegagalan partai pemenang pemilu menduduki kursi pimpinan DPR dan pimpinan komisi melawan logika demokrasi. Lazimnya, partai pemenang pemilu selalu menjadi Ketua DPR, seperti ketika Marzuki Alie menjadi Ketua DPR setelah Partai Demokrat memenangi Pemilu 2009. Namun, realitas politik Indonesia berkata lain. Kegagalan atau digagalkannya PDI-P menjadi pimpinan DPR adalah karena persiasatan politik DPR saat menyusun Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). UU MD3 disahkan 8 Juli 2014, sehari sebelum Pemilu Presiden atau setelah Pemilu Legislatif 9 April 2014 diketahui.

UU MD3 tahun 2014 mengubah cara pemilihan pimpinan DPR. Dalam UU No 27/2009 tentang MD3 disebutkan, "Pimpinan DPR terdiri dari satu orang ketua dan empat wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan suara terbanyak". Jika aturan itu dipertahankan, PDI-P akan menjadi pimpinan DPR. Namun, UU MD3 yang disahkan setelah Pemilu 9 April diketahui mengubah aturan itu menjadi: "Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota dalam satu paket yang bersifat tetap".

Moralitas hukum seperti apa yang sebenarnya dianut perancang UU MD3 tahun 2014. UU MD3 semata-mata sebuah persiasatan politik untuk meraih kekuasaan dengan cara yang seolah-olah demokratis. Situasi ini menggambarkan DPR yang seharusnya adalah negarawan ternyata masih politisi. Kondisi ini mengingatkan kita akan James Clarke, intelektual Amerika Serikat, yang mengatakan, "Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa depan."

Kisruh DPR itu akan dicatat sejarah dan dibaca anak cucu kita sebagai peristiwa politik memalukan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009802985
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger